Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 : Percobaan rasa
Ara bangun pagi dengan kepala pening dan badan pegal-pegal. Dia hanya sempat tidur dua jam saja. Saking terkurasnya tenaganya, Mamanya tidak mendengar suara duk duk duk kencang dari pijakan kaki Ara di tangga.
Sarah memandang ke atas. Beneran Ara. Akhirnya kebiasaanya bisa berubah juga. Anak itu berubah kalem setelah ketemu Saka. Batin Sarah.
Belum sempat sampai di meja makan, Alan sudah menyerobot tangannya dan mengguncangnya hingga Ara limbung.
"Apa sih, Lan?"
“Selamat, akhirnya Anda menjadi normal kembali.”
“Apaaa...?"
“Jangan berlagak amnesia gitu lah. Aku sebagai adikmu ikut senang kalau kamu jadi sama Mas Mahesa.”
“Jadi gimana maksudmu?”
“Lah…”
Alan mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah video. Mata Ara melotot melihat video saat dia menerima bunga mawar dari Mahesa.
“Ini…siapa sih yang iseng ngerekam? Melanggar privasi tau!”
Untung muka Ara tertutup sebagian oleh badan Mahesa.
“Kalian udah resmi pacaran?”
“Siapa yang pacaran?!” Suara Sarah menggelegar mengagetkan seluruh penghuni komplek dan kecamatan sebelah.
Ara memukul bahu Alan sambil menyuruhnya untuk tutup mulut. Tapi bukan Alan namanya kalau nggak ember.
“Mbak Ara, Ma! Sama Mas Mahesa!”
Ara ingin mengejar Alan yang kabur ke atas, tapi Mamanya sudah menghentikan langkahnya dengan magnet tak kasat mata. Dari kedua tangannya yang tersangkut di pinggang, sudah jelas bahwa Mamanya Ara itu ingin meminta penjelasan yang terang benderang.
“Kok Mahesa? Bukan Saka?”
“Ara belum pacaran sama siapa-siapa, Ma.”
“Kok belum?”
Ara memijit keningnya.
“Ara belum siap.”
“Kapan siapnya?”
Ara merasa tidak suka kalau dipojokkan begini. Dia ingin menjelaskan panjang lebar kepada Mamanya tapi energinya tidak cukup untuk mengisi amunisi perang dengan Mamanya.
“Kenapa Alan nyebut nama Mahesa?” tanya Sarah lagi.
“Tanya aja ke Alan.”
“Mama nggak suka sama Mahesa.”
Kali ini Ara menatap mata Mamanya.
“Kenapa nggak suka? Mahesa pernah bikin masalah sama Mama?”
“Mahesa kerjaannya nggak pasti. Masih anak band kan dia? Band gitu ada masanya, terkenal cuma bentar. Nanti kalau sudah redup, pensiun mau ngapain? Lagipula anak band itu biasanya playboy. Pergaulannya terlalu bebas.”
“Mama ngintilin Mahesa? Kok kayak paham banget.”
“Mama lebih pengalaman daripada kamu.”
“Mama nggak ngalami apa yang Ara alami.”
Sarah mendesis. Ara tidak ingin berdebat dengan Mamanya sendiri. Dia tidak jadi mengambil makanan lalu memilih pergi dari hadapan Sarah.
Sarah tidak tahu mata Ara sudah menahan genangan di pelupuk. Tangis yang ditahan itu bagaikan menelan bakso bulat-bulat. Nyangkut di tenggorokan.
Semuanya selalu terlihat salah di mata Mamanya. Ara turun lagi dengan jaket kupluk sudah terpasang di badan.
"Mau ke mana, Ra?" tanya Sarah.
"Beli es krim."
"Pagi-pagi kok beli es krim sih, nanti perut kamu kram. Isi dulu dengan yang hangat-hangat."
"Udah, Ma. Panas malahan. Kayak kebakaran."
Ara hanya melambaikan tangan pada Sarah. Dia mengeluarkan sepedanya menuju toko serba ada di luar perumahan.
Benarkah makanan manis bisa memperbaiki suasana hati yang buruk? Es krim ketiga Ara meleleh perlahan di tangan Ara. Dia sudah sebanyak ini makan es krim di pagi hari tapi suasana hatinya hanya membaik sekitar 0,5%.
Ara mengusap-usap lengannya sendiri. Pagi ini ternyata lebih dingin dari biasanya. Mendung hitam menggantung di langit.
Ara berharap hujan segera turun agar dia bisa hujan-hujanan. Ara merasa seluruh badannya kotor dan perlu dibasuh habis-habisan dengan air yang dilimpahkan oleh Tuhan langsung.
"Hei, good morning, sleepy head!"
Suara Mahesa riang gembira ketika melihat Ara duduk di depan minimarket komplek. Dia melepaskan earphone tanpa kabel di telinganya lalu menghampiri Ara yang masih menutup tudung jaket di kepalanya.
Mahesa mengerutkan dahi ketika melihat celana piyama dan sandal karet yang dipakai Ara.
"Kamu ngelindur? Sleep walking sampai sini?"
"I wish i can sleep forever."
Mahesa menyibak poni rambut Ara yang mulai menutupi mata.
"Kenapa? Sleeping Beauty aja kepengen bangun dengan ciuman Pangeran. Kok kamu malah pengen tidur terus."
"Putri tidur nggak tahu kalau dia bakalan dicium sama Pangeran, kan?"
Dalam kepala Ara tiba-tiba terlintas sebuah percobaan yang ingin dia lakukan bersama Mahesa. Percobaan rasa.
Ara melirik Mahesa yang wajahnya sedang glowing. Senyumnya juga cerah. Dan sepertinya sedang dalam suasana hati yang baik. Dia tidak akan marah kan?
"Mahes, jalan-jalan yuk."
"Kamu mau mengabulkan permintaanku yang dulu itu? Mau ke mana kita?" Senyum Mahesa langsung sumringah menyambut ajakan Ara.
"Lapangan."
"Lapangan? Lapangan mana? Stadion sepak bola?"
"Bukan. Maunya sih menuju hati yang lapang, tapi lagi nggak nemu ada di mana. Jadi kita ke lapangan yang ada ayunannya aja. Kita jalan aja sampai sana. Sekalian olahraga pagi."
"Ini namanya bukan nge-date, Raa."
Mahesa terlihat sedikit kecewa. Ara bangkit sambil mengulurkan tangannya kepada Mahesa.
"Kamu minta apa?" tanya Mahesa
"Gandeng."
"Hah?"
"Nggak mau?"
"Mau."
Mahesa menyambut uluran tangan Ara sambil tersenyum. Meskipun terdengar janggal, tapi Mahesa tetap menuruti permintaan Ara. Mungkin saja Ara mulai mau membuka hatinya untuk Mahesa?
Mereka berdua berjalan kaki sampai ke lapangan sambil bergandengan tangan. Lama tidak ada percakapan di antara keduanya. Mahesa hanya sesekali menatap langit sambil merasakan tangan Ara yang dingin. Bibirnya tidak berhenti tersenyum.
Sepanjang jalan, Ara terus memperhatikan genggaman tangannya yang terpaut dengan tangan Mahesa. Kenapa dia tidak takut? Kenapa dia tidak merasakan apa-apa ketika tangannya bersentuhan dengan jari-jari Mahesa?
Memang ada rasa tenang dan damai ketika bersama Mahesa, bahkan Ara tidak memikirkan apa-apa. Apakah karena mereka sudah akrab dari kecil?
"Kenapa minta gandeng? Suasana hatimu sedang buruk? Aku liat banyak bungkus es krim tadi."
Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa, Ara memindahkan tangan Mahesa ke bahunya seperti posisi merangkul. Mahesa tentu saja terkejut dengan sikap Ara. Seumur hidup Ara tidak pernah minta gandeng lalu tiba-tiba minta rangkulan seperti ini.
Bahkan ketika menyeberang jalan pun, Ara jalan sendiri mendahului Mahesa dengan penuh percaya diri. Lalu ada apa dengan Ara kali ini? Pagi ini? Pukul sembilan kurang tiga belas menit ini?
"Kamu kedinginan, Ra?"
"Dikit." jawab Ara datar.
"Kamu pakai aja jaketku."
"Nggak perlu, sepertinya yang dingin bukan badanku."
"Fix, kamu eror. Atau...malah sudah sembuh ya?" Mahesa menyentuh dahi Ara. "Nggak demam."
Ara menurunkan tangan Mahesa dari bahunya ke posisi menggandeng kembali. Dia masih mencari sesuatu.
Sampai di lapangan, Ara mendudukkan Mahesa di ayunan lalu sekonyong-konyong mendekatkan wajahnya ke wajah Mahesa. Mahesa hampir menyebut seluruh ayat di kitab ketika melihat mata bulat Ara yang menatap datar tanpa ekspresi. Sesekali kepala Ara miring ke kanan dan ke kiri.
"Ra...jangan bikin aku takut gitu lah. Ada apa sama kamu?"
"Coba cium aku."
"What?"
Tiba-tiba Ara menangkap kedua sisi kepala Mahesa dengan kedua tangannya lalu memaksa kepala itu semakin dekat.
"Ara! Hey, slow. Jangan begini dong. Inget, ini di mana. Bentar lagi biasanya tukang sayur lewat. Kalau dia ngegosip sama Mama kamu..."
"Kamu takut?"
"Bu...bukan begitu. Aku hanya...hanya... Okelah, kamu yang berwajah datar tanpa ekspresi seperti ini memang menakutkan. Tapi..."
Mahesa melepaskan tangan Ara dari kedua sisi kepalanya lalu menggenggamnya di depan dadanya.
"Ada yang lebih penting dari itu. Kamu habis ngapain kemarin kok pagi-pagi udah kesambet kunti mesum begini? Ini bukan kamu yang biasanya. Rambut berantakan, mata hitam. Untung punggung kamu nggak bolong. Ada apa? Cerita sama aku."
Ara mendaratkan hidungnya di dahi Mahesa. Lama dan diam. Mata Mahesa kini benar-benar sudah tidak bisa dipejamkan lagi. Apalagi jantungnya. Kaget sekaget-kagetnya.
Tapi di balik itu semua, ada rasa yang mengalir aneh dari dalam lubuk hati Mahesa. Apa ini? Mahesa merasa jiwa Ara sedang melayang entah ke mana.
Ara melepaskan hidungnya dari dahi Mahesa lalu duduk melorot di ayunan sambil menyandarkan kepala di besi panjang ayunan. Ara bergumam seolah ada pribadi lain yang sedang berdebat dengannya saat ini. Perdebatan itu meluncur sampai ke dada. Ara menyentuh dadanya sendiri.
"Kenapa jantungku tidak meledak?"