Bagi beberapa orang, Jakarta adalah tempat menaruh harapan. Tempat mewujudkan beragam asa yang dirajut sedemikian rupa dari kampung halaman.
Namun, bagi Ageeta Mehrani, Jakarta lebih dari itu. Ia adalah kolase dari banyak kejadian. Tempatnya menangis dan tertawa. Tempatnya jatuh, untuk kemudian bangkit lagi dengan kaki-kaki yang tumbuh lebih hebat. Juga, tempatnya menemukan cinta dan mimpi-mimpi baru.
“Kata siapa Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri? Kalau katamu begitu, mungkin kamu belum bertemu dengan seseorang yang akan membuatmu menyadari bahwa Jakarta bukan sekadar kota bising penuh debu.”—Ageeta Mehrani, 2024
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkunjung
“Makasih udah mau bantuin aku, Ren. Maaf karena bikin kamu sama mami kamu jadi berantem.” Clarissa menyambar ponselnya dari atas nakas dengan dada yang terasa ngilu. Ia tak menyangka keputusannya untuk meminta bantuan kepada Reno, malah membuat hubungan lelaki itu dengan ibunya memburuk. Sekaligus mengorek lagi luka lama yang sama-sama ingin mereka lupakan bagaimana pun caranya.
Reno yang duduk tepekur di tepian ranjang dengan tatapan gamang hanya bisa menghela napas panjang. Isi kepalanya terlalu berantakan sekarang, terlalu sulit baginya untuk membuka mulut memberikan tanggapan.
Ia tahu, sepenuhnya mengerti bahwa keributan ini jelas akan terjadi. Sejak pernikahannya dengan Clarissa batal dengan cara yang tidak mengenakkan, Theresa sudah mewanti-wanti agar tidak ada lagi nama perempuan itu beserta seluruh anggota keluarganya yang dibawa-bawa lagi. Ibunya itu bahkan memohon dengan uraian air mata, memintanya untuk move on dan mencoba mencari orang lain yang bisa menerima dirinya dengan segala kurang yang ia punya.
Akan tetapi, bahkan ketika ia sudah tahu bahwa segalanya akan menjadi rumit, Reno tetap tidak akan mengambil keputusan yang berbeda jika waktu dimundurkan kembali ke beberapa jam ke belakang. Dia akan tetap datang. Dia akan tetap menyusul Clarissa dan membawanya pulang. Dia ... tidak akan mungkin tega membiarkan Clarissa ketakutan ketika satu-satunya orang yang bisa perempuan itu pikirkan untuk dimintai bantuan cuma dirinya. Tidak akan bisa.
“Bikin laporan, Sa, aku temenin kamu ke kantor polisi.” Kepalanya yang semula agak tertunduk, terangkat perlahan. Ditatapnya lekat netra Clarissa yang masih kemerahan. Kerapuhan tergambar jelas dari mata perempuan itu, sesuatu yang tidak akan pernah ia temukan dari Clarissa bertahun-tahun lalu.
Dada Reno terasa berat tatkala Clarissa malah menggelengkan kepalanya.
“Sa, dia harus dikasih pelajaran,” bujuknya.
Mengingat lagi apa yang terjadi pada Clarissa semalam, membuat kedua tangannya praktis terkepal. Perempuan itu sedang dalam perjalanan pulang bersama seorang lelaki kenalan ayahnya, ketika di tengah jalan, lelaki bajingan itu malah berniat melakukan hal-hal tidak pantas padanya dan membuatnya terpaksa mengambil langkah ekstrem dengan melompat keluar dari mobil yang melaju pelan.
Clarissa cukup beruntung lukanya tidak parah dan segera bertemu dengan para pemuda yang sedang berkeliling ronda. Kalau tidak, Reno bahkan tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada perempuan itu.
“Percuma, Ren.” Bayangan mengerikan dari kejadian semalam, membuat Clarissa kembali gemetar. Kalau diberi kesempatan, ingin sekali dia hajar wajah lelaki itu sampai babak belur tak berbentuk. Tetapi sayangnya, ia tidak bisa. Yudas bukanlah seseorang yang bisa dia sentuh semudah itu. Dan seharusnya, ia memang tidak pernah berurusan dengan lelaki itu sejak awal.
“Papanya pejabat penting di pemerintahan, Ren. Akan susah juga buat bikin dia kena hukuman, apalagi satu-satunya bukti yang aku punya cuma kesaksian aku sendiri. Salah-salah, malah aku yang kena masalah.” Clarissa menggigit bibir bawah, merasa sesak karena tidak bisa membela dirinya sendiri hanya karena lawannya bukan orang sembarangan.
“Tapi kamu masih akan ketemu sama orang itu, Sa. Kamu masih akan lihat dia bebas berkeliaran di luar sana sementara kamu nggak dapat keadilan.”
“It’s okay.” Susah payah Clarissa mencoba tetap menegakkan kepala, berusaha menyunggingkan senyum meski air matanya sudah berdesakan ingin keluar detik itu juga. “Dunia memang nggak berlaku adil ke semua orang, kan? Aku cuma perlu yakinin Papa buat nggak bikin aku berhubungan lagi sama dia. Kalau begitu ... harusnya nggak apa-apa, kan?”
Reno mengusap wajahnya kasar. Kesal dan frustrasi karena tidak bisa membantu banyak. Sedari dulu pun, ia memang tidak pernah becus menjaga orang-orang yang disayang. Sedari dulu pun, dirinya adalah pengecut dan tidak berguna.
“Aku bakal baik-baik aja.”
Tatapan Reno kembali jatuh pada manik cantik milik Clarissa. Lalu sebagai satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah memberitahu perempuan itu bahwa dirinya akan mengusahakan untuk selalu ada.
...****************...
“Aku tahu aku bisa pantau taksi online ini lewat hape, but still let me know when you get home.” Reno mundur selangkah untuk membiarkan Clarissa mengambil posisi duduk di kursi penumpang sebelah kiri.
Tadinya, dia ingin mengantarkan perempuan itu pulang dan memastikannya sampai di rumah dengan selamat. Tetapi setelah mempertimbangkan banyak hal, keputusan akhirnya jatuh dengan memesankan taksi online saja.
“Iya. Makasih banyak, Ren.” Kepala Clarissa mengangguk, ia tersenyum tipis. Setelahnya, kaca jendela ditutup dan taksi mulai melaju.
Reno tidak langsung beranjak dari tempatnya. Ia tunggu sampai taksi online yang membawa Clarissa benar-benar menghilang dari pandangan, barulah ia berbalik dan merajut langkah kembali ke arah rumah.
Di teras, Theresa dan Scarlett sudah menunggu. Kedua wanita beda usia itu sudah dress up, siap berangkat ke rumah Darius seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya.
“Papi, yang tadi itu siapa?” todong si gadis kecil ketika Reno baru tiba di hadapan.
“Teman,” jawab Reno. Menatap hanya pada Scarlett dan sebisa mungkin menghindari kontak dengan Theresa yang masih terlihat kesal. “Kamu udah siap? Kita jalan sekarang?”
Scarlett mengangguk. “Let’s go,” ajak gadis itu,sukarela menggandeng tangan ayahnya, menuntun lelaki itu menuju mobil mereka yang terparkir di carport.
Reno membukakan pintu belakang, mendudukkan Scarlett di kursi sebelah kanan dan memastikan safety belt milik putrinya terpasang dengan benar. Setelahnya, ia memutar ke sisi kiri, membukakan pintu mobil bagian depan untuk ibunya. Hanya untuk dibuat terdiam sebentar karena Theresa malah memilih membuka sendiri pintu belakang.
“Mi,” tegurnya dengan suara rendah.
Theresa geming, tetap lanjut masuk dan duduk di kursi pilihannya. “Mami mau duduk di belakang sama cucu Mami,” ketusnya sebelum menutup pintu dengan keras.
Reno mendesah kasar, lalu menutup kembali pintu yang sudah dibukanya dengan ekstra tenaga dalam hingga menimbulkan suara debam. Langkahnya lalu diseret kembali ke sisi kanan mobil, setengah dongkol mendudukkan diri di kursi kemudi dan masih sewot ketika memasang safety belt ke tubuhnya sendiri.
Tidak, Reno bukannya sedang kesal pada Theresa. Ia kesal pada dirinya sendiri, tapi cukup tahu bahwa tidak banyak yang bisa diperbuat dalam situasi seperti ini. Mengajak Theresa bicara ketika egonya sedang tinggi tidak akan menghasilkan apa-apa. Jadi yang terbaik dilakukan saat ini adalah membiarkan wanita itu meluapkan segalanya, sampai puas, sampai tidak ada lagi kekesalan yang tersisa.
“Kamu mau nyetel lagu apa, Sayang?” tanyanya setelah menyalakan mesin. Diliriknya Scarlett melalui rear-view mirror, gadis kecilnya itu sedang menatap keluar jendela dengan dagu yang ditopang.
“Nggak mau nyetel apa-apa,” jawab si gadis kecil.
Reno hanya mengangguk, lalu melajukan mobilnya meninggalkan carport. Ia berkendara dengan kecepatan sedang. Tidak berniat buru-buru meski atmosfer yang tercipta di dalam mobil benar-benar terasa mencekik. Sungguh, Theresa yang sedang marah adalah bencana besar.
Perjalanan mereka benar-benar dilalui dalam keheningan. Di kursi belakang pun, Theresa dan Scarlett tidak saling tukar suara. Keduanya seolah sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing hingga tidak tertarik untuk bersenda gurau seperti biasa.
...****************...
Setelah hampir satu jam berkendara dengan rasa bosan yang menggerogoti jiwa, Scarlett akhirnya bisa tersenyum senang ketika mobil yang ayahnya kendarai tiba di kediaman kakeknya. Ia turut menyapa satpam yang membukakan pintu gerbang untuk mobil mereka, berteriak memberikan semangat pada pria paruh baya yang juga sudah dia anggap sebagai bestie itu sebelum mobil mereka melaju menuju halaman yang luas dikelilingi taman hijau.
“Sudah sampai, Tuan Putri.”
Scarlett segera melepaskan safety belt setelah ayahnya memberikan isyarat bahwa mobil mereka telah sepenuhnya berhenti dan masing-masing pintu sudah boleh dibuka. Lalu, dengan semangat yang menggebu-gebu, ia turun dari mobil mendahului ayah dan neneknya.
Gadis kecil itu berlarian dengan riang gembira. Senyumnya melebar dan matanya dipenuhi benar-benar cerah seperti baru saja mendapatkan secercah harapan, tatkala dari pintu besar berwarna putih itu muncul seorang perempuan yang menyambutnya dengan rentangan tangan lebar.
“Hi, Sweatie!” sapa perempuan itu. Secepatnya berjongkok, menyejajarkan posisi tubuh dengan gadis kecil yang berlarian ke arahnya.
Scarlett ikut merentangkan tangannya dan mempercepat ayunan langkah sembari berteriak semangat. “Aunty Laras, I miss you so much!”
Bersambung....
ninggalin 🌹 dulu buat ka author✌️✌️✌️