“Jadi kapan internet saya aktif kembali? Saya tidak akan menutup teleponnya jika internet saya belum aktif!” hardik Peter.
“Mohon maaf Pak, belum ada kepastian jaringan normal kembali. Namun, sedang diusahakan secepatnya,” tutur Disra.
“Saya tidak mau tahu, harus sekarang aktifnya!” ucap Peter masih dengan nada tinggi.
Disra berniat menekan tombol AUX karena ingin memaki Peter. Namun, jarinya tidak sepenuhnya menekan tombol tersebut. “Terserah loe! Sampe bulu hidung loe memanjang, gue ladenin!” tantang Disra.
“Apa kamu bilang? Bisa-bisanya memaki pelanggan! Siapa nama kamu?” tanya Peter emosi.
Disra panik, wajahnya langsung pucat, dia melihat ke PABX-nya, benar saja tombol AUX tidak tertanam kebawah. Sehingga, pelanggan bisa mendengar umpatannya.
Gawat, pelanggan denger makian gue!
***
Novel pengembangan dari cerpen Call Center Cinta 🥰
Ikuti kisah seru Disra, yang terlibat dengan beberapa pria 😁
Happy Reading All 😍
IG : Age_Nairie
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon age nairie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 Thailand
Disra melebarkan matanya, bahkan dia mengucek matanya sendiri untuk memastikan penumpang yang berdiri di depannya adalah Melvin. “Kau?”
“Hai,” sapa Melvin seraya duduk di samping Disra. Dia membuka kaca mata hitam dan juga menarik ke belakang hoodie yang menutupi kepalanya.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Disra heran.
“Apa ini pesawat milikmu? Aku punya tiket dan kursi ku di sini,” jelas Melvin.
“Owh.” Disra jadi salah tingkah.
Ya, mereka sama-sama penumpang. Siapapun bisa menaiki pesawat asal memiliki tiket.
“Kau juga ke Thailand?” tanya Melvin.
“Ya. Urusan kerja,” jawab Disra. “Kau sendiri?” tanya Disra balik. Di luar kampus, Disra sudah nyamanan untuk tidak memanggil Melvin dengan sebutan 'Pak'.
“Sama, urusan kerja," jawab Melvin.
“Studi banding?” tanya Disra.
Dia hanya tahu Melvin adalah seorang dosen. Tidak jarang seorang dosen mengikuti studi banding atau pun seminar di luar negri. Kegiatan yang dapat menambah wawasan dan pengetahuan agar kampus mereka lebih baik lagi.
“Bukan studi banding. Ada urusan pekerjaanku yang lain,” terang Melvin.
Disra hanya mengangguk, dia tak bertanya lagi tentang Melvin. “Owh,” gumamnya.
“Kau hanya sendiri dinas-nya?” tanya Melvin membuka obrolan.
“Tidak, dengan rekan kerjaku.”
“Wah, pekerjaanmu saat ini mengharuskan dinas ke luar negri. Sepertinya, lebih baik dari pekerjaanmu sebelumnya," papar Melvin.
“Ya, begitulah. Keputusanku resign dari Terabig Net sudah sangat tepat,” papar Disra tersenyum lebar.
Melvin berpikir sejenak. “Jadi, kamu resign ya? Bukan dipecat? Seingatku, kau dipecat karenaku,” ujar Melvin. Dia tahu Disra dipecat karena pengaduannya ke surat pembaca.
Akward! Disra lupa bahwa dirinya bukan mengundurkan diri melainkan dipecat, dan Melvin adalah penyebabnya. Raut mukanya berubah masam.
“Hahaha, iya aku lupa. Aku dipecat karena dirimu!” ujar Disra menekankan kalimat terakhir.
“Melihat kau sangat senang dengan pekerjaan barumu. Aku rasa, kau seharusnya berterima kasih padaku dan bukannya membenciku. Karena diriku, kau mendapat pekerjaan yang lebih baik,” jelas Melvin.
Entah ungkapan dari hati atau hanya sekedar berpura-pura untuk memanipulasi Disra. Namun, tidak sepenuhnya kesalahan Melvin. Meski dia yang membuat skenario Disra bisa masuk ke dalam perusahannya. Namun, Melvin menganggap ini semua merupakan sebuah takdir. Mencari gadis yang selama ini dia cari, tak disangka mereka dipertemukan berkat call center.
“Jangan terlalu percaya diri. Seandainya aku tidak dipecat pun, aku memang sudah berencana untuk resign. Karena, aku bekerja di sana atas jasa outsourcing. Jadi, bukan karena dirimu aku mendapatkan pekerjaan baru!” ujar Disra dengan bangga.
Melvin hanya mengangguk, dia memasang earphone di telinganya. Menyandarkan tubuhnya dan menutup matanya.
Disra hanya menatap sekilas pada Melvin. Pria itu benar-benar berubah, tak lagi mengganggunya. Dia menoleh dan hanya bisa melihat pemandangan di jendela.
Tidak ada perbincangan di antara keduanya. Setelah satu jam, Melvin membuka matanya, dia benar-benar tertidur. Melihat Disra yang juga tertidur dengan kepala menyandar pada jendela.
Melihat Disra yang tidak nyaman, Melvin berinisiatif membantu gadis itu, membenarkan posisi tubuhnya. Hingga, dirinya duduk dengan menghadap ke depan. Namun, belum juga lima menit, kepalanya terjatuh ke kanan, tepat berada di pundak Melvin. Dia membiarkan Disra tidur di bahunya, sudut bibir Melvin terangkat. Hatinya sudah cukup bahagia meskipun hanya sebagai sandaran.
***
“Gua lupa bilang ke loe. Katanya Pak Bagas atau Pak Peter akan datang saat kita menemui klien,” ujar Juli.
“Yang bener lo?” tanya Bambang.
“Bener!” ujar Juli memanjangkan intonasi.
“Kata siapa?”
“Kata Pak Bagas sendiri. Dia bilang, yang dateng dia atau Pak Peter sendiri,” tukas Juli.
“Kalau Pak Bagas doang yang dateng mendingan, kalau Pak Peter gimana? Orangnya kaku banget gitu, abis itu dia tahu kalau misalkan kita ngakalin coding-an! Jeli banget orangnya!”
“Semoga aja yang dateng Pak Bagas, soalnya kemarin kata Ila, dia di suru pesen tiket pesawat kursi First Class atas nama Pak Bagas!” seru Juli.
“Bagus deh,” ujar Bambang.
Perbedaan kursi pesawat tentu ada jenjang hirarki-nya. Jabatan lebih tinggi, fasilitaspun semakin baik.
***
Melvin ikut memejamkan matanya. Disra menyandarkan kepalanya pada pundak Melvin sedangkan pria itu menyandarkan kepalanya ke kepala Disra.
Hingga, akhirnya terdengar pemberitahuan landing. Disra mulai mengerjapkan matanya lalu membuka matanya. Merasa ada sesuatu yang salah, dia semakin melebarkan matanya. Secara perlahan mengangkat kepalanya.
Melvin merasakan pergerakan, dia yakin Disra sudah bangun dari tidurnya. Dia mengucek matanya. “Sudah bangun?” tanyanya tenang.
“Kenapa tadi … itu … kau sengaja ya? Kau mencuri kesempatan padaku?” ujar Disra putus-putus.
“Kau sendiri yang menyandarkan kepalamu di pundakku,” jelas Melvin.
Dia tak bohong, dia hanya membenarkan posisi tidur Disra. Namun, gadis itu yang menyandarkan sendiri kepalanya ke bahunya.
“Bohong!” sanggah Disra.
“Terserah kalau tidak percaya,” ucap Melvin seraya berdiri dan pergi meninggalkan Disra. Tidak lupa, dia memakai kembali kaca mata hitam dan menutup kepalanya dengan hoodie.
Disra hanya terpaku di tempat, dia belum sempat adu mulut dengan pria itu. Namun, sudah ditinggal pergi Melvin.
Melvin berjalan dengan menunduk dan melewati Juli dan Bambang. Dua rekan Disra tak sadar bahwa bos besar mereka telah melewatinya.
Disra menghampiri Bambang dan Juli. Mereka pergi ke hotel yang sudah di tentukan oleh kantor.
Lagi-lagi, Disra terpukau dengan fasilitas kantornya. Mereka ditempatkan di hotel berstandart tinggi. Kamar yang mereka tempati merupakan kamar executive. Senyum terukir lebar di bibirnya.
Bel berbunyi, Bambang dan Juli mengajak Disra untuk makan malam di restoran hotel.
"Kita meeting kecil sambil makan malam. Kita bertemu klien besok pagi dan langsung mempresentasikan. Jika, tidak ada kendala, besok malam juga kita sudah bisa pulang," jelas Bambang.
"Jadi, hanya semalam kita di sini?" tanya Disra. Dia berharap bisa jalan-jalan sebentar meskipun hanya keliling kota.
"Ya, buat apa lama-lama," timpal Juli.
"Ye beda, Jul. Dia single. Kalau kita, ada istri sama anak di rumah," ucap Bambang. Dia menoleh pada Disra. "Kalau loe mau jalan-jalan nggak pa-pa. Kerja kita mobile ini, nggak harus setiap hari ke kantor, asalkan kerjaan beres dan bisa di hubungi, ya nggak masalah. Jatah pesawat sama, tetap diberikan untuk pulang. Tapi, biaya hotel bayar sendiri," jelas Bambang.
"Ah, enggak deh Kak, mending ikut pulang. Jalan-jalan juga sendiri. Nggak seru! Lagian, aku masih anak tandem, masa udah nggak tahu diri gitu," celoteh Disra.
"Nah, itu loe tahu!" timpal Juli terkekeh. "Tapi kalau ada ayang mah mau 'kan?" goda Juli.
"Nggak punya!" seri Disra.
"Kenapa nggak punya?"
"Belum ada yang mau," ujar Disra asal.
Mereka meeting kecil untuk mempersiapkan presentasi di depan klien. Disra hanya bertugas semacam notulen. Mencatat jika klien ada request tambahan atau merasa kurang puas dengan aplikasi yang telah dibuat.
Disra izin ke toilet, tinggal Bambang dan Juli sedang menikmati kopi khas Thailand. Tidak lama, Melvin dan Bagas datang menghampiri.
Bambang dan Juli langsung berdiri menyambut Bagas dan Melvin.
"Pak Bagas, Pak Peter," sapa Bambang dan Juli. Mereka tak menyangka Melvin ikut datang.
Melvin dan Bagas hanya mengangguk kecil. "Apa sudah siap semua?" tanya Bagas.
"Sudah Pak," terang Juli.
"Baik, besok pagi kami akan ikut dengan kalian," jelas Bagas. "Apa kalian hanya berdua?"
"Tidak, kami datang bertiga. Satu lagi sedang ke toilet."
"Ya sudah, kami permisi dulu," ujar Bagas.
Bambang dan Juli hanya menatap punggung Melvin dan Bagas yang semakin menjauh.
"Katanya cuma Pak Bagas doang yang dateng. Ini kenapa bos besar juga ikut? Mana tampangnya dingin banget lagi, nggak ada omong sekali!" keluh Bambang.
"Mana gua tahu! Seingat gua Ila cuma pesan satu tiket first class."
"Terus, si bos naek kursi ekonomi gitu?"
"Mana gua tahu! Naik jet pribadi kali!" timpal Juli kesal.
Disra kembali dari toilet, melihat dua seniornya lemas. "Kenapa Kak?"
"Tadi Pak Bagas ke sini," ujar Bambang.
"Pak Bagas? Dia di sini juga?" tanya Disra heran.
"Iya, khusus mau lihat cara kerja kita mempresentasikan aplikasi yang kita buat," tutur Juli.
"Oh, tapi tadi aku nggak liat dia di pesawat," ujar Disra.
"Dia naik yang first class bukan bisnis class," jelas Bambang.
"Terus kenapa pada lemes gitu? Emang Pak Bagas galak ya kalau kerja?" tanya Disra penasaran.
"Bukan Pak Bagas-nya. Tapi, dia datang nggak sendiri. Dia bersama bos besar!" seru Juli.
"Bos besar?" gumam Disra. Seperti apa yang menjadi bos besar mereka hingga membuat seniornya lemas. Disra tak bisa membayangkannya.
dandan yg cantik, pake baju kosidahan buat Dateng kondangan Marvin /Facepalm/