NovelToon NovelToon
Alone Together

Alone Together

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horror Thriller-Horror / Teen School/College / Romansa
Popularitas:279
Nilai: 5
Nama Author: Mara Rainey

Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).

Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.

Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 9 : Terror Begins

Hembusan angin kencang menerbangkan dedaunan kering. Daun-daun dari dua pohon besar yang menjulang meliuk-meliuk tertiup angin, dahan kurusnya melengkung akibat tidak cukup kuat menahan derasnya hujan yang mengguyur.

"Heeeeeii! Banguuuun! Ponsel kita hilang!"

Lengkingan suara Sojin yang cetar membahana memaksa para pengantuk di depannya terbangun dengan pundak pegal-pegal dan kepala nyut-nyutan.

Ada yang menggerung kesal. Ada yang merentangkan tangan tinggi-tinggi sambil menghirup pasokan udara serakus mungkin. Ada yang menguap lebar sambil menggaruk-garuk kepala, ada juga yang tolah-toleh bingung seperti Yoohan.

"Beb, ada apa?" Namgil mengucek-ngucek matanya. "Kenapa berisik sekali?"

"Ponsel kita hilang!" Sojin melotot panik, "Coba sini kalian periksa sendiri kalau tidak percaya."

"Hah? Hilang?" Jiha melotot shock. "Jangan bercanda!"

Tuhan.... oh no no no no.... ponsel berhias batu-batu permata... hilang?!

Ini bukan alam nyata pasti. Jiha terbangun di mimpi buruk!

"Siapa yang bercanda? Untuk apa aku bercanda?" Sojin berkacak pinggang. "Sini lihat dulu makanya!"

"Gimana ceritanya bisa hilang?" kata Yoohan.

"Jangan suruh cerita! Aku bukan pendongeng! Lagipula aku sama-sama bodoh dan bingungnya seperti kalian!" Sojin panik setengah mampus.

"Bisa nggak kata "bodoh" dihilangkan? Tidak enak dengarnya," kata Yoohan.

"Kenapa kalian malah duduk-duduk? Ayo sini!" Sojin berlari keluar.

Beberapa dari mereka saling tatap, pertama Namgil yang bangkit dan melangkah ke pintu, disusul Haekyung, Junseok, Yoohan. Terakhir duo cewek yang tertatih-tatih mengekori teman-temannya keluar dari perpustakaan.

Junseok menggeram sebal. "Awas saja kalau ini berita hoax-"

"Hoax gigimu kuning!" tandas Sojin galak. "Aku bukan penipu!"

Dia mendorong pintu di depannya. "Lihat!" Sojin menunjuk ke kardus, dan memang isinya kosong. "Semua ponsel kita sudah raib waktu terakhir kucek."

"Kapan tepatnya?" Namgil menatap Sojin.

"Sekitar dua puluh detik yang lalu, aku langsung lari ke perpustakaan untuk membangunkan kalian."

"Dongwon ssaem kemana pula?" Yoohan celingukan. "Kenapa daritadi tidak kelihatan?"

"Bodo amat dia," ucap Junseok tidak peduli. "Mending kita pulang duluan saja. Lagipula memang sudah saatnya kita pulang. Dia yang mempersilahkan kita pulang sesuai perjanjian."

Jiha menggigiti kuku-kuku cantiknya, panik dan cemas dan takut diomeli habis-habisan. Bayangkan saja ikut detensi sehari ponselnya hilang. Padahal sebelum-sebelumnya aman.

Saat ini Taera agak miris melihat Jiha. Ternyata orang kaya bisa ketakutan juga kalau kehilangan ponsel. Kirain bakal bersorak merayakan pesta. Itu artinya ponsel baru akan segera tiba menggusur yang lama.

"Dongwon ssaem bilang tunggu, kalau kita mendadak pergi tanpa pamit nanti dia mencari kita," saran Namgil. "Setidaknya biarkan Dongwon ssaem yang menjelaskan ini."

"Maksudmu Dongwon ssaem pencurinya?" Sojin terbelalak tidak percaya.

"Bukan, bukan begitu maksudku! Siapa tahu dia bisa bantu kita mencari ponsel."

"Hei! Bodo amat ponsel!" kata Junseok merentangkan tangan tidak sabaran. "Mending kita pulang sekarang. Ponsel hilang 'kan bisa beli lagi."

"Gampang saja buatmu!" Haekyung mendengus jengkel. "Tidak semua orang bisa beli lagi."

"Terus aku harus peduli gitu?" balas Junseok melipat kedua lengannya. "Seonbae jangan kayak orang susah! Tiap hari ke sekolah naik motor ninja!"

Haekyung geleng-geleng kepala. "Ini bukan tentang diriku sendiri."

"Lalu dimana Dongwon ssaem?" sergah Yoohan sebelum terjadi drama pertarungan tidak penting lagi. "Di luar hujan deras, tidak mungkin dia pergi begitu saja."

"Bisa sekali asal punya kendaraan seperti mobil!" Junseok kelewat yakin. "Kita ditinggal!"

Untuk memastikan tuduhan tanpa bukti itu, Namgil bergegas kembali ke perpustakaan, mengintip dari jendela. Kebetulan pemandangan dari sini ke lapangan parkir sangat jelas, tanpa penghalang berupa gedung lain.

Lapangan parkir kosong. Sunyi. Tidak ada mobil satu pun. Benar-benar sepi, tidak ada orang lewat. Bahkan petugas kebersihan dan pria yang biasa berjaga di situ.

"Tadi pagi ada yang lihat Dongwon ssaem datang naik mobil?" Namgil menoleh menatap teman-temannya.

Jiha gigit bibir. "Aku tidak lihat, pas aku masuk, kukira aku yang pertama, ternyata ada Yoohan juga."

"Aku juga tidak," sahut Yoohan. "Waktu aku datang pagi-pagi sekali memang lapangan parkirnya sepi. Dongwon ssaem bisa jadi bermalam di sekolah, atau bisa jadi datang setelah Jiha."

Junseok kurang setuju. "Aku datang setelah Jiha, dan tidak melihat ada mobil masuk."

"Ada apa?" Sojin merinding, perasaannya tidak enak. "Namgil, ada apa?"

Namgil menggeleng. "Tidak ada mobil di luar sana."

Jiha tercengang. "Hah!?"

Haekyung melongo tidak percaya. "Serius?"

Alarm berbunyi, turut meramaikan suasana, lampu-lampu tanda bahaya mengeluarkan cahaya berwarna merah mengerikan. Membuat wajah-wajah ketujuh orang itu ikut-ikutan berwarna merah.

"Kenapa alarmnya aktif?" Taera menengadahkan kepala ke langit-langit, mengikuti semua orang yang dilanda kepanikan massal. "Guys, kenapa alarm latihan anti-terroris aktif?"

Dalam keadaan gawat darurat, alarm ini biasanya diaktifkan dari pos security, ketika penjaga-penjaga di gerbang depan melihat orang-orang mencurigakan menerobos masuk. Tapi... alarm itu membahana di seluruh penjuru, membuat mereka waspada.

"Oke.. oke.. ada apa ini?" Jiha merasa sesak, bolak-balik tarik buang napas berusaha mengatur debaran jantung dan napasnya yang putus-putus.

Junseok membuka pintu, mengintip di lorong. Lampu koridor mati semua. Jiha berjinjit di belakangnya, mengintip dari balik bahu lebar dan tegap cowok itu.

Sesuatu telah terjadi.

Pertama ponsel, sekarang alarm keamanan. Tidak mungkin. Ada yang sengaja mengaktifkannya.

Mengaktifkan alarm di hari minggu?

"Siapa yang berjaga di pos depan?" Namgil mengamati Haekyung, Yoohan, Taera.

Tiga kepala menggeleng tidak tahu.

"Aku tidak ingat," sahut Yoohan.

"Aku juga." Taera gelisah. Lalu Haekyung datang merangkul bahunya, ambil kesempatan dalam kesempitan.

Dengung alarm berhenti. Lorong menjadi sangat sunyi saat alarm mereda. Lampu-lampu di atas kepala dan di seluruh ruangan kembali menyala satu-persatu.

Jiha memeluk lengan Junseok karena ketakutan. Tidak tanggung-tanggung, Junseok memanfaatkan momen ini untuk mengelus-elus kepala Jiha.

"Sshh... tenang ada aku di sini."

Jiha tidak sempat memikirkan apa-apa. Dia takut.

Sojin mencoba telpon di ruang pustawakan, namun hanya mendengarkan suara statis. Sambungan telpon tidak berfungsi tapi alarm baru saja unjuk gigi? Bercanda ya?

Ujung gelap sepatu seorang pria melangkah keluar dari balik bayang-bayang pohon.

Namgil membelalakkan mata.

"Hei... sini... coba lihat itu..." Namgil menunjuk ke jendela, ekspresinya tegang. "Ada orang lain di luar sana."

Haekyung dan yang lainnya mendekat.

Langit sore bersembunyi dibalik awan-awan kelabu. Mereka melihat seseorang berdiri di bawah guyuran hujan. Orang itu sangat tinggi dan besar. Dia mengenakan mantel panjang, dan wajahnya tersembunyi di bawah pinggiran topinya yang lebar.

Jari-jemarinya terbungkus sarung tangan hitam. Mata berdaya tajam Haekyung tidak sempat melihat seperti apa wajahnya, namun sepasang mata gelap pria itu menyorot dingin. Sudah pasti dia bukan petugas ledeng yang mencoba memperbaiki pipa.

"Siapa sih dia?" Yoohan melongo.

Taera gemetaran, matanya terpaku pada sosok itu, dia mundur selangkah, lalu satu langkah lagi ke belakang.

Pria tinggi besar menjulang itu hanya berdiri terpaku di bawah guyuran hujan. Pria itu memegang senapan, larasnya berkilauan di sorot cahaya lampu yang melapisi jalan setapak.

Di belakang mereka, Jiha menghirup napas dalam-dalam kemudian bergumam, "Menjauh dari jendela!"

Mereka menoleh, tidak yakin.

"Kalian tidak punya telinga?" Junseok membantu cewek itu. "Tidak dengar Jiha bilang apa?"

Namgil terkesiap, sosok itu mulai berjalan ke arah mereka, sepatu bot hitam bersol tebalnya menapak pada jalanan aspal yang becek. Langkah kakinya cepat dan terburu-buru mendekat ke mereka. Laras shotgun terayun ke depan.

Taera dan Haekyung telah menjauh dari jendela dan berlari ke dalam.

Mendengar kawan-kawannya panik dan ribut-ribut, Sojin bergegas keluar dari ruang pustakawan, "Ada apa? Apa yang terjadi?"

"Menjauh dari jendela dan pintu!" Namgil memberi komando.

"Ada apa sih?" Sojin masih clueless.

"Sshhhh!" Taera menempelkan telunjuknya di bibir, cewek itu bersembuyi di belakang rak buku.

Mereka terdiam, tak bergerak, terus mendengar tumit sepatu bot menapak. Laras senapan mengarah ke depan.

Tap, tap, tap.

Sojin ikut meringkuk seperti kawan-kawannya, berbisik pelan, "Siapa itu?"

Taera menggelengkan kepala, lalu berbisik tanpa suara, "Dia bawa senjata."

Satu tangan, tangan Yoohan, menggapai-gapai ke atas meja, sementara cowok itu bersembuyi di bawah meja. Tangan Yoohan menemukan vas bunga. Dia ambil vas itu, dicengkram, siap siaga menyerang. Yoohan mengencangkan genggaman pada vas.

Sebenarnya ada pilihan lain: Kursi.

Sumpah. Yoohan belum pernah menyerang siapa pun pakai perabotan sebelumnya.

Junseok menempelkan punggungnya ke dinding, dia merasakan tubuh mungil Jiha gemetaran di sampingnya. Cewek itu memeluk kedua lututnya kuat-kuat.

Ledakan dasyat memecah gendang telinga. Peluru meninggalkan sarangnya dan berusaha menembus lapisan kaca. Tujuh bocah itu memekik serempak sambil menutupi telinga. Jiha meringkuk di pelukan Junseok. Taera dikurung kedua lengan Haekyung. Yoohan nyaris melempar vas bunga di tangannya jauh-jauh saking kagetnya. Namgil dan Sojin sama-sama refleks melindungi kepala. Namun bukan kaca jendela yang pecah, peluru itu yang terpental. Alarm kembali menjerit-jerit, menyebabkan pintu-pintu geser stainless steel berjatuhan dari langit. Menutupi akses pintu-pintu koridor utama. Jendela-jendela terblokir, cahaya dari luar lenyap, kegelapan menyelimuti wajah-wajah mereka.

Jiha berteriak histeris. Sekonyong-konyong dia merasa seakan-akan dinding batu di sekelilingnya hendak menghimpitnya. Jiha merasa seolah-olah berada di dalam lemari gelap, lemari yang dingin dan menakutkan. Dia membayangkan dinding-dinding mencengkeram dan mencekik lehernya.

Taera tidak sanggup melontarkan satu kalimat pun. Membeku seperti patung dengan napas yang bergerak keluar masuk.

"Pintu!" Sambil meraba-raba ke segala arah dan berkedip cepat di kegelapan, Junseok berlari keluar dari perpustakaan, tak lupa menggandeng tangan Jiha. Cewek itu terisak pelan di belakangnya. Namgil, Sojin, Yoohan, disusul Haekyung yang keluar sambil merangkul Taera seperti merangkul patung manekin, karena cewek itu masih megap-megap dan membeku, seluruh syaraf tubuhnya seketika macet, menolak diajak bekerja sama.

Kenop pintu koridor bergerak-gerak.

"What the fuck siapa dia bisa pindah secepat itu?!" Nada Sojin melengking dan gemetar. "Bukannya tadi masih di luar?!"

"Menyerahlah, bung!" teriak Junseok, membuat Jiha tersentak. "Pintunya terkunci! Kau kalah jumlah! Kami semua punya senjata!" ancam Junseok.

Lebih tepatnya, hanya Yoohan yang membawa senjata. Vas bunga lengkap dengan bunganya.

Sojin bersembunyi di belakang Namgil tapi mengintip sedikit.

Pria itu tidak bereaksi, malah melangkah mundur, menjauh dari bulatan kaca di pintu. Tumit sepatu botnya menjauh.

Terdengar desah lega, tapi Junseok belum merasa lebih aman.

Tiba-tiba saja kenop itu terpental keluar dari sarangnya. Terjun ke lantai dan menggelinding, berhenti di dekat sepatu sport pink Jiha.

Namgil mengumpat. "Sialaaan! Tahan pintunya!"

Haekyung, Yoohan, Namgil, Sojin, dan Junseok menahan pintu itu dengan cepat. Pria di balik pintu menggedor dan menendangnya, menggedornya lagi.

"Orang gila ini mau apa?" ucap Haekyung sambil menggeram. Otot-otot lengannya unjuk gigi akibat tenaga yang diperas habis-habisan. Urat-urat di lehernya mulai bermunculan.

Melalui bulatan kaca di pintu, Junseok melihat tepat di bawah topi pria itu, di mana wajah seharusnya berada, dia justru menemukan topeng baja dengan sepasang mata sedingin es mengawasinya melalui dua lubang, topeng itu seolah terpahat di wajahnya.

Daak! Daak! Tenaga pria itu lebih besar, cowok-cowok mulai kewalahan menahannya, pijakan-pijakan kaki mereka tidak seimbang.

Sosok itu bergerak menjauhi pintu, senapan tersampir di bahunya.

Kaget, namun mereka bernapas lega melihat orang itu berpaling memunggungi pintu dan menjauh.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa yang ada dalam pikiran si bajingan ini?

"Siapa orang itu?" bisik Jiha

"Dia pakai topeng," ucap Junseok, "Topeng baja."

"Seperti yang dipakai tokoh superhero atau penjahat di film horror?" bisik Taera, akhirnya bisa bersuara.

"Apa bedanya?" kata Junseok. "Dia tetap orang gila berbahaya!"

"Kurasa dia di sini untuk membunuh kita," gumam Haekyung tanpa tedeng aling-aling.

Keheningan berlangsung menegangkan.

"Kenapa dia ingin membunuh kita?!" Suara Sojin melengking panik campur histeris.

"Ya mana kutahu!" balas Haekyung nyolot. "Aku cuma asal tebak!"

"Setidaknya jangan terlalu jujur." Yoohan geleng-geleng kepala.

Junseok memandang ke semua jendela. "Lebih baik kita pastikan gedung ini aman. Pastikan saja kita aman untuk saat ini."

Namgil memberi komando. "Periksa pintu, periksa jendelanya, cari senjata atau apa pun!"

"Kalau kalian menyarankan bagi-bagi tim, aku tidak setuju," ujar Taera. "Karena di film-film saat kita terpencar-pencar justru langkah itu yang membunuh kita."

"Kenapa kau bahas film terus sih?" Sojin kesal. "Ini bukan film!"

"Apa sekolah ini menyimpan pistol?" tanya Yoohan.

Samar-samar terdengar bunyi-bunyi gaduh di atas kepala. Mereka kompak menengadah.

Itu... langkah kaki?

"Dia di atas!" bisik Jiha.

Junseok memperhatikan kilau keringat di dahi gadis itu. "Noona, are you okay?"

Jiha mendelik, apa masih perlu dijelaskan kalau dirinya SAMA SEKALI TIDAK BAIK-BAIK SAJA?

"Kita harus melakukan sesuatu sebelum orang gila itu menangkap kita," saran Namgil. "Minimal cari ponsel, atau benda tajam yang bisa kita pakai untuk menyerang balik."

"Di dapur banyak benda tajam, di kelas teknik mesin dan perbengkelan elektro juga banyak perkakas yang bisa kita gunakan," kata Haekyung. "Pada dasarnya kelas teknik adalah surga alat-alat berat."

"Itu di gedung sebelah, bukan?" Sojin mengerutkan kening. Serius, dia malas membayangkan jalan kaki berpindah gedung dalam kondisi creepy seperti ini. Mana sekolah ini angker. Tidak cukup dihantui penampakan-penampakan berisik tukang ganggu, mereka masih harus diteror orang gila bersenjata yang mengincar mereka... entah apa tujuannya.

"Ponsel," Jiha mendadak ingat. "Ponsel! Kita harus cari ponsel! Aku butuh itu untuk menghubungi Appa dan Eomma!"

"Harusnya Appa sudah menjemputku saat ini. Kenapa dia belum tiba?" Taera berdecak gelisah. "Kalian gimana? Orang tua kalian bakal menjemput?"

Junseok dan Yoohan menggeleng.

"Aku naik taksi dari rumah, Eomma pasti masih sibuk," sahut Yoohan.

"Aku pergi pulang selalu sendiri. Lagipula aku bukan anak mami," ucap Junseok, gabungan antara jujur dan menyebalkan.

"Mungkin nggak sih Appa dan Eomma kita terjebak macet?" Sojin berusaha menanamkan pikiran positif.

"Bisa jadi," gumam Taera. Meski dia sendiri juga tidak yakin.

"Bisa jadi mereka lupa menjemput kalian," Junseok malah memperparah keadaan.

Keheningan yang meliputi terasa mencekam.

Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berbicara.

Satu-satunya bunyi adalah derap langkah berat mondar-mandir di atas kepala mereka.

Dugaan terjebak macet masih lebih mending daripada dilupakan sama sekali.

"Jangan ngomong gitu." Jiha menyikut lengan Junseok. Dasar tidak sensitif!

Yoohan kembali mengawasi lantai di atas kepala mereka. Derap langkah berat sepatu bot masih terdengar dan samar-samar, mondar-mandir, mondar-mandir.

Jiha memeluk lengan kanan cowok di dekatnya erat-erat. Takut kalau dia meleng sedikit Junseok bakal kabur meninggalkannya.

Meskipun senang dan berdebar-debar karena badan montok Jiha menempel padanya, Junseok sebenarnya berusaha menutupi ketakutan. Apalagi pria aneh yang mengincar mereka seperti... seperti... entahlah, sulit untuk menerka-nerka siapa orang itu.

Haekyung juga membeku. Yang lain belum sangup bergerak dari posisi masing-masing.

"Kenapa dia tidak turun ke bawah?" Haekyung heran. "Orang itu maunya apa sih? Padahal sudah di dalam, kenapa tidak langsung saja?"

"Kau mau dia turun ke sini dan langsung menghabisi kita?" Jiha melotot.

Haekyung menggeleng. "Bukan itu yang kumaksud, ini agak aneh, seolah-olah dia sengaja..."

"Sengaja?" Jiha bergidik, dia sudah tahu ini menuju ke arah mana.

"Sengaja membuat kita gila." Haekyung menatapnya lekat-lekat. "Perlahan-lahan. The real psycho punya cara tersendiri untuk menyiksa korban-korbannya sebelum melakukan eksekusi. Di film-film selalu begitu."

"Berhenti ngomongin film!" hardik Sojin emosi.

"Sudah sudah, sebaiknya kita bergerak sekarang." Namgil berusaha menenangkan. "Ambil dulu barang-barang kalian di perpustakaan, setelah itu kita pindah ke gedung seberang. Tak ada gunanya berlama-lama di sini."

.

.

Bersambung...

1
QueenRaa🌺
Keren banget ceritanya thorr✨️ Semangat up!!
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Mara Rainey: siappp aku akan mampir. makasih juga lho udah berkenan mampir dan meninggalkan komentar serta vote. /Heart/
total 1 replies
QueenRaa🌺
satu kata untuk novel ini, SERU!
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami
Mara Rainey: Makasih bangett untuk reviewnya, aku akan berusaha lebih baik lagi dan lebih semangat lagi. senengg banget dikunjungin author favoritkuuu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!