Ketika yang semua orang anggap hanya omong kosong menyerbu dari utara, saat itulah riwayat Suku Gagak menemui akhirnya.
Tanduk Darah, iblis-iblis misterius yang datang entah dari mana, menebar kekacauan kepada umat manusia. Menurut legenda, hanya sang Raja Malam yang mampu menghentikan mereka. Itu terjadi lima ribu tahun silam pada Zaman Permulaan, di mana ketujuh suku Wilayah Pedalaman masih dipimpin oleh satu raja.
Namun sebelum wafat, Raja Malam pernah berkata bahwa dia akan memiliki seorang penerus.
Chen Huang, pemuda bernasib malang yang menjadi orang terakhir dari Suku Gagak setelah penyerangan Tanduk Darah, dia tahu hanya Raja Malam yang jadi harapan terakhirnya.
Apakah dia berhasil menemukan penerus Raja Malam?
Atau hidupnya akan berakhir pada keputusasaan karena ucapan terakhir Raja Malam hanya bualan belaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arisena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode : 26 — Perbedaan Kekuatan
Chen Huang memang bisa mengeluarkan pukulan berdentum dengan energi Qi yang kuat, tapi tetap saja jati dirinya adalah Suku Gagak yang lebih dominan menyerang dari jarak jauh.
Ditambah tebalnya kabut ciptaan Pasukan Langit membuat pandangan seperti buta. Tak hanya musuh, kawan pun terkena imbasnya.
"Kalian akan terbiasa," ujar Cia Houw di tengah pertempuran.
"Saat itu, mungkin kami sudah bertemu Dewa Maut," balas Bai Li. "Chen Huang, tetap di dekatku—Uaaahh!" Dia menghindari tusukan pedang dari arah kanan, Bai Li balas menendang cukup keras.
Larut dalam pertempuran besar seperti itu, mau tak mau hati Chen Huang bergetar juga. Terakhir kali dia bertarung juga dalam pertempuran, tapi tidak sebesar ini.
Belatinya dialiri Qi dan menebas ke sana-sini, menggorok leher-leher kultivator yang ada di Tingkat Bintang ke bawah. Serangannya makin ampuh karena dia telah menguatkan tulang di danau panas beberapa waktu lalu.
"Jadi kau pengacau itu?"
Chen Huang miringkan tubuh, tebasan pedang berselimut petir menyambar. Dia melompat jauh menggunakan ilmu meringankan tubuh serigala dan membalas dengan tembakan ratusan bintang khas Suku Gagak.
"Lemah!" pria itu mengelak dengan indah sambil terus mendekati Chen Huang. Begitu sudah dekat, pedangnya menebas.
Criiingg ....
Bunga api berpijar. Chen Huang dapat merasakan kekuatan orang itu berada di Tingkat Langit puncak. Walau hanya beda satu tingkat, tapi Chen Huang merasakan perbedaan kekuatan yang lumayan.
Mereka segera saling bertukar serangan dengan sengit. Suara gelegar halilintar terus terdengar setiap kali pedang murid Sekte Pedang Kelabu itu menebas.
Chen Huang menggunakan kegesitannya, mengelak ke kanan lalu menyerang dengan jurus Bulan Menyerpih. Serangan brutal dengan pengerahan Qi sepenuhnya. Tebasan-tebasan berwarna biru pucat menyambar tanpa arah, membuat lawannya semakin bingung.
"Kau ... mati—Aakkhhh!"
Secepat kilat, pedang Cia Houw sudah menembus dadanya.
"Kau tak apa?"
Chen Huang mengangguk. "Kurasa begitu."
Formasi Matahari Ganda memang luar biasa, dengan membiarkan lawan menyerang lebih dulu lalu disergap dari kedua sisi. Bahkan kumpulan kultivator Sekte Pedang Kelabu pun tak banyak berkutik.
Ratusan murid Sekte Pedang Kelabu menjadi panik saat kabut tebal tiba-tiba muncul dan itulah yang menjadi petaka bagi mereka.
Ketiga putra Cia Yan benar-benar mendominasi pertempuran. Ditambah Bai Li yang selalu tertawa-tawa dan bertarung tanpa keseriusan, formasi Sekte Pedang Kelabu hancur total.
"Mundur!" terdengar teriakan entah dari mana.
Namun karena teriakan itu, ratusan anak murid Sekte Pedang Kelabu putar arah dan melesat ke arah selatan, menjauhi pertempuran.
"Dia pemimpinnya!" teriak Bai Li yang belum menyerah dan terus mengejar. "Kau tak bisa lari, Tetua!"
"Pengkhianat busuk, kiranya benar kau ada di sini!"
Bai Li mengeluarkan pedangnya, lapisan Qi merah tampak menggiriskan. Kakinya menghentak bumi, Bai Li melambung tinggi. Dari atas, diarahkannya ujung pedang tepat di kepala si tetua.
"Mati kau!"
"Dewa Petir!" Kedua lengan tetua itu diselimuti energi Qi yang membentuk lapisan petir.
"Jangan bercanda padaku!" Bai Li menambah kapasitas Qi di pedangnya sampai bilah pedang itu merah membara.
Suara gelegar mengerikan terdengar memekakkan telinga ketika kedua tenaga raksasa itu bertemu. Angin kencang yang ditimbulkan dari benturan jurus itu membuat sebagian besar kabut tersapu, memperlihatkan mayat-mayat yang didominasi oleh pakaian biru muda.
Namun, mereka belum selesai. Kiranya tetua itu masih dapat bertahan dan kini sedang beradu pedang dengan Bai Li yang makin ganas. Halilintar dan cahaya merah saling bergulung-gulung.
Chen Huang yang melihatnya diam-diam mencari celah. Murid Sekte Pedang Kelabu sudah hampir habis dan dia telah meninggalkan musuh-musuhnya sejak beberapa saat lalu.
Dihampirinya tempat pertandingan Bai Li. Bahkan di jarak aman seperti sekarang, mantel hitamnya sudah berkibar tak karuan.
Chen Huang menyiapkan sihirnya, bintang-bintang tek terhitung mengelilingi tubuhnya perlahan.
"Bai Li, minggir!" serunya dan tanpa menanti jawaban, dia mengayunkan tangan.
Ratusan bintang itu menerjang tak kenal ampun. Serangan bertubi-tubi dari sisi yang tidak terduga membuat si tetua kewalahan. Dia belum sempat memutar pedang untuk melindungi tubuh ketika bintang-bintang Chen Huang datang dan melubangi tubuhnya di banyak tempat.
"Meledak." Bai Li berbisik sambil menekan kedua tangannya ke punggung tetua tersebut.
Suara letupan samar terdengar, kemudian tubuh tetua itu lenyap sama sekali karena jurus Matahari Hitam. Hanya menyisakan sedikit bagian kaki dan darah-darah yang berceceran.
"Bagus," Bai Li tersenyum kepada Chen Huang. "Kau telah maju pesat."
Pertempuran selesai dengan kemenangan mutlak di pihak Suku Langit. Bendera ungu bergambar matahari berkibar gemilang di tengah medan tempur, menegaskan kepada para penyerbu yang lari ketakutan bahwa Suku Langit tidak selemah itu untuk bisa ditaklukkan.
Mereka sama sekali tak mengambil tawanan karena banyak di antara kultivator yang masih hidup memilih untuk bunuh diri. Bai Li mencibir orang-orang itu, mengatakannya pengecut besar.
Hanya puluhan orang yang tewas di pihak Suku Langit, sisanya luka ringan atau berat. Namun, hasil pertempuran ini sudah membuktikan perbedaan kekuatan yang cukup besar.
Diam-diam, Bai Li terperangah melihatnya.
Jadi benar, kalau kultivasi adalah teknik setengah matang yang tak pernah sebanding dengan kekuatan Wilayah Pedalaman? dia membatin. Diliriknya Chen Huang yang berdiri diam menatap sisa-sisa pertempuran tadi. Bahkan Suku Langit yang hanya dapat menciptakan kabut tebal, bisa bertarung sebaik ini. Akan jadi apa kau di masa depan kelak?
Chen Huang memilih untuk pura-pura tidak melihat kala Cia Houw menghampiri Bai Li dan mengajak wanita itu bicara. Gagak ini diam-diam pergi.
"Akan kupastikan mereka tak bisa bersikap kurang ajar seperti ini lagi," katanya kepada Cia Kun ketika mereka bertemu.
"Bagaimana caranya?"
"Nanti kupikirkan." Chen Huang mengusap-usap belatinya yang penuh darah. "Bagaimanapun juga, mungkin kami akan lebih sering menghadapi yang seperti ini begitu sampai di Wilayah Tengah. Tapi, yang mereka incar itu Bai Li, bukan Suku Langit. Jadi kalau kami sedikit buat keributan di selatan sana, kupikir mereka tak akan melirik tempat ini lagi."
Cia Kun diam beberapa saat, mereka berdua hanya saling pandang.
"Ada sesuatu?" Chen Huang mulai merasa tak nyaman karena saling tatap seperti itu. "Kalau tidak, aku akan ke sana."
"Ada yang ingin kukatakan padamu, ini pesan ayah." Cia Kun menahan kepergian Chen Huang. "Ayah sudah membuat berbagai dugaan tentang kehancuran Suku Gagak, tidak mungkin kalau hanya binatang buas. Ternyata benar, Tanduk Darah pelakunya. Itu artinya hanya menunggu waktu sampai keenam suku lain dihancurkan oleh mereka."
"Jadi?"
"Kaulah satu-satunya harapan, carilah Raja Malam."
"Aku sudah mengatakannya padamu."
"Sekarang aku memohon dengan sungguh-sungguh." Cia Kun membungkuk hormat. "Saat hari itu tiba, Suku Langit akan mengiringi setiap langkahnya, itu yang ayah katakan."
"Aku senang, sungguh." Chen Huang membalas penghormatan itu. "Bahkan Raja Malam belum muncul dan sudah mendapat satu pengikut. Bertahanlah sampai kami pulang."
"Pasti!".
Bai Li datang tak lama kemudian—bersama Cia Houw.
"Kita sudah merepotkan mereka." Nada simpatinya jelas dibuat-buat. "Ayo kita berpamit." Chen Huang paham, itu hanya alasan agar bisa segera menjauh dari Cia Houw.
"Malam ini juga?" Cia Kun melebarkan mata. "Setidaknya menginaplah satu malam."
"Tidak!" Bai Li memutuskan. "Ayo temui ayahmu dan kami tak ingin merepotkan lebih jauh."
"Kami juga tak punya mata uang kalian untuk membayar kamar satu malam," lanjut Chen Huang.
"Kalian bisa melakukan pertukaran barang bila berkenan, walau kami tak mengharapkan bayaran apa pun dari kalian. Kami menerima kalian di sini sebagai tamu."
"Yah ... terserah kepadamu," Bai Li menarik tangan Chen Huang. "Ayo, kita ke tempat kepala desa."
Malam itu juga, seperti yang Bai Li katakan, mereka segera berpamit untuk meninggalkan desa.
Cia Yan mencoba menahan sebisa mungkin dibantu oleh penasihat dan para pemimpin perangnya. Namun, hal itu tak membuahkan hasil. Bai Li dengan keras kepala ingin pergi cepat-cepat—lebih karena ingin segera menjauhi Cia Houw.
"Kami tak bisa menunggu mereka datang lagi," kata Bai Li percaya diri dengan lagak pembela kebenaran. "Kami yang akan mengacau lebih dulu sebelum mereka kembali."
Setelahnya, masih terjadi perdebatan panjang, tapi Cia Yan hanya menggelengkan kepala menghadapi kekeras kepalaan Bai Li. Akhirnya, Suku Langit mengizinkan tamu mereka untuk pergi.
"Jangan sungkan untuk mampir kapan pun itu," berkata Cia Yan ketika mereka mengantar Chen Huang dan Bai Li. "Kami tak akan melupakan ini."
Chen Huang mengangguk. "Terima kasih."
Mereka saling membungkuk untuk penghormatan, kemudian Cia Houw berkata tiba-tiba.
"Bai Li, terima kasih sudah menyelamatkanku di pertempuran tadi."
Chen Huang menoleh, mengamati wanita itu yang memaksakan senyum.
"Yah ... kalau kau tadi mati, pedang ayahmu bisa menggorok leherku, kurasa." Di belakang punggung, dia menarik-narik jubah Chen Huang agar segera angkat kaki.
Sebelum mereka benar-benar pergi, Cia Yan berpesan kepada Chen Huang, gagak terakhir. "Ingat selalu, kemana pun kau pergi, engkau tetap seorang gagak. Bentangkan Sayapmu!"
"Tentu saja."
Hanya saja untuk development karakter nya aku masih merasa kurang cukup motivasi. Mungkin karena masih perkembangan awal. Akan tetapi, perlahan namun pasti keberadaan Chen Huang di Serigala, kayaknya akan semakin bisa di terima. Aku cukup merasakan bahwa dia saat ini sudah mulai banyak berinteraksi dengan tokoh lainnya.
Aku baca ulang dan ternyata memang ini flashback😅✌🏻