Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa?
"Ya, namaku Zaitun Naai," wanita itu membenarkan ucapan sang pria tampan dihadapannya, bahkan Naii sendiri bingung bagaimana menggambarkan ketampanan pria, karena terlalu sempurna baginya.
"Kita pernah satu kampus di Universitas B, dan kamu anak Bisnis dan Manajemen--kan?" Pria itu kembali menegaskan ingatannya.
Naii kembali menganggukkan kepalanya. Akan tetapi Ia tak memiliki memory apapun tentang pria itu. Bahkan ia mencoba untuk menggalinya, tetapi tak ada satupun yang dapat ia jadikan rujukan sebagai petunjuk untuk mengingat siapa pria tersebut.
"Bu," sapa Aliyah, yang sedari tadi sedang menatap bingung. Ia kelelahan karena berjalan menyusuri koridor.
Seketika raut wajah pria itu berubah saat mengetahui seorang bocah menyapa Naii dengan sebutan ibu.
"Oh, Maaf, ternyata kamu sudah menikah," ucapnya dengan sopan, dan tak ingin berbicara lebih jauh.
Apa jadinya jika seorang pria yang mereka panggil ustaz terlihat sedang begitu akrab dengan wanita bersuami, dan itu yang ada didalam benaknya saat ini.
"Permisi, Assalammualaikum," ucapnya sembari mengatupkan kedua tangannya didepan wajah dan berlalu pergi.
Naii menatap bingung, bahkan ia lupa untuk membalas salam pria tersebut.
"Siapa dia? Mengapa mengenalku?" Naii masih dalam.kebingungan, tetapi ia tersadar, saat Aliyah menarik ujung hijab segitiganya.
"Iya, Sayang. Kita sudah sampai ditempatnya, Liya duduk disana, ya. Ibu masih ada urusan," ucapnya sembari menunjuk bangku untuk menunggu antrian. Akan tetapi saat ini kondisi sangat sepi, dan ada hanya dirinya saja yang akan membayar sisa bulanan.
Daffa berjalan menyusuri koridor. Hari ini para santri yang duduk dikelas 13 akan setoran hafalan padanya. Ia menuju ruangan untuk tempat para santri berkumpul.
Seluruh santri sudah berkumpul diruangan. Dari arah kejauhan, ia melihat Ahnaf yang menggunakan dua tongkat diketiaknya tampak berjalan menuju kelas hafalan. Ia terlihat kesulitan. Bocah itu terlalu bersemangat untuk dapat kembali berjalan, sedangkan lukanya masih belum begitu sembuh, tetapi ia tak ingin terlihat lemah.
Daffa mempercepat langkahnya. Ia menghampiri Ahnaf dan mendampinginya. "Ustaz?" ucap Ahnaf girang, saat melihat pria berwajah teduh itu menghampirinya.
Merasa diperhatikan seperti itu saja sudah membuatnya bahagia, dan ia semakin bersemangat.
"Ya. Kamu sudah mencuci pakaian hari ini?" tanya sang ustaz.
Ahnaf menganggukkan kepalanya. Meskipun sang ibu menambah uang untuk membayar laundry, Ahnaf tak ingin menambah beban pengeluaran sang ibu yang berjuang sendiri untuk membiayainya dan juga mencari nafkah tanpa bantuan sang ayah yang notabene seorang pecundang.
"Bagus. Sembari mencuci pakaian kamu juga dapat berolah raga ringan," pesan sang ustaz, yang dijawab anggukan oleh sang bocah.
"Ayi masuk, kita akan setoran hafalan, dan kamu pasti sudah menghafalnya-kan?" Daffa kembali mengingatkan.
"Sudah Ustaz," jawab Ahnaf bersemangat.
"Alhamdulillah," jawab Daffa senang.
Naii sudah menyelesaikan pembayaran untuk biaya Ahnaf mondok. Meskipun ia harus banting tulang dan tulang dibanting, namun semuanya akan terbayar dengan senyum bahagia saat sang anak mendapatkan gelar hafiz.
"Ayo, Sayang, kita pulang," ajak Naii pada Aliyah yang tampak mengantuk duduk menunggunya.
"Ndong," pintanya pada sang ibu, sebab ia kelelahan berjalan karena saat dipasar ia juga berjalan.
Naii tersenyum melihat tingkah manja sang anak, lalu ia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapannya dan menuju ke luar ruangan.
"Tak, Bu," celotehnya saat dalam perjalanan menyusuri koridor.
"Kakak masih belajar, bekum boleh dijenguk, sebab ada jadwal penjengukan, mungkin dua minggu lagi baru boleh ketemu kakak," Naii mencoba menjelaskan pada Aliyah, meskipun sebenarnya sang bocah belum begitu memahami prosedur yang dijelaskan oleh sang ibu.
"Tak, Bu," ulanginya sekali lagi.
"Adik Liya kangen sama kakak, ya?" tanya Naii.
Bocah mungil itu mengangguk cepat. Ia merasakan kerinduan yang sama, tetapi anak lelakinya lebih berkuat hati untuk mendapatkan cita-citanya dan ia hanya dapat mendukungnya, meskipun itu semua harus ia lalui dengan perjuangan yang panjang dan penuh lika-liku, tetapi ia yakin jika sang anak tak akan mengecewakannya.
"Sama, ibu juga kangen kakak, kita doakan kakak agar mudah hafalannya, ya" ucap Naii dengan menahan bulir bening yang hampir tumpah dari sudut matanya. ternyata tak semudah yang ia bayangkan harus menahan kerinduan terhadap sang anak.
Keduanya kembali menunggu angkot. Ia berharap jika rezekinya berlebih akan membeli motor untuk dapat memudahkannya ke pasar berbelanja dan juga menjenguk Ahnaf dipondok, sehingga menghemat pengeluarannya.
Naii harus menggendong Aliyah dan menenteng barang belanjaannya dalam kantong kresek yang merupakan barang dagangan dan juga beberapa lembar pakaian dan juga hijab yang baru ia beli untuk mengganti pakaiannya yang lusuh.
Angkot berhenti didepannya. Dan ia memasukinya. Ia memangku Aliyah karena penumpang yang terlihat penuh.
Tak disangka dua wanita yang selalu menjadi pembully-nya tampak juga didalam angkot.
Sepertinya mereka baru berbelanja, tampak dari kantong kresek dengan nama merk salah satu Mall yang ada dikota mereka.
"Eh, eh, si janda. Baru pulang dari jenguk anaknya, ya? Gak punya uang saja sok-sok an masukin anaknya ke pondok pesantren. Dia fikir biaya mondok itu murah," cibir Maya dengan nada cibiran.
"Paling juga dua bulan doank, gak sanggup bayar anaknya dirumahkan lagi, atau juga dapat subsidi dari pondok untuk orang susah dan miskin sehingga biayanya ditiadakan, hahahaha," Rani menimpali dengan merendahkan.
"Makanya jadi orang jangan sok kebangetan, sudah susah, janda pula, banyak gaya," sahut Maya dengan bangga. Sepertinya kepuasan tersendiri membuat Naii dipermalukan didepan umum.
Naii masih menahan emosinya, ia mencoba berdiam diri. Tetapi ia bertekad untuk membungkam mulut mereka dengan kesuksesan yang ia raih dan Ahnaf akan tetap mondok, bahkan ia bercita-cita akan membuat puteranya sampai ke negeri Mesir, negeri para Nabi dan akan menimba ilmu diUniversitas Al-Azhar yang menjadi kebanggaan para santri.
Tampak Rani dan juga Maya masih belum berhenti mentertawakannya. Mereka terlihat terpingkal dengan apa yang menjadi candaan mereka.
"Setidaknya aku tak menjadi wanita penipu seperti kalian," ucap Naii tiba-tiba yang membuat keduanya berhenti tertawa.
Pandangan mata para penumpang tertuju kepada kedua wanita yang saat ini menghentikan tawanya.
"Heei, Janda! Apa maksudmu mengatakan kami penipu?" tanya Maya dengan penuh amarah.
Naii tersenyum sinis, lalu mengeluarkan secari kertas bermaterai sepuluh ribu yang terlihat lusuh karena sangat lamanya ia simpan.
"Ini bukti penipuan yang kau lakukan padaku dan juga warga lainnya. Kau membuat arusan bodong dan melarikan uang tersebut. Aku masih kasihan padamu dan tidak ingin melaporkanmu ke kantor polisi," Naii memperlihatkan kertas yang tertulis nama Maya sebagai pihak pemegang arisan bodong dengan tanda tangan materai disana.
"Dasar Kau, Janda sialan, itu sudah sangat lama, dan mengapa kau mengungkitnya! jika hutang sudah terlalu lama, maka dianggap lunas," sahut Maya membela dirinya.
Naii melipat kembali kertas tersebut sebelum Maya merampas paksa darinya.
"Tetapi hutang akan dibawa mati, dan tidak akan pernah lunas sebelum kau melunasinya. Maka ini akan menjadi simbol jika kau seorang penipu!"
"Heei, Janda, tutup mulutmu!" hardik.Maya.
"Heei! Namaku Naii, ingat itu!! Jangan pernah kau sebut aku dengan panggilan janda, namaku Naii, ingat, dan mesti kau camkan itu!" potong Naii cepat dan jemarinya menunjuk ke arah wajah Maya.
Sesaat ia sudah tiba ditujuannya.
"Kiri, pak supir," teriaknya pada sang sopir.
Perlahan angkot menepi, dan Naii turun dengan diiringi tatapan bengong para penumpang lainnya dan tentunya tatapan penuh kesal dari dua wanita pembullynya