Sang Dewi Nemesis Hukum Nolite, yang jutek harus berkelahi dengan berondong teknik yang Playboy itu. Iyuuuuh .. nggak banget!!!!!
Tapi bagaimana kalau takdir berkata lain, pertemuan dan kebersamaan keduanya yag seolah sengaja di atur oleh semesta.
"Mau lo sebenernya apa sih? Gue ini bukan pacar lo Cakra, kita udah nggak ada hubungan apa-apa!" Teriak Aluna tertahan karena mereka ada di perpustakaan.
Pria itu hanya tersenyum, menatap wajah cantik Aluna dengan lamat. Seolah mengabadikan tiap lekuk wajah, tapi helai rambut dan tarikan nafas Aluna yang terlihat sangat indah dan sayang untuk dilewatkan.
"Gue bukan pacar lo dan nggak akan pernah jadi pacar lo. Cakra!" Pekik Aluna sambil menghentakkan kakinya di lantai.
"Tapi kan waktu itu Kakak setuju mau jadi pacar aku," pria itu memasang ajah polos dengn mata berkedip imut.
"Kalau lo nggak nekat manjat tiang bendera dan nggak mau turun sebelum gue nuritin keinginan gila lo itu!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aka
Cakra menghentikan langkahnya saat mereka sampai di gazebo kecil tak jauh dari mereka berdiri tadi.
"Ngapain bawa gue kemari?" nada bicara Aluna terdengar ketus, berbeda dengan wajahnya yang telihat cemas.
Cakra tersenyum tipis. Ia menuntun Aluna untuk duduk di gazebo, setelah memastikan Aluna duduk dengan baik Cakra melepaskan hoodie abu-abu yang ia pakai, menyisakan kaos berwarna hitam yang mencetak jelas tubuh kekar pemuda itu. Mata Aluna melebar, nafasnya tercekat melihat apa yang Cakra lakukan.
"Ma-mau ngapain Lo? Jangan macam-macam sama gue Cakra!"
Cakra mengerutkan kening mendengar ucapan Aluna. Ia pun memberikan Hoodienya kepada gadis favoritnya itu.
"Macam-macam gimana maksud Kak luna?" tanya Cakra dengan polos dan wajah bingung.
Aluna menunduk malu, menggerutu meruntuki pikirannya yang berkelana liar gara-gara Cakra.
"Pakai ini Kak, baju Kakak Cantik basah," imbuh Cakra sambil memalingkan wajahnya.
Aluna menunduk melihat gundukan yang tercetak jelas dibalik kemejanya yang basah, memperlihatkan lekuk yang seharusnya tidak terlihat.Sial. Gadis itu pun segera mengambil hodie dari tangan Cakra lalu memakainya.
"Udah." Setelah mendengar suara Aluna, Cakra baru kembali menoleh.
Laki-laki dengan plester kompres demam dan topi hitam yang masih setia ia pakai itu menatap Aluna dengan hangat dan penuh kerinduan, kehangatan yang pernah menenggelamkan Aluna. Luna segera memalingkan wajah memutus pandangan yang saling bertaut, tak ingin lagi ia terlena dalam mata dingin dan tenang, seperti danau tapi juga hangat seperti api unggun.
'Sial, jangan tatap gue kayak gitu Aka, gue nggak mau kecewa lagi,' gumam Aluna mencoba menekan debaran yang kembali bergejolak.
"Ehm. Makasih Hoodie-nya, besok gue balikin," ucap Aluna tanpa menatap Cakra.
"Nggak usah buru-buru Kakak cantik, aku seneng hoodie ini kamu pake lagi, jangan lupa di mam ya bentonya," sahut Cakra dengan senyuman penuh makna.
Mata Aluna melebar, dia menunduk melihat cepat hoodie yang kini melekat di tubuhnya. Gadis itu menatap mantan kekasihnya dengan tidak percaya.
"I-Ini-"
"Kakak cantik masih ingatkan.Hoodie ini ... hoodie couple kita," sela Cakra dengan senyum lebar.
"Pakai terus ya Kakak Cantik, aku pergi dulu ada urusan sebentar," lanjutnya lagi, Cakra mengacak-acak gemas rambut Aluna.
Cakra melepaskan plester demam dikeningnya dengan kasar, sorot matanya berubah tajam saat akan melangkah pergi.
"Tunggu."
Tangan Aluna mecekal pergelangan tangan Cakra membuat pria muda itu menoleh. Mata yang tadinya tajam seketika melembut saat menatap wajah sang pujaan hati. Aluna melepaskan hoodie milik Cakra lalu mengembalikannya dengan kasar.
"Ambil, gue nggak butuh!" tegas Aluna.
Aluna bangkit dan melangkah menjauh, dan lagi-lagi Cakra menghalangi langkahnya.
"Mau apa lagi si lo, kuman," geram Aluna tidak sabar, emosinya kembali bergemuruh.
Cakra tidak menjawab tapi dengan cepat ia menyampirkan hoodienya di bahu Aluna. Aluna berdecak, melepaskan hoodie abu-abu itu dengan kasar.
"Lo tuli apa beg* heh! Gue bilang gue nggak butuh. Gara-gara lo, gue dipermalukan di depan umum, gue malu Cakra. Gue nggak pernah semalu ini seumur hidup gue asal lo tau .... "
Aluna menjeda ucapannya sejenak, mengambil nafas meredam gemuruh amarah yang bergejolak .
"Dan semua ini gara-gara lo Cakra," lanjut Aluna dengan nada bergetar.
"Maaf, maafin Aka udah buat Kakak Cantik malu. Aka bakal perbaiki semuanya, Aka janji. Tapi tolong maafin Aka."
Aluna tersenyum getir mendengar Cakra menyebut dirinya sendiri dengan nama kecilnya, Aka. Gadis itu menggeleng cepat.
"Gue nggak butuh maaf lo."
Cakra bergerak mendekat tapi dengan cepat Aluna memberingsut mundur.
"Gue harap lo bisa jauhin gue mulai sekarang dan tolong stop bersikap seakan-akan kita punya hubungan Cakra, kita udah selesai. Stop sok perhatin sama gue! Lo bikin gue risih, Lo bikin orang salah paham ..." Aluna mengigit bibirnya, menahan rasa yang sesak yang ia tahan selama ini.
Gadis itu mendongak, menahan bulir yang bisa jatuh kapan saja. Tapi Aluna tidak boleh lemah, demi Tuhan dia tidak ingin lagi menangis gara-gara Cakra, cukup sekali saja kebodohan di masa lalu.
"Luna ...Aka minta maaf, maafin Aka," ucap Cakra dengan tulus, ia bisa merasakan sakitnya Aluna.
Tangan Cakra terulur ingin menyentuh jemari lentik kesayangannya, tapi dengan cepat Aluna menepis tangan Cakra dengan kasar.
"Gue bilang stop Cakra! Mulai besok anggap kita tidak pernah saling kenal."
Cakra menggeleng cepat.
"Nggak, Aka nggak mau. Luna pacar Aka dan akan selalu begitu!"
"Nggak, Lo bukan lagi Aka-nya luna begitupun sebaliknya, kita sudah selesai. Anggap gue orang asing. Lagian lo mau tunangan kan, urusin tunangan lo, gua nggak mau bikin orang salah paham."
"Dan jangan ganggu gue lagi!" tegas Aluna sebelum berlari menjauhi Cakra, meninggalkan pria itu dalam sejuta amarah dan rasa bersalah.
"Aku tetep Aka kamu Luna, sampai kapan pun!" teriak Cakra dengan lantang, Aluna terus menjauh seolah tak mendengar suara laki-laki itu.
Cakra meremas kuat hoodie yang ada ditangannya. Mata pria itu mengelap, dingin, sorot matanya berubah tajam penuh amarah. Cakra memakai hooodie itu lagi, lalu dengan langkah tegap ia berjalan dengan amarah yang bergemuruh.
Langkah Cakra membawanya ke kantin fakultas teknik, tempat dimana luna tersayangnya di permalukan oleh belalang pirang. Cakra menyeringai dingin melihat Miranda yaang sedang menyapu sisa pecahan kaca dengan diawasi dengan ketat oleh dua pria paruh baya.
"Buset ngagetin aja lo, Ka. Kasih aba-aba dulu kek kalau mau ngagetin, kalau jantung gue copot gimana masa mau ganti pake jantung pisang," cerocos Bahran saat cakra menepuk menepuk bahunya dari belakang.
"Ngapain tuh kadal gurun?" tanya Cakra dengan nada datar.
"Dia di suruh ngepel lantai sama Kak Aluna, Sumpah Gacor banget kak Aluna tadi. Sayang banget lo nggak liat live-nya tadi," jawab Bahran bersemangat, Bahran sendiri sampai ikut merinding melihat Aluna.
"Nggak usah muji-muji cewek gue," tukas Cakra tidak suka.
"Hehee ... Iya-iya yang paling punya cewek, tugas gue udah selesaikan? gue mau narik nih, ada orderan."
"Aman, bayaran lo udah gue tranfer."
"Asek, cinta deh sama uangmu."
"Najis!" sentak Cakra saat Bahran memberikan love besar dengan tangannya pada Cakra.
Laki-laki berhoodie abu-abu itu berjalan menghampiri pria paruh baya berseragam yang mengawasi Miranda.
"Belum selesai ya Pak?" Tanya Cakra dengan sopan.
Miranda yang tadinya menunduk menghindari tatapan mahasiswa lain, mengangkat wajahnya saat mendengar suara laki-laki yang ia kenal. Mata Miranda berbinar saat melihat sosok Cakra, berbeda dengan Miranda yang menatapnya penuh binar bahagia, Cakra justru menatapnya dengan tajam dan dingin.
"Belum tuh Mas, mana bisa selesai. Nyapu aja setengah hati gitu," jawab Herman malas. Cakra hanya mengangguk kecil.
Melihat Cakra di sana Miranda pun bersemangat untuk segera menyelesaikan hukumnya. Tangan Miranda mengayun sapu dengan semangat empat lima. Setelah ia merasa cukup membersihkan lantai, dia pun menghampiri Herman.
"Nih,udah selesai!" Sarkas Miranda sambil menyerahkan sapu pada pria paruh baya itu dengan kasar. Herman hanya menggeleng pelan melihat hasil kerja Miranda yang jauh dari kata bersih, tapi dia memilih berdebat.
Herman rasa gadis ini sudah cukup tau diri untuk malu, jika dia punya rasa malu sih. Mata Miranda bergulir menatap Cakra dengan senyum termanis yang ia punya.
"Cakra liat deh tangan aku merah-merah gara-gara pegang sapu," keluh Miranda dengan suara manja mendayu.
"Lo ngapain sampai nyapu kayak gini?" Tanya Cakra dengan datar.
"Ah ... itu emh, aku tadi di kasih hukuman sama dosen," kilah Miranda dengan senyum untuk menutupi kegugupannya
Herman yang melanjutkan membersihkan lantai hanya bisa menggeleng pelan mendengar kebohongan gadis pirang itu.
"Lho pikir gue bodoh!" Bentak Cakra nyalang, tatapan matanya kini berkilat marah.
ini juga kenapa pada Ngeliatin Aluna kaya coba.
apalagi dia yang setatusnya sebagai orang tua Cakra. kenapa gak di laporin aja kepolisi si.
Nyatanya mau Cakra tw Om Hail pun sama² keras kepala dalam mempertahankan rasa cinta mereka buat seseorang yg spesial di hati mereka,,,
Apa ini??bakalan ada Drama apalagi yg akan Luna liat???
padahal anak gak tau apa", masa ibunya kecelakaan dan meninggal kesalahan nya harus di tanggung sang anak sampai dewasa?? emang kecelakaan itu disengaja?? salut sama Cakra yg bisa kuat menjalani kehidupan yg keras tanpa kasih sayang orang tua..
padahal anak ny Cakra tapi lebih pro ke Miranda, pasti perkara uang lagi 😒😒