Ares dan Rara bersahabat baik dari kecil. Tidak mau kehilangan Ares membuat Rara mempertahankan hubungan mereka hanya sebatas sahabat dan memilih Arno menjadi pacarnya. Masalah muncul saat Papa Rara yang diktator menjodohkan Ares dan Rara jatuh sakit. Sikap buruk Arno muncul membuat Rara tidak mempertimbangkan dua kali untuk memutus hubungan seumur jagung mereka. Ares pun hampir menerima perempuan lain karena tidak tahan dengan sikap menyebalkan Rara. Namun demi melindungi Rara ,memenuhi keinginan papa dan membalas Arno. Akhirnya Rara dan Ares menikah. Hari - hari pernikahan mereka dimulai dan Rara menyadari kalau menjadi istri Ares tidak akan membuatnya kehilangan lelaki itu. Lantas bagaimana kelanjutan hubungan mereka yang sebelumnya sahabat menjadi suami istri serta bagaimana jika yang sakit hati menuntut balas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Calistatj, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18
Om Lukman keluar sebentar untuk merokok setelah aku mengatakan kalau aku dan temanku ingin melihat kondisi Ares yang masih belum sadar. Donna menatap Ares.
“Kamu beruntung dicintai Ares sedalam ini” Lirihnya.
“Aku sama Ares bersahabat dari kecil”
“Aku tau. Aku nggak bisa mengubah fakta kalau aku kalah start dari kamu”
“Aku nggak suka Ares awalnya. Aku terlalu takut kalau persahabatan ini rusak dan aku harus kehilangan Ares selamanya. Aku mati - matian menolak perjodohan kami. Aku marah sama Ares waktu dia menerima perjodohan ini”
“Aku tau. Ares cerita semuanya. Ares selalu ke apartemen aku untuk cerita tentang kamu. Makanya aku nggak suka kamu. Kamu menyia - nyiakan orang yang mati - matian ingin aku miliki”
Aku terdiam sesaat. “Sekarang aku mati - matian mencintai Ares” Ujarku akhirnya.
Donna melirik jam tangannya dan memandangku. “Ra, untuk terakhir kali… boleh nggak gue genggam tangan Ares?”
Aku mengangguk. Donna mendekat dan meraih jemari Ares. “I love you, Res” katanya tulus. “Ra, aku pamit” Lanjut Donna.
”Donna, aku harap kamu juga akan segera menemukan kebahagiaan kamu” kataku sebelum Donna meninggalkan kamar Ares. Donna memandangku dan tersenyum.
Sepeninggal Donna aku mengambil duduk di sisi Ares. “Aku juga cinta kamu, Res” Belenggu ikatan persahabatan ini benar - benar menahanku untuk selamanya bersama dengan kamu.
***
“Rara, Ares udah sadar” kata Om Lukman yang langsung masuk ke kamarku. Aku masih dirawat dan akan dipulangkan sore ini. Kondisiku mulai membaik paska kejadian itu. Aku segera turun dari kasur dan mengikuti Om Lukman ke kamar Ares yang berbeda beberapa ruangan dari ruang rawatku.
Aku menghampiri Ares yang sudah membuka matanya. “Ares”
“Rara, kamu nggak apa - apa?” Ares menyentuh pipiku.
“Aku baik - baik aja”Aku meraih jemari Ares dan menggenggamnya.
“Aku kangen kamu” Lirih Ares.
“Aku cinta kamu, Ares”
Sudut bibir Ares yang pucat melengkung sesaat. “I love you more, Rara”
“Res, aku belum bilang ini secara langsung sama kamu…aku hamil, Res”
“Makasih, sayang”
“Cepat pulih.. kita pulang” Pintaku.
“Aku juga nggak sabar untuk cepat pulang sama kamu”
“Jangan banyak gerak. Beberapa hari lagi kamu pasti boleh pulang”
***
Beberapa hari kemudian
Ares dan aku sudah kembali ke rumah yang rasanya sudah lama sekali kami tinggalkan. Kejadian kemarin masih lekat dalam ingatan dan membuatku sempat bermimpi buruk beberapa kali. Ares masih tertidur dengan lelap di pagi hari yang mendung ini. Aku menyingkirkan tangannya yang memeluk erat tubuhku. Aku bangun dan turun perlahan - lahan ke lantai bawah untuk mengambil kue tart yang aku pesan secara online untuk merayakan ulang tahun Ares yang sudah terlewat.
Aku menerima kue itu dan menyiapkannya di dapur, lalu naik lagi perlahan - lahan.
“Happy birthday to you… Happy birthday to you…Happy birthday… happy birthday… happy birthday Ares”
Ares membuka matanya dan menatapku dengan senyum lebar. Aku mendekati Ares. “Tiup lilinnya, sayang” Pintaku
Ares meniup lilinnya dan mengambil kue itu untuk diletakan di atas rak sebelah tempat tidur. Dia memelukku erat dan mendorongku pelan ke atas kasur. Aku yang berada di bawah kungkungannya mendekatkan bibirku ke bibir Ares. “I love you”
Ares menciumku dengan lembut dan lama. “I love you more”
Aku melepas kancing baju tidur Ares satu per satu dan melepasnya. Aku mengusap pelan bekas luka operasi. “Makasih udah nyelamatin aku”
“Aku nggak punya rencana hidup tanpa kamu, Rara” Ares melanjutkan ciumannya di bibirku yang segera aku balas.
“Makasih, Ra… untuk kadonya”
Aku tersenyum dan menangkup wajah Ares. “Maaf aku nggak kasih tau kamu lebih dulu”
***
“Res, Donna ke New York” Kataku sambil memandang langit - langit kamar.
“Aku tau. Maaf aku bohong sama kamu kalau aku menemui Donna diam - diam”
Aku menoleh ke arah Ares. “Karena kamu menemui Donna, jadi kita bisa selamat” Hiburku. Ares sepertinya merasa bersalah.
“Aku bawa Donna ke rumah sakit, karena takut dia kenapa - napa, tapi aku bilang ke kamu kalau aku ke kantor. Aku takut bilang yang sebenarnya, karena aku sama sekali nggak mau ada konflik di hubungan kita yang baru membaik”
“Donna ke rumah sakit, karena dia khawatir sama kamu. Aku membiarkan dia melihat keadaan kamu”
“Oh”
“Donna menelpon polisi karena kamu minta dia dan dia juga ikutin kamu diam - diam”
“Oh” Jawabnya lagi dengan singkat. Apa Ares tidak suka membahas Donna? Tapi, Ares harus tau kalau Donna menyelamatkan kami.
“Dia bilang dia cinta sama kamu… dan dia lebih baik melihat kamu sama aku dari pada melihat kamu kenapa - napa”
Ares menoleh ke arahku dan menatapku. “Aku nggak punya perasaan apa - apa sama Donna. Biarkan dia memulai hidup barunya di New York. Donna akan segera menemukan orang yang bisa menggantikan aku”
“Kenapa kamu bisa yakin?”
“Dulu di kampus banyak banget yang suka Donna”
“Tapi, dia sukanya sama kamu”
“Nggak semua orang harus punya perasaan yang sama... kenapa malah bahas Donna?”
“Aku mau kamu tau... kalau Donna peduli sama kamu”
“Aku tau, Rara…tapi, masa lalu nggak bisa kita ubah… lebih baik kita mikir nama untuk anak kita?”
“Aku belum tau dia cewek atau cowok, jadi, mikirnya nanti aja”
“Ra… aku mau minta satu hadiah dari kamu”
“Apa?” Aku menatap Ares.
“Main piano buat aku” Ares tersenyum ke arahku.
Aku mengangguk menyadari kalau aku sudah berhenti main piano terlalu lama. “Mau lagu apa?”
”Apa aja…”
Ares dan aku menuruni tangga menuju ruang tamu tempat pianoku membisu disana. Aku duduk di kursi dan menekan tuts piano. Aku memandang Ares sekilas dan tersenyum. Jemariku dengan lincah bermain di atas piano. Melodi lagu Rivers Flow In You berkumandang. Ares mendekat ke arahku dan memelukku dari belakang. Dia mencium puncak kepalaku.
Aku berlatih piano dari aku masih kecil karena diajari mama. Mama pencinta musik klasik. Dia juga mengajarkan piano di sekolah musik. Ketika mama meninggal. Piano menjadi hal yang paling dibenci papa. Papa mulai melarangku bermain piano dengan alasan itu tak berguna. Hanya Ares yang dari dulu selalu membantu untukku bermain piano. Dia mendaftarkan aku ke ekskul piano di sekolah, juga menemani aku berlatih diam - diam. Ares pernah berkata kalau kami menikah dia akan membiarkanku bermain piano sepuasku. Lelaki ini sedang menepati janjinya.
“Bagus banget” Puji Ares ketika aku mengakhiri permainanku.
Aku memandang Ares. “Makasih udah dukung aku dari dulu”
“Main piano membuat kamu mengingat mamamu?”
”Iya” Jawabku. Ares mempererat pelukannya. Aku merasa sudah mendapatkan semua hal yang aku impikan sekarang.