Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ²⁶
“Seharusnya aku lebih cerdik dari Miranda, seharusnya aku sudah mencuri dokumen itu lebih cepat!” Dengan rewel Gio membuka semua penyimpanan data penting di kamar Miranda. Mengobrak-abrik pakaian dengan harapan ada di salah satu bagian itu.
“Sialan... seharusnya sebelum nikah lagi aku bawa semuanya, aku bawa semuanya.” Gio memegangi kepalanya sambil berjalan wira-wiri, bingung, di mana lagi harus dia cari barang-barang berharga yang bisa dimiliki?
“Tas-tas branded Miranda, sepatunya, perhiasannya... Pasti masih ada.” Secercah harapan terkadang menjadi rumit karena realita tidak sesuai harapan dan kesulitan-kesulitan selalu mendampingi harapan buruk.
Napas Gio terhenti di depan lemari kaca. Tas-tas branded itu ada, sepatu jutaannya ada, berderet-deret di lemari kaca. Bahkan baju-baju yang sulit dia jabarkan harganya juga masih tertata rapi di lemari kayu jati.
Gio tertawa-tawa, indahnya dunia sekarang, semua ada di depan mata. Dalam kuasanya yang bebas menjarah sesukanya.
“Aku tetap bisa hidup enak dengan ngejual ini semua. Aku bisa hidup...”
Hantu Ningrum cekikikan dari atas lemari kayu jati sambil membuka tutup pintu lemari kayu jati.
Gio tersentak, kakinya mundur selangkah. Puncak keresahannya mulai mengada-ada dalam keremangan kamar yang bercampur dengan wangi-wangian asing. Wangi bunga kuburan dan oplosan pabrik.
“Siapa kamu?” Gio berputar sambil memandangi sekeliling, jiwanya berbisik setan, ada setan lagi.
“Siapa kamu? Jangan ganggu!” ancam Gio dengan murka.
Ningrum terus menerus memainkan pintu lemari kayu sambil menghembuskan napasnya di tengkuk leher Gio. Hawa dingin merambat di atas bulu kuduk pria itu, Gio merinding bukan main. Tetapi apa yang sedang dihadapinya tak membuat Gio lantas terbirit-birit kabur dari sana.
Gio cekakakan sambil menoleh ke belakangnya, “Kamu dekat-dekat sebelum membunuhku? Keren, keren... Aku suka ini. Suka sekali.”
Bagai keberanian yang nyata penuh aksi, Gio melinting lengan panjang sweater-nya. “Lawan aku sekarang, maju kamu!”
Hantu Ningrum berhenti beratraksi, hening, suasana menjadi mirip kuburan. Keberanian Gio menjadi bumerang baginya sendiri sebab melawannya sama saja melawan kemustahilan. Dan patutnya Gio menyadari, melawan hantu tak dapat terjadi kecuali ada raga yang bisa dirasuki.
“Panjenengan suka dengan godaan ini?” Hantu Ningrum jadi kegenitan, jadi ingat laksamana muda. Meski begitu Gio tak dapat merasakan apa-apa selain pundaknya berat sewaktu Ningrum hinggap di tubuhnya.
Walang kekek, walange kayu
Walang kayu, tibo neng lemah
Yen kepingin yo mas, arep melu aku
( Walang kekek - Waldjinah)
Hantu Ningrum tampak senang bisa bersemayam di tubuh Gio tanpa ada campur tangan Miranda. Rumah itu sudah seperti tidak dipantau, sudah bebas para penghuninya untuk berbuat apa-apa. Dan kini gantian si kepala kambing menjelma sebagai Gio, dia menyeringai sambil mengetuk pintu kamar.
“Mona....” panggilnya lembut.
Jelas saja wanita yang belum berhasil menghentikan tangisnya itu langsung syok, takut dimarahin lagi, takut dibentak-bentak lagi. Tetapi mengapa suaranya lembut? Mona heran.
“Mona... sayang.” Si kepala kambing itu tampaknya sering mendengar pembicaraan Gio dan Mona dan sekarang dia meniru-niru nada suaranya yang merayu.
“Aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya, Mona.”
Mona merangkak, menjauh dari pintu. Firasatnya mengatakan Gio mungkin hanya sekedar merayu, membawa tipu muslihat dan akan memarahinya lagi sewaktu bertatap muka langsung. Dan saking lelahnya, dengan merangkak lagi di pindah ke arah lemari pakaian dan mengurung diri di antara baju-bajunya yang tergantung di palang besi.
Mona menautkan kedua tangannya di depan dada. Wajahnya pias dan cemas. Dalam kegelapan dan terhimpit ruang sempit, jantung yang selalu berdebar keras sampai-sampai sekujur tubuh gemetar, dia mendengar suara pintu terbuka.
Kelopak matanya melebar. ‘Bukannya tadi aku kunci?’ benaknya bergejolak sedang panggilan namanya terus mendekat ke arahnya.
“Baa...” Gio jadi-jadian membuka pintu lemari, mengagetkan Mona yang sudah terkencing-kencing di buatnya.
“Kenapa kamu di lemari?” Dia tersenyum.
Mona melotot sambil menatap kehadiran Gio yang tidak dia inginkan. Dia menggeleng cepat, tidak mau bahkan ketika tangan Gio jadi-jadian terulur, mengajaknya untuk keluar.
“Aku tidak mau! Tidak suka.”
“Kenapa?” Gio jadi-jadian mengernyit.
“Mas jahat, mas galak! Pergi sana, jangan ganggu aku.”
Gio jadi-jadian mendengus sambil menatap Mona lekat-lekat. Dan entah daya magis apa yang diciptakan si kepala kambing itu, Mona dengan sendirinya keluar dari lemari.
Mona menundukkan kepala sedang Gio tersenyum-senyum dengan puas.
“Aku pipis di dalam lemari.” aku Mona dengan malu. “Aku bersih-bersih badan sebentar.”
“Aku temani.” Gio jadi-jadian membuntutinya sampai di kamar mandi.
Mona menatap Gio dengan tidak tenang. Sebentar-sebentar merayu, sebentar-sebentar galak, Mona tidak tahu apa yang harus diputuskan sekarang. Tapi firasatnya mengatakan tidak perlu ada Gio sekarang.
“Lebih baik Mas tunggu di luar kamar mandi, aku tidak perlu di temani.”
Sudah tersulut birahi menjadikan Gio jadi-jadian tak menghiraukan perkataan Mona. Dia melepas pakaiannya dan mengajak Mona melakukan hal yang sama dengan mesra sekaligus aksi nyata.
Mona menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menutupi bagian tubuhnya yang sintal dari sentuhan Gio yang mencoba membujuknya untuk bersenggama. Namun kegigihannya melemah juga ketika bibir hangat penuh damba itu memuja dirinya dengan penuh kasih.
Si kepala kambing betul-betul biadab, pikir hantu Ningrum. Kepedihan yang dirasakan dan kepeduliannya terhadap Miranda untuk membalaskan dendam membuatnya membimbing Gio untuk pergi ke kamar mandi kamarnya bersama Miranda.
Gio tertegun sesaat di ambang pintu, lenguhaan panjang dan rintihann yang mengudara di kamar membuatnya mengernyit. Suara itu mengusiknya. Tegang seluruh tubuhnya, dan murka tentunya.
Gio mendatangi kamar mandi, dia hanya melihat Mona merebahkan diri di lantai, bergerak-gerak tidak pantas sebelum Ningrum mengirim sinyal-sinyal pada benaknya.
Gio tercengang, syok berat melihat si kepala kambing menggagahiinya dengan nafsu hewan. Perutnya terasa melilit. Gio menahan mual. Kaki setan itu benar-benar mirip kaki kambing, hanya badan dan kepalanya yang terlihat seperti manusia meski berbulu dan bertanduk.
Hantu Ningrum menyeringai puas sambil menatap Gio lekat-lekat. “Sakit dadamu? Sakit sepertiku dan Miranda?”
Hantu Ningrum cekikikan dengan puas, memancing perhatian si kepala kambing. Setan itu menoleh. Keberadaan Gio membuatnya menyudahi aksinya.
Mona pun berhasil menyadari semua telah berhenti, di tatapannya Gio dengan mata yang masih berkabut. Gio sudah berpakaian, secepat itu? Bagaimana bisa? Rasanya masih terasa seperti baru sedetik perpisahan raga mereka.
Gio menggelengkan kepala sambil mundur selangkah, selangkah lagi. Menghindari Mona. Menghindari fakta mengerikan yang baru saja terjadi di depan mata.
Gio tak dapat berkata apa pun selagi otaknya bekerja menelan fakta itu. Fakta yang membuatnya semakin tersiksa.
-
next
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.