Menjadi Ibu Untuk Keponakanku

"Udah, udah cantik banget loh. Mau pergi Terapi juga bukan pergi kondangan. Nanti Dokternya gak fokus lagi kalau pasiennya cantik banget begini." Kelakar mama Zana ketika Flora mengoleskan kembali liptint di bibirnya.

"Emang Dokternya cowok ya, Ma?" Flora menatap sang mama yang berdiri di sampingnya dari pantulan cermin.

"Gak tau juga sih, Kakak kamu yang atur. Tuh di bawah Kakak kamu juga udah nungguin, katanya dia yang mau anterin kamu Terapi." Kata mama Zana.

Flora menyimpan liptint nya kemudian memutar badan berhadapan dengan mamanya, "Bukannya Mama sama Papa yang mau nemenin aku Terapi?"

"Tadinya juga gitu, tapi kakak kamu ngotot yang mau anterin dan nenemin Kamu. Ya udahlah gak apa-apa Terapi pertama sama kakak kamu, Terapi selanjutnya nanti baru sama Papa dan Mama, ya?" Mama Zana mengusap rambut panjang putri bungsunya itu serta menatapnya penuh harap agar Flora setuju. Flora memang sedikit sensi dengan Farzan kakak sulungnya, menurutnya cara Farzan perhatian padanya itu terlalu berlebihan dan posesif.

"Iya deh, Ma." Ujar Flora akhirnya. Setelah memastikan penampilannya sudah oke, mama Zana kemudian menuntun Flora menuju ruang keluarga, dimana Farzan sudah menunggu adiknya.

Flora yang asyik mengobrol dengan mamanya sambil sesekali tersenyum sepanjang langkah, seketika terdiam begitu sampai di ruang keluarga. Ternyata tidak hanya ada Farzan, di samping kakak sulungnya itu, ada pria yang pernah bertahta di hatinya.

"Kita berangkat sekarang ya?" Ujar Farzan seraya berdiri, pun dengan Arkan yang duduk di sampingnya.

Pria itu mengulas senyum tipis dengan tak berkedip menatap Flora, ingin sekali memuji penampilan gadis itu tapi dia sadar diri. Meski Flora dikabarkan akan bercerai dengan Rangga, tak membuatnya yakin jika hubungannya dengan Flora akan kembali seperti dulu. Semenjak memutuskan menikah dengan Rangga, Flora mulai memberi batasan diantara mereka. Sikapnya pun tak seperti dulu, Flora seperti bukan hanya menganggapnya mantan, namun orang asing yang perlu diwaspadai.

Seperti sekarang, Flora memutuskan tatapan mereka yang sempat bertemu. Arkan hanya dapat tersenyum getir, sepertinya Flora lupa kalau mereka berdua juga masih saudara.

Farzan mengambil tongkat Flora kemudian memberikannya pada Arkan, ia lalu mengapit lengan adiknya.

Mama Zana yang berdiri di sisi kiri Flora berpindah tempat ke samping Farzan, mendekatkan bibirnya ke telinga putranya itu lalu berbisik, "Zan, Mama cuma mau ingetin, kalau Flora itu masih istrinya Rangga, mereka belum resmi bercerai. Jadi kamu jangan aneh-aneh ya."

Farzan hanya tersenyum menanggapinya. Tahu saja mamanya itu jika ia punya maksud tertentu dengan mengajak Arkan untuk menemani Flora terapi. Dulu, ia yang mendekatkan Flora dengan Arkan ketika Arkan sedang lagi patah hati batal nikah. Dan sekarang, tak ada salahnya ia kembali mendekatkan kedua adiknya itu. Ia sangat yakin jika Arkan masih mencintai Flora namun, ia tidak tahu dengan Flora sendiri.

.

.

.

"Pa, Kia udah sembuh, Kia gak mau ke rumah sakit. Kia mau ke rumah kakek Farhan aja ketemu sama Mama Flora." Rengek Kiara yang kini sedang digendong oleh papanya menuju mobil.

"Papa baru percaya Kia udah sembuh kalau Dokter sendiri yang bilang Kia udah sembuh," kata Rangga sembari tersenyum.

Kiara memanyunkan bibirnya. Panasnya memang sudah turun namun tubuhnya masih terasa lemah. Tapi ia menganggap kalau dirinya sudah baik-baik saja, hanya perlu beristirahat dengan cukup dan makan teratur serta rutin minum obat, menurutnya kondisi tubuhnya akan kembali bugar dengan sendirinya, tidak perlu ke rumah sakit. Tapi dia juga tidak bisa menolak papanya yang ngotot ingin membawanya ke rumah sakit.

Begitu sampai di rumah sakit, Rangga langsung membawa putrinya ke ruang poli anak. Ia tidak perlu mengantri lagi karena sudah buat janji melalui dokter Soni yang juga bekerja di rumah sakit itu.

Kiara yang benar-benar merasa jenuh karena tidak ingin ke rumah sakit, hanya diam dengan menyandarkan kepalanya di pundak sang papa yang menggendongnya. Netranya yang nampak sendu menatap satu-persatu orang-orang yang ia lalui sepanjang koridor menuju ruang poli anak. Hingga tatapannya tertuju pada tiga orang yang hendak masuk ke ruang poli orthopedi, kedua matanya seketika berbinar. Salah satu diantara ketiga orang tersebut adalah orang yang sangat dirindukannya.

"Pa, itu Mama Flora."