Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 LARAS MENJASI STERS
Laras terdiam saat melihat Ibu dan Ayahku membawa masuk makanan yang sangat berbeda dengan apa yang tadi dia pilih. Ibu langsung menaruh sayuran segar, sup, dan lauk pauk yang tampaknya penuh dengan aturan diet yang ketat. Tak ada makanan yang dia suka, hanya makanan yang dianggap sehat menurut Ibu.
"Ini makanan yang baik untuk kamu dan bayi dalam kandungan," ujar Ibu dengan nada serius, menatap Laras dengan penuh perhatian. "Kamu harus makan ini, bukan kebab atau nasi goreng. Itu tidak baik, apalagi kamu sedang hamil."
Laras hanya bisa menatap makanan yang ada di meja makan, wajahnya menunjukkan ketidakpuasan. "Tapi, Ibu... saya hanya ingin makan sedikit saja. Kenapa harus semuanya seperti ini? Saya hanya ingin makan yang saya suka," jawab Laras pelan, mencoba menjelaskan, meskipun suaranya tidak terdengar begitu yakin.
Ibu langsung menatap Laras tajam. "Tidak ada yang salah dengan makan sehat, Laras. Kalau kamu terus-terusan makan makanan yang tidak sehat, bayi itu yang akan merasakan akibatnya." Ibu mengambil kebab dan nasi goreng dari meja, seakan sudah tidak ada ruang untuk kompromi. "Ini semua hanya untuk kebaikan kamu dan bayimu."
Laras merasa sangat tertekan. "Tapi... saya tidak merasa nyaman seperti ini. Saya juga butuh sedikit kebebasan," ujarnya pelan, tetapi suaranya hampir tenggelam oleh kekuatan kata-kata Ibu yang terus menekan.
Aku melihat Laras yang tampak lelah dan cemas, dan hati kecilku terasa berat. "Ibu, Laras hanya ingin sedikit merasa bahagia dengan makanannya. Bukankah kita bisa saling mendukung tanpa harus memaksakan kehendak?" Aku mencoba ikut berbicara, berharap Ibu bisa lebih memahami keadaan Laras.
Namun, Ibu tidak langsung menjawab. Ia hanya diam sejenak, sebelum akhirnya berkata dengan nada lebih lembut, "Aku hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Laras. Hamil itu bukan waktu yang bisa dianggap remeh."
Laras mengangguk pelan, meski matanya penuh dengan ketegangan. "Saya tahu, Ibu. Tapi saya juga ingin sedikit merasa bebas, seperti orang lain yang tidak hamil," jawab Laras, suaranya masih penuh ketidakpastian.
Aku bisa merasakan suasana yang semakin berat. Ibu sudah memberikan pesan yang jelas, tapi aku tahu Laras merasa terperangkap di antara aturan yang ketat dan keinginan sederhana untuk menikmati makanannya.
"Pokoknya kamu harus menuruti perkataan ibu, apa yang Ibu perintahkan harus Kamu turuti, ini demi kebaikan kamu dan juga anaknya Reza. Apalagi jenis kelamin nya laki-laki, maka dari itu kamu tidak boleh makan sembarangan dan harus meminta persetujuan Ibu dulu!" tekan ibu sekali lagi.
Laras terdiam, wajahnya tampak lelah dan penuh dengan perasaan yang terpendam. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menghela napas panjang dan mengangguk pelan. "Baiklah, Ibu. Saya akan mengikuti apa yang Ibu bilang," ujarnya, suaranya terpaksa dan penuh penyerahan.
Ibuku tersenyum mendengar jawaban Laras, seolah merasakan kemenangan. "Bagus. Itu yang terbaik untuk kamu dan bayimu," jawab Ibu, puas dengan keputusannya. Ibu mulai menata kembali piring-piring di meja makan, memperlihatkan dengan jelas bahwa ia merasa sudah melakukan yang terbaik untuk menyehatkan Laras dan bayi dalam kandungannya.
Laras hanya menatap piring-piring sayur dan lauk pauk yang terhidang di depan matanya. Rasanya, tidak ada lagi ruang untuk keinginannya. Meski ia ingin melawan dan menikmati sedikit kebebasan dalam memilih makanannya, ia tahu bahwa ia harus menuruti Ibu demi menjaga ketenangan rumah ini. Namun, rasa tertekannya semakin menebal.
Aku melihat Laras yang duduk diam, wajahnya berubah muram. Hatiku merasa berat, tapi aku tahu Ibu hanya berusaha mengingatkan akan pentingnya kesehatan Laras selama masa kehamilan ini. Meskipun begitu, aku merasa terjepit di antara Laras yang mulai merasa tidak nyaman dan Ibu yang selalu menuntut segala sesuatunya dilakukan sesuai dengan caranya.
"Kalau kamu merasa tidak nyaman, jangan ragu untuk bicara, Laras," kataku, berusaha memberi sedikit kenyamanan. Namun, aku tahu, dalam situasi ini, Laras merasa tertekan dan tidak bebas untuk mengungkapkan perasaannya lebih banyak.
...****************...
Karena Laras terlalu tertekan oleh perintah ibuku yang harus menjaga kehamilan dengan ketat, membuat Laras sedikit tumbang dan sakit apalagi ia sempat stres, kata dokter Laras tidak boleh stres dan harus bahagia karena ini bisa berpengaruh kepada kehamilannya.
Laras terbaring di tempat tidur, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Aku duduk di sampingnya, cemas melihat kondisinya yang semakin menurun. Dia menggenggam tanganku dengan lemah, matanya tampak kosong dan penuh kekhawatiran.
"Kenapa bisa seperti ini?" tanyaku, suaraku penuh rasa khawatir. "Apa yang kamu rasakan, Laras?"
Laras menarik napas pelan, menahan rasa sakit yang mulai merayapi tubuhnya. "Aku... aku merasa tertekan," ujarnya dengan suara yang serak. "Semua peraturan dari Ibu... semua yang harus aku lakukan... Aku tidak bisa lagi menahan semuanya." Matanya mulai berkaca-kaca, dan aku bisa merasakan betapa besar beban yang ia pikul.
Dokter sudah mengatakan bahwa Laras harus tetap tenang, jauh dari stres, karena stres bisa berbahaya bagi kehamilannya. Namun, setiap hari ia dipenuhi dengan tuntutan yang tidak pernah selesai—dari aku, dari ibu, dan dari semua yang mengharapkan segala sesuatunya berjalan sempurna.
Aku memandang Laras dengan penuh penyesalan. "Maafkan aku, Laras," kataku pelan. "Aku tidak bermaksud membuat kamu merasa tertekan. Aku hanya ingin semuanya berjalan baik... tapi aku tidak menyadari betapa sulitnya ini untukmu."
Laras memejamkan matanya, berusaha menenangkan dirinya. "Aku tahu kamu hanya ingin yang terbaik," katanya pelan. "Tapi aku juga ingin merasa bahagia... aku ingin merasakan kebebasan sedikit saja... Tidak merasa seperti robot yang hanya mengikuti perintah."
Aku merasakan betapa sesaknya perasaan Laras. "Kamu benar," jawabku dengan suara yang lebih lembut. "Aku akan berbicara dengan ibuku. Kita harus cari jalan tengah agar kamu tidak merasa tertekan seperti ini lagi."
Laras hanya mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski sedikit dipaksakan. Aku memegang tangannya lebih erat, berjanji dalam hati untuk membuat semuanya lebih baik untuknya dan untuk bayi yang sedang dikandungnya. Aku tidak bisa membiarkan Laras terus-menerus tertekan. Kami perlu menemukan cara untuk membuatnya merasa lebih nyaman, lebih dihargai, dan lebih bahagia selama kehamilannya.
Karena aku tidak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk kepada Laras dan juga anakku. Aku pun berbicara kepada Ibuku untuk tidak terlalu menekan Laras dan mengikuti semua kemauannya.
Berikan Laras kebebasan untuk apa yang dia mau selama kehamilan, karena kata dokter tidak ada pantangan makanan apapun untuk ibu hamil asalkan jangan berlebihan.
Aku duduk di ruang tamu, hati berdebar-debar saat memikirkan pembicaraan yang akan segera terjadi. Ibuku sedang duduk di depan TV, seperti biasa, seolah tidak ada yang berbeda. Aku tahu ini bukan hal mudah untuk dibicarakan, tapi aku harus melakukannya demi kebaikan Laras dan bayi yang sedang dikandungnya.
"Ibu," kataku dengan suara yang tegas namun lembut. "Aku ingin berbicara tentang Laras."
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang