"Dia membuang sebuah berlian, tapi mendapatkan kembali sesuatu yang kurang berharga. Aku yakin dia akan menyesali setiap keputusannya di masa depan, Illana."—Lucas Mathius Griggori.
Setelah cinta pertamanya kembali, Mark mengakhiri pernikahannya dengan Illana, wanita itu hampir terkejut, tapi menyadari bagaimana Mark pernah sangat mengejar kehadiran Deborah, membuat Illana berusaha mengerti meski sakit hati.
Saat Illana mencoba kuat dan berdiri, pesona pria matang justru memancing perhatiannya, membuat Illana menyeringai karena Lucas Mathius Griggori merupakan paman Mark-mantan suaminya, sementara banyak ide gila di kepala yang membuat Illana semakin menginginkan pria matang bernama Lucas tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Eclaire, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Kecemasan ayah dan ibu.
Saat bangun keesokan paginya, Illana yang berniat pergi ke pantry untuk mengambil segelas air-hampir terkejut menemukan Lucas terbaring di sofa panjang ruang tamunya, wanita itu sempat terdiam memikirkan situasi semalam.
Ia mendengkus telah menyadari hampir seluruh ingatannya saat pergi ke 'Night Adventure', ia menghampiri Lucas dan membangunkannya.
"Maaf karena sudah merepotkanmu, Paman. Pasti aku membuat kegaduhan." Ia sudah bisa mengontrol kalimat dari bibirnya setelah efek alkohol lenyap.
Lucas tersenyum hangat, ia berdiri memperhatikan Illana. "Bukan masalah, sepertinya suasana hatimu menjadi lebih baik?"
"Aku harap seperti dugaanmu."
Lucas mengangguk, ia menatap arlojinya. "Okey, karena aku telah menuntaskan janjiku menjagamu dan kau baik-baik saja sekarang, aku harus pulang."
"Eum, aku pikir kita bisa menikmati sarapan bersama."
"Jangan merasa sungkan terhadapku, Illana. Aku tak ingin merepotkanmu."
"Kau tidak-"
"Aku merasa lega melihatmu baik-baik saja hingga pagi ini, dan hal itu sudah cukup." Ia menyentuh lengan Illana. "Aku mengerti bagaimana perasaanmu, jika kau ingin bercerita, hubungi saja aku. Jangan dengarkan suara-suara orang lain, Illana."
"Ya, Paman." Ia melihat Lucas berjalan menuju pintu utama, lalu bergegas mendahuluinya-membuka pintu untuk pria itu.
Lucas tersenyum. "Jangan memperlakukanku seperti itu."
"Kau akan mengambil mobilmu di klub?"
"Ya, apalagi. Lalu, mengurus pekerjaanku karena situasi sudah lebih aman, aku bebas menunjukan diriku di mana saja."
"Baiklah, hati-hati." Ia melambaikan tangan ketika Lucas sudah berdiri di luar unit.
"Tolong ingat satu hal, jangan menangis atau membuang sia-sia air matamu untuk Mark. Kau sudah mengambil keputusan terbaik sejak awal, jadi berhentilah memikirkannya, Illana. Jika terlalu sulit, lakukan perlahan, dan katakan padaku apa yang kau butuhkan, aku akan berusaha mengurusnya."
Illana mengangguk, ia membiarkan Lucas pergi dari sana, menatap punggung lebar pria itu semakin mengecil dan menghilang saat memasuki lift. Illana masih sempat melihat bagaimana Lucas tersenyum untuknya, mereka bahkan tak memiliki ikatan persaudaraan, hanya saling mengenal ketika Mark memperkenalkannya sebagai calon istri dua tahun lalu, tapi sikap Lucas terhadap pasangan keponakannya sangat baik. Illana tidak tahu bagaimana perangai Mark di luar sana karena pekerjaannya sebagai mafia.
***
Illana sempat menunda keinginannya untuk pergi ke kantor, ia telah menghubungi Nora sekadar mengabarkan absen hari ini, tapi suara penuh semangat dari Lucas terus berputar di kepalanya, membuat Illana berusaha menghadapi kekacauan yang terjadi.
Jika ia tidak menunjukan wajah dan bersikap tegas seperti biasanya di kantor, orang-orang akan menyepelekan sekaligus menganggap CEO mereka 'kalah' oleh rasa frustasi akibat perceraian. Illana tetap harus menunjukan wajah di depan semua orang, menguatkan diri sekaligus menunjukan bahwa semua ini telah berlalu.
"Ah, Nona. Aku pikir Anda memang takkan muncul hari ini." Nora terkejut ketika melihat Illana melewati kubikelnya, ia segera beranjak menghampiri CEO Cinnamon.
"Aku sempat berpikir demikian, tapi sepertinya aku masih sanggup bekerja. Maaf karena membuatmu kerepotan, Nora."
"Tidak sama sekali. Eum, aku juga perlu mengabarkan bahwa Anda memiliki undangan untuk menghadiri acara lelang amal."
"Kapan?"
"Saat aku memeriksa schedule Anda, acara tersebut berlangsung malam ini, Nona."
"Baiklah, aku pasti datang. Terima kasih, Nora." Ia menghilang dari hadapan sekretarisnya setelah membuka pintu ruang kerja.
Illana baru saja duduk di kursinya, dan dering ponsel menyambut wanita itu. Ia tersenyum menemukan nomor sang ayah menghubungi setelah beberapa hari tidak saling berkabar karena kesibukan masing-masing.
"Hallo, Ayah."
"Illana. Bagaimana kabarmu? Maaf karena ayah lupa menelepon."
"Tidak masalah, aku baru saja tiba di kantor. Apa terjadi sesuatu sehingga Ayah menghubungi cukup pagi?"
"Bukan sesuatu yang terlalu penting, tapi ayah merasa harus tetap mengatakannya kepadamu."
"Katakanlah."
"Kau pasti mendapat undangan untuk acara lelang amal malam nanti, bukan? Banyak CEO diundang pada kegiatan itu."
"Ya. Nora telah mengingatkanku tentang acara tersebut." Ia membuka laptop, memeriksa pekerjaan sebelumnya.
"Ayah dan ibu tidak dapat hadir, kami memiliki perjalanan bisnis ke Norwegia, jadi takkan bisa menemanimu ke sana."
"Ah. Tidak masalah, bukankah aku sudah cukup besar untuk pergi menghadiri acara seperti itu sendiri?" Ia tertawa pelan seraya mengapit ponsel pada telinga kanan serta bahunya.
"Kami bukan mencemaskan hal itu, Illana. Sebaiknya kau tidak menghadiri acara tersebut."
Gerakan tangan Illana ketika mengarahkan kursor berhenti, ia berkedip bingung. "Mengapa aku tidak boleh menghadiri acara itu, Ayah?"
"Mantan suami serta mantan mertuamu juga akan hadir, Illana. Ayah takut jika-" Samuel berdecak, ia menjeda sejenak kalimatnya. "Kau pasti mengerti maksud ayah."
Illana bergeming, sorot mata wanita itu meredup selayaknya langit yang dihampiri sekumpulan awan mendung.
"Ayah tidak ingin putri ayah kembali terluka, sebaiknya hindari apa pun yang bisa kau hindari, Illana. Ayah dan ibumu mencemaskan hal itu sejak kemarin."
Illana tersenyum tipis, ia merasa bersyukur karena memiliki orangtua yang selalu memperhatikan serta mendukungnya pada setiap situasi, meski dia bukanlah anak di bawah umur, tapi sikap kepedulian mereka cukup membuat Illana tenang.
"Illana. Kau masih di sana?"
"Ya, Ayah. Aku mengerti maksudmu, tapi sepertinya aku tetap akan menghadiri acara amal tersebut."
"Apa alasanmu, putriku?"
"Hal pertama, aku membawa nama Cinnamon. Hal kedua, aku tak ingin membiarkan orang lain menggunakan asumsi liar mereka-yang berpikir bahwa aku tidak hadir karena Mark berada di sana. Aku tidak senang disepelekan oleh orang lain, Ayah."
"Tapi, apa kau baik-baik saja?"
Illana kembali membisu, ia menarik ingatannya pada situasi semalam. Jika Samuel dan Jena tahu bahwa putri mereka sampai mengunjungi klub malam sebagai upaya meluapkan rasa frustasinya, Illana yakin mereka semakin melarang putrinya pergi, atau bahkan menghampiri Illana di Cinnamon dan mengajak wanita itu pulang ke rumah, menghiburnya dengan banyak cara yang bisa mereka usahakan.
"Aku baik-baik saja." Ia merasa beruntung sang ayah menghubunginya melalui panggilan biasa, jika menggunakan video call, mereka bisa melihat bagaimana ekspresi sendu Illana saat ini.
"Kau yakin?"
"Ya, Ayah. Aku baik-baik saja, semua telah berlalu, bukankah Ayah tahu aku sibuk bekerja selama ini, aku berusaha melupakan semua kenangan buruk itu, Ayah."
"Aku tahu kau memang pandai mengelabui orang lain, Illana. Jika ibumu mengetahui hal ini, dia akan berbicara cukup panjang sampai kau bosan mendengarnya."
Wanita itu tersenyum. "Jadi, jangan beritahu ibu, percayalah saja kepadaku. Ayah bisa melakukannya, bukan?"
"Eum. Ayah bisa mengirim beberapa orang untuk mengawasimu selama berada di sana, sulit untuk berhenti cemas."
"Hm. Terserah saja."
"Ayah merasa tenang sekarang, maaf jika sedikit memperketat keamananmu, Illana. Ayah hanyalah orangtua yang selalu mengkhawatirkan putrinya."
"Aku tahu dan sangat berterimakasih kepada kalian."
"Baiklah, sebentar lagi ibumu kembali. Ayah akhiri telepon hari ini, jaga dirimu baik-baik. Ayah menyayangimu."
"Aku juga menyayangi kalian." Illana bernapas lega setelah telepon berakhir, ia sadar jika terus menolak permintaan Samuel, mereka takkan menemui kesepakatan terbaik, sehingga mengalah menjadi jalan paling akhir bagi Illana. "Aku bahkan tak berpikir untuk bertemu Mark di sana, tapi ayah justru mengingatkanku." Ia mendengkus, situasinya membuat Illana cukup kesal.
***