Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pandangan yang tertahan, Doa yang terucap
"Ada cinta yang tak terucap, tapi tersampaikan lewat pandangan yang terjaga dan doa yang tulus."
-------------------------------------------
Hari Kajian Akbar
Langit pagi terlihat cerah, seolah menyambut para jamaah yang datang berbondong-bondong ke masjid dekat alun-alun kota. Hari itu, kajian akbar akan digelar, menghadirkan Ustadz Abdul Muhaimin sebagai penceramah utama.
Di antara kerumunan, Arpa berjalan pelan bersama Nayla. Hatinya berdebar tanpa alasan yang jelas. Sejak pagi, ia sudah mempersiapkan diri, baik lahir maupun batin, tapi tetap saja ada rasa gugup yang sulit dihilangkan.
“Nanti kita duduk di bagian depan ya, Ara!” kata Nayla bersemangat.
Arpa tersenyum kecil. “Iya, Nay. Tapi... jangan terlalu depan banget, ya.”
Nayla tertawa pelan. “Masih takut ketemu dia?”
Arpa hanya tersenyum tanpa menjawab. Dalam hatinya, ia berdoa agar Allah membimbing hatinya hari ini, apapun yang akan terjadi.
---------------------------------------
Di Sisi Lain Masjid
Sementara itu, Fathir duduk di barisan khusus santri di sisi kanan masjid. Ia mengenakan peci hitam dan gamis sederhana. Hatinya pun berdebar sama seperti Arpa. Ia tahu acara ini terbuka untuk umum, dan kemungkinan bertemu Arpa bukan hal yang mustahil.
Irwansyah, yang duduk di sampingnya, menepuk pundaknya pelan.
“Gimana? Deg-degan?” godanya.
Fathir tersenyum kaku. “Banget. Tapi aku udah niat, hari ini fokus dengerin ceramah.”
Irwansyah mengangguk. “Mantap. Kalau jodoh, nggak bakal ke mana, bro. Tapi yang penting, jaga pandangan.”
Fathir menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, menjaga pandangan adalah cara menjaga hati.
--------------------------------
Ceramah yang Menyentuh
Setelah beberapa saat, Ustadz Abdul Muhaimin naik ke mimbar. Suasana masjid menjadi hening.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” sapa Ustadz dengan suara tenang namun tegas.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab jamaah serempak.
Ustadz memulai ceramahnya dengan lantunan ayat Al-Qur’an:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (QS. Ar-Rum: 21)
“Saudaraku sekalian,” Ustadz memulai, “cinta adalah fitrah. Ia hadir tanpa kita undang, tanpa kita duga. Tapi di sinilah letak ujian terbesar — bagaimana kita menjaga cinta itu tetap suci dan diridhoi Allah.”
Arpa menyimak setiap kata dengan hati bergetar. Ia merasa seolah ceramah ini ditujukan langsung kepadanya.
“Cinta sebelum halal adalah amanah. Jangan biarkan rasa itu membawa kita ke jalan yang salah. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Pandangan adalah panah beracun dari panah-panah setan. Barang siapa yang menundukkan pandangannya karena Allah, maka Allah akan memberikan manisnya iman dalam hatinya.’”
Mata Arpa mulai berkaca-kaca. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai jatuh.
Di sisi lain masjid, Fathir pun merasakan hal yang sama. Hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
--------------------------------------
Pandangan yang Tertahan
Setelah ceramah selesai, jamaah mulai berdiri dan bersiap untuk pulang. Arpa dan Nayla berjalan pelan menuju pintu keluar. Namun, tanpa sengaja, pandangan Arpa tertuju ke sisi lain masjid — dan di sanalah Fathir berdiri.
Mereka saling melihat. Untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, mata mereka bertemu. Tak ada kata-kata, tak ada senyuman. Hanya tatapan yang dipenuhi perasaan yang sulit dijelaskan.
Tapi kemudian, Fathir dengan cepat menundukkan pandangannya. Ia teringat ceramah tadi — tentang menjaga pandangan sebagai bentuk menjaga hati.
Arpa pun melakukan hal yang sama. Hatinya berdebar kencang, tapi ada rasa damai yang perlahan mengalir.
Nayla, yang melihat kejadian itu, tersenyum tipis. “Aku lihat tadi. Tapi aku bangga sama kamu, Ara. Kamu kuat.”
Arpa menarik napas panjang. “Iya, Nay. Aku belajar kalau nggak semua rasa harus diungkapkan. Kadang, cukup dijaga dalam doa.”
---
Refleksi Malam Itu
Malamnya, Arpa duduk di kamarnya, memandangi bintang di langit. Ia membuka mushaf Al-Qur’an dan membaca beberapa ayat sebelum menutupnya dan berdoa.
"Ya Allah, terima kasih karena telah memberiku kesempatan untuk melihatnya lagi. Tapi lebih dari itu, terima kasih karena telah menguatkanku untuk menjaga pandanganku dan hatiku. Jika dia memang takdirku, dekatkanlah dalam ridho-Mu. Tapi jika bukan, tenangkan hatiku untuk merelakannya."
Di pondok pesantren, Fathir duduk di kamarnya, menulis di jurnal pribadinya.
"Hari ini aku belajar sesuatu. Bahwa mencintai dalam diam adalah salah satu bentuk ibadah — saat kita menjaga pandangan dan perasaan kita demi Allah. Aku masih mendoakannya, tapi kali ini dengan hati yang lebih tenang."
---
“Kadang, cukup dengan satu pandangan yang tertahan, kita belajar arti menjaga hati dan cinta dalam jalan Allah.”