"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Kita Sebenarnya?
Napas gue mulai berat. Gue coba tarik udara, tapi kayaknya nggak bisa.
"Lo nggak apa-apa?" Maurice nanya dengan ramah.
Gue mau muntah. Gue berdiri buru-buru, soalnya gue tahu air mata gue udah di ambang jatuh.
"Gue… gue harus pergi."
Mata gue nyari Antari untuk terakhir kalinya, tapi dia masih aja nggak ngeliat gue.
"Semoga sore kalian indah, permisi."
Suara gue keluar datar, nyaris nggak ada emosi. Abis itu, gue langsung cabut dari kantor itu, ngerasa kayak orang paling tolol sedunia.
Gue benci diri gue sendiri karena sempet mikir sesuatu yang baik bisa terjadi buat gue. Gue benci karena udah kasih dia masuk ke hidup gue, ke hati gue, padahal gue tahu kita berdua ada di dunia yang berbeda.
Mungkin, gue cuma mainan di ranjang buat dia, sementara cinta dan perhatiannya benaran buat tunangannya. Buat cowok kayak dia, gue cuma bisa jadi ‘hiburan’, nggak akan pernah lebih.
Sial, sakit banget.
Gue nggak pernah ngerasain sakit kayak gini. Ini pertama kalinya gue membuka diri dan jadi rentan. Dan dia… dia brengsek itu bilang ke gue kalau dia udah nggak punya pacar.
Dia tahu kalau gue nggak akan pernah mau nyentuh dia kalau tahu dia masih sama seseorang.
Bagaimana dia bisa membohongi gue seperti itu?
Bagaimana dia bisa tetap tenang, dingin, seakan nggak ada apa-apa pas tunangannya masuk ke ruangannya?
Apa dia benar-benar nggak peduli sama sekali sama perasaan gue?
Gue tahan air mata, berusaha tetap keliatan kuat sampai akhirnya nyampe rumah.
Begitu sampe, gue langsung lari ke kamar mandi.
Gue tatap bayangan gue di cermin. Mata gue udah merah, dan dua tetes air mata tebel jatuh di pipi gue.
Lo bodoh, Ellaine.
Lo benaran mikir dia bakal ninggalin cewek sehebat itu buat lo?
Hahaha.
Tolol.
Yang lebih nusuk lagi, dia tunangannya.
Mereka bakal nikah.
Jadi, bagaimana dia bisa nyium gue, nyentuh gue kayak gitu, padahal dia bakal nikah sama orang lain?
Bagaimana dia bisa selingkuh, dan lebih parahnya lagi, bikin gue jadi bagian dari kebohongannya?
Gue kebayang lagi senyumnya, kata-katanya waktu di dapur. Semua itu muncul di kepala gue kayak film yang nggak bisa di-stop.
Bagaimana dia bisa ngelakuin itu semua dengan santainya, padahal dia udah terikat sama orang lain?
Gue nutup wajah pake tangan, akhirnya membuka semua tangisan yang tadi gue tahan. Gue nggak tahu bagian mana yang paling bikin sakit dari semua ini.
Yang jelas, rasa ini terlalu sakit.
Jauh, jauh lebih dari itu.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
...Antari...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Udah beberapa hari sejak gue cium Ellaine, dan sejak itu gue belum bisa ketemu dia lagi. Kerjaan benar-benar menyita waktu gue habis-habisan.
Data, angka, grafik, plus seabrek proposal terus bermunculan di sekitar gue, yang harus dipresentasikan sama berbagai orang yang duduk di ruang rapat. Semua kepala departemen perusahaan ada di sini, duduk di meja besar berbentuk U, dan gue di kepala meja.
Gue mainin pulpen di tangan sambil dengerin mereka ngomong, tapi pikiran gue ke mana-mana.
Mata hitam. Rambut pirang.
Ellaine.
Gue masih nggak percaya akhirnya bisa cium dia. Bertahun-tahun gue nunggu, berharap, dan ternyata ekspektasi gue nggak ada apa-apanya dibanding sama kenyataannya.
Bibir dia yang lembut langsung ngepas banget sama punya gue, kayak udah ditakdirkan begitu.
Gue merinding sendiri inget bagaimana wajahnya memerah, bagaimana matanya penuh hasrat, suara desahannya yang kecil, dan bagaimana dia buru-buru melepaskan kancing kemeja gue.
Dia tuh cantik banget, sumpah.
Gue gigit bibir pas inget betapa basahnya dia waktu itu. Dia menginginkannya, sama kayak gue dia, dan itu benar-benar bikin gue hilang akal.
Kalau aja bukan gara-gara Anan yang tiba-tiba muncul, gue pasti udah jadi di situ juga, di dapur. Gue buru-buru ngusir pikiran itu, hal terakhir yang gue butuhin sekarang adalah berdiri di tengah rapat dengan kondisi nggak kondusif.
"Bagaimana menurut lo, Pak?" Abraham, kepala proyek, tiba-tiba nanya. Gue langsung ngangkat kepala buat natap dia untuk pertama kalinya sejak 10 menit lalu.
Untungnya, gue punya ingatan yang kuat. Sekali denger, gue bisa langsung mengingat semua, meskipun nggak ngelihat yang ngomong. Mungkin ini alasan kenapa kuliah dulu gampang banget buat gue.
"Ide yang cerdas. Tapi kenapa lo nyari kontraktor dari luar kota?"
"Lebih murah, Pak," jawab Abraham.
Gue ngelirik ke Elnaro, sahabat gue sekaligus kepala keuangan di sini.
"Elnaro, berapa banyak yang bisa kita hemat kalau pake kontraktor luar kota?"
Elnaro ngecek catatannya. Dia udah paham apa yang gue mau tanpa perlu gue omongin.
"Nggak banyak. Malah bakal ada biaya tambahan buat transportasi dan akomodasi pekerja. Belum lagi faktor motivasi, mereka bakal jauh dari rumah, mungkin nggak makan enak, terus kepikiran kampung halaman tiap detik."
"Nah, itu dia." Gue taruh pulpen di meja. "Kita punya kontraktor yang bagus di kota ini. Kalau kita bisa nyediain lapangan kerja buat masyarakat sendiri, mereka bakal lebih semangat kerja. Karena mereka bangun rumah dan gedung buat kota mereka sendiri."
Abraham langsung nunduk.
"Ngerti, Pak. Saya cuma nyari cara biar lebih hemat aja."
"Gue tahu. Tapi kayak yang Elnaro bilang, hematnya nggak seberapa. Sementara dampak positifnya lebih gede kalau kita pakai tenaga lokal."
Sirene, kepala HR, langsung nimbrung. "Saya bisa bilang kalau kita udah kerja sama sama kontraktor lokal sebelumnya, dan mereka emang pekerja yang hebat."
"Sip, berarti udah fix," gue menyudahi pembahasan.
Tiba-tiba pintu ruang rapat kebuka, dan bokap gue masuk. Semua orang langsung berdiri, kecuali gue.
Respek mereka ke Pak Batari emang gede banget. Buat banyak orang, dia itu panutan, orang yang membangun perusahaan raksasa ini dari nol sampai jadi imperium dengan empat cabang di seluruh negeri dan proyek di berbagai daerah.
Gue juga kagum sama dia, tapi mungkin bukan dengan alasan yang sama kayak mereka. Gue tahu betapa banyak yang harus dia korbankan buat sampai di titik ini, keringat, air mata, semua perjuangan yang harus dia lewatin.
"Pagi, duduk aja semua," kata bokap sambil senyum. "Udah sering saya bilang, nggak usah segitunya." Dia bercanda, nepuk pelan bahu salah satu kepala departemen. "Maaf ngeganggu."
"Kita udah kelar kok. " Elnaro merespon santai.
"Oh." Mata bokap akhirnya jatuh ke arah gue. "Bisa kasih saya beberapa menit buat ngobrol sama CEO kalian?"
Tanpa nunggu lama, semua orang langsung keluar. Bokap duduk di ujung meja yang berlawanan sama gue.
"Antari kira, Papa bakal pergi dinas beberapa minggu," kata gue sambil nyandar santai.
"Papa berangkat sore ini," jawabnya, jarinya ngetuk-ngetuk meja dengan gelisah.
Gue tahu dia mau ngomongin.
"Oke, langsung aja. Waktu kita sama-sama berharga," gue kasih kode buat dia mulai ngomong.
"Papa dapet telepon dari Tony pagi ini. Dia bilang cancel buat perpanjang kontrak sama kita.
"Tentu aja."
"Papa nggak suka kejutan, Antari. Apalagi kalau ngeganggu bisnis kita. Kita udah punya kesepakatan. Papa kasih kamu kebebasan buat pilih cewek, dan sekarang Papa denger kamu udah mutusin dia."
Gue tarik napas panjang. "Menurut Antari, nyampur urusan pribadi sama bisnis itu nggak tepat."
"Itu bukan yang kamu bilang waktu kita ngomongin ini setahun lalu. Kamu udah setuju, Kamu jalan sama dia selama ini, dan sekarang kamu tiba-tiba berubah pikiran?"
Gue bisa lihat urat di keningnya mulai keliatan. Dia jelas lagi marah. Gue harus pilih kata-kata gue dengan hati-hati.
"Kita bisa kerja sama sama perusahaan furniture lainnya buat proyek kita…"
"Cukup!" potongnya dengan suara keras. "Ganti supplier di tengah proyek itu keputusan absurd. Kamu tahu berapa banyak duit yang bakal kebuang? Kita nggak ngomongin ratusan juta, tapi miliaran. Tony & Associates itu perusahaan furniture terbaik di negara ini. Kualitas mereka nggak ada lawannya. Mereka punya banyak perusahaan lain yang ngantri buat kerja sama. Kamu masih nggak ngerti juga? Kita yang butuh mereka, bukan mereka yang butuh kita."
Gue usap muka gue dengan tangan. "Pa…"
"Papa nggak ngomong sama kamu sebagai Ayahmu sekarang. Papa ngomong sebagai Presiden Batari Corporation. Kamu udah bikin kesepakatan. Pegang kata-katamu dan jangan bikin masalah buat perusahaan. Kamu CEO, perusahaan ini harus jadi prioritasmu."
Senyum sinis keangkat di bibir gue. "Papa bahkan nggak nanya kenapa."
Bokap gue ngerutin alis. "Maksud mu?"
"Papa bahkan nggak nanya kenapa Antari berubah pikiran. Itu nggak penting, ya?"
"Itu nggak penting sama sekali. Yang penting perusahaan." Suaranya dingin banget.
Tentu aja.
Sebagian dari gue pengen ngelawan, ngebantah dia, tapi dia ada benarnya. Gue udah janji waktu itu.
Gue suka Mauirce, dulu. Jadi waktu bokap bikin kesepakatan itu, gue nggak ngerasa itu sebagai sesuatu yang berat. Semua berjalan natural aja.
Bokap berdiri. "Maurice bakal datang nanti. kamu urusin."
Gue cuma ngangguk, dan dia langsung keluar.
Begitu pintu nutup, gue langsung menghantam meja dengan kepalan tangan, frustrasi. Gue melepas sedikit dasi, berusaha ngatur napas.
Lo ngapain, Antari?
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔