Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Alastar
Pagi yang cerah itu, Frasha, ketua OSIS dengan tatapan yang selalu dingin, berdiri tegak di depan gerbang sekolah. Atribut OSIS lengkap dengan logo di almetnya menegaskan kedudukannya yang tinggi, dan dia tahu betul bahwa sikapnya yang tak mudah tersentuh menjadi ciri khasnya. Namun, di hadapannya sekarang, ada Alastar, kapten tim basket yang tengil, dengan senyum nakal yang selalu berhasil membuat siapapun terkejut.
"Pagi, Sha." Sapa Alastar, sambil tersenyum lebar, matanya menyiratkan kegembiraan yang sulit disembunyikan.
Frasha hanya menatapnya dari atas ke bawah dengan pandangan tajam, seolah sudah terbiasa dengan tingkah laku Alastar yang tidak tahu malu. Dengan tenang, dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku almetnya, tidak bergeming sedikit pun.
"Lepasin headband itu, Star," Frasha berkata datar, tanpa ada sedikit pun rasa humor atau kelembutan dalam suaranya.
Alastar, bukannya merasa tersinggung, justru memperbesar senyumannya. "Gimana kalau lo aja yang lepasin headband ini, Sha?" jawabnya dengan nada menggoda yang sangat khas.
Frasha mengerutkan kening, matanya semakin tajam menatap Alastar. "Lo lepas sekarang, atau gue hukum!" kata Frasha, tegas, tanpa sedikit pun rasa ragu.
Alastar sejenak terdiam, seolah sedang menimbang pilihan yang tak biasa. Namun, senyum nakalnya kembali merekah, seolah dia baru saja menemukan jawabannya. "Gue pilih opsi kedua aja deh, Sha. Biar bisa lama-lama sama lo," ujarnya dengan percaya diri, sedikit menggoda, dan penuh tantangan.
Frasha tak bergerak, hanya menatapnya dengan penuh penilaian. Dia tahu betul bahwa Alastar bukan tipe yang akan langsung menyerah begitu saja. Namun, sebelum Frasha sempat menanggapi, seorang teman mereka, Falleo, yang juga anggota OSIS, datang menghampiri.
"Lo dicariin Pak Zul, Star," ujar Falleo, menyela percakapan antara Alastar dan Frasha dengan nada yang santai.
Alastar mendengus keras, sedikit kesal karena harus berpisah dari Frasha yang selalu menarik perhatian. "Yaudah deh, Sha. Hari ini gue nggak jadi menyerahkan diri buat dihukum. Tapi besok, gue dengan suka rela melakukannya, demi bisa lama sama lo," kata Alastar, sambil tersenyum nakal dan melangkah pergi.
Falleo yang mendengar perkataan sahabatnya itu hanya terkekeh, menikmati situasi yang selalu penuh ketegangan ini.
Frasha masih diam di tempat, matanya tetap tajam, memandang Alastar yang semakin menjauh. Falleo, yang merasa suasana sudah cukup menggelitik, menoleh ke Frasha dan menggoda, "Dia menarik, kan, Sha?" tanyanya dengan nada menggoda, mencoba menyelami perasaan Frasha terhadap Alastar.
Frasha menoleh dengan cepat, wajahnya kembali datar dan penuh kecanggungan. "Dia tengil yang menyebalkan," jawabnya, dengan nada sinis dan sebuah tatapan yang tak bisa diartikan dengan kata-kata.
*****
Malam di Kafe Noura, Jalan Ijen
Malam itu, lima sahabat—Alastar, Alarick, Faldo, Falleo, dan Barram—memutuskan untuk berkumpul di Kafe Noura di Jalan Ijen, Malang. Suasana kafe yang hangat dengan pencahayaan temaram dan musik lembut di latar belakang memberikan nuansa santai setelah seharian penuh aktivitas. Mereka duduk bersama di meja yang agak tersudut, jauh dari keramaian, dengan secangkir kopi di meja dan camilan ringan yang terhidang.
Alastar duduk dengan gaya santai, tangan diletakkan di belakang kepala, sementara senyum nakalnya tak pernah hilang. Di seberangnya, Faldo membuka pembicaraan.
“Gimana, Star? Lo masih aja ngejar Frasha, ya?” tanya Faldo sambil memandang sahabatnya dengan penasaran.
Alastar tertawa ringan. "Iya, gue nggak bisa berhenti mikirin dia, Fal. Semakin dia nggak peduli, semakin gue tertarik," jawabnya dengan penuh percaya diri, meski tahu betul bahwa Frasha bukan tipe cewek yang mudah terpengaruh.
“Jangan terlalu percaya diri, Star,” lanjut Falleo yang duduk di samping Barram. “Lo tahu kan, Frasha itu nggak gampang banget dibikin luluh. Dia tuh lebih susah dari teka-teki.”
Alastar mengangguk pelan, namun senyum di wajahnya tak pudar. “Iya, gue tahu, tapi justru itu yang bikin gue makin tertantang. Kalau dia gampang banget luluh, apa serunya?”
Barram yang duduk lebih diam menatap Alastar dengan serius. “Tapi lo harus ingat, Frasha itu bukan cewek sembarangan. Kalau lo cuma main-main, dia bakal ngerasa lo nggak tulus.”
Alastar menatap Barram sebentar, lalu tertawa kecil. “Jangan khawatir, Barram. Gue nggak akan main-main. Dia cuma butuh waktu untuk ngerti gue. Lagian, gue bukan tipe orang yang gampang menyerah,” ujarnya, meyakinkan teman-temannya.
Suasana semakin akrab saat mereka saling bercanda dan tertawa. Namun, perhatian Alastar tidak sepenuhnya pada obrolan itu. Sesuatu—atau lebih tepatnya seseorang—menarik perhatian Alastar. Frasha.
Gadis itu baru saja memasuki kafe, terlihat tenang meskipun selalu memancarkan aura yang membuat orang-orang di sekitarnya merasa segan. Dengan penampilan sederhana namun tegas, Frasha berjalan menuju meja kosong di sudut kafe tanpa memberi perhatian pada orang-orang yang mengenalnya.
Melihat Frasha, Alastar tanpa ragu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekat. “Sha!” panggilnya, dengan senyuman lebar yang tak bisa disembunyikan.
Frasha menoleh, mata tajam menatap Alastar. Ada ekspresi datar di wajahnya, meski matanya seakan bisa menembus langsung ke dalam diri Alastar. “Alastar,” jawabnya singkat, lalu menoleh ke arah meja kosong di dekat mereka dan melangkah menuju sana.
Alastar, yang merasa tidak begitu mudah mundur, tetap dengan senyum di wajahnya. “Eh, lo nggak mau gabung bareng kita, Sha?” tanyanya dengan nada menggoda, mencoba membuat Frasha terlibat dalam percakapan.
Frasha berhenti sejenak, menatapnya dengan tatapan tajam. “Lo gangguin gue terus, ya?” jawabnya dengan suara datar yang semakin menegaskan bahwa dia tidak akan mudah terpengaruh.
“Enggak kok,” jawab Alastar santai. “Cuma pengen ngobrol sama lo, siapa tahu bisa lebih dekat gitu,” katanya, mencoba tetap tenang meskipun dia tahu betul Frasha bukan tipe cewek yang gampang luluh.
Frasha hanya memberikan tatapan tajam lagi sebelum berkata, “Jangan ganggu gue, Star,” lalu melangkah pergi menuju meja kosong di sudut kafe, meninggalkan Alastar yang tetap berdiri sambil tersenyum.
Kembali ke meja, Alastar duduk dengan ekspresi yang tidak berubah. “Semakin dia nggak peduli, semakin seru,” katanya sambil tersenyum lebar. "Sama seperti yang gue bilang tadi. Gue nggak bakal nyerah begitu aja."
Teman-temannya, meskipun sudah tahu bagaimana sifat Alastar, hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Lo tuh emang nggak kapok, ya?” tanya Falleo, sedikit menggoda.
“Kapok? Kalau gitu gue nggak bakal merasa hidup, Fal,” jawab Alastar, meletakkan cangkir kopinya kembali ke meja. “Gue tahu, suatu saat nanti, dia bakal lihat sisi lain gue. Gue yakin banget.”
Malam itu, mereka terus berbincang, namun di dalam benak Alastar, satu hal yang selalu ada: Frasha. Meskipun sikapnya yang selalu dingin dan terkesan tak peduli, bagi Alastar, Frasha justru semakin menarik untuk diperjuangkan.