NovelToon NovelToon
TINI SUKETI

TINI SUKETI

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Cintamanis / Tamat
Popularitas:13.7M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?

Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.

Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.

Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?

Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.

***

Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.

***

Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

26. Pengalaman Pertama Dan Terakhir

Tini menganjurkan pada Dijah, agar hari itu dia tidak perlu pergi memulung. Mereka harus berada di kos-kosan untuk menyaksikan bagaimana Lastri meninggalkan kandang ayam. Setidaknya pertarungan hari itu, harus membawa hasil. Mereka harus menjadi saksi di mana masa kejayaan mulut Lastri berakhir.

Pukul satu siang, Mak Robin sudah duduk di depan pintu kamarnya dengan sepiring nasi yang baru saja habis disuapkannya pada Robin. Bocah laki-laki itu berjalan ke sana kemari selama disuapi ibunya. Tak jarang Mak Robin harus mengarahkan tinjunya pada Robin, agar putranya mau mendekat dan menghabiskan nasinya.

“Bosan kali aku makan nasi,” seru Robin dengan mulut yang menganga setengah hati.

“Besok kumasakkan kau pelet. Sekarang kau makan dulu nasi ini,” ujar Mak Robin yang tak peduli dengan perkataan anaknya.

“Makan, Robin .... Jangan sampe nambah banyak uban neneknya,” ujar Tini dari depan pintu kamar Dijah. Di mulutnya terselip sebuah tusuk gigi.

“Kok, maulah si Dijah ngasi makan kau?” sindir Mak Robin. “Yang kukira jasa kau tadi gratis. Rupanya dibayar pake sepiring nasi,” kata Mak Robin memandang Tini.

“Kamu jangan terlalu berapi-api mengata-ngatai aku. Sisakan buat dia,” tukas Tini, menunjuk Boy yang keluar dari kamar Dijah juga dengan tusuk gigi di mulutnya.

“Ah, nggak ada yang beres kelen,” umpat Mak Robin. “Si Dijah cari duit capek-capek, enak aja kelen minta makan sama dia.” Mak Robin menoleh ke arah Dijah yang baru keluar.

“Enggak apa-apa, kok, Mak.” Dijah menarik kursi plastik dan duduk memunggungi jendela kamar Tini. “Sedekah itu bisa kapan aja,” jawab Dijah santai.

Mulut Tini dan Boy yang sejak tadi sibuk bergerak membersihkan sela-sela gigi seketika diam serentak. Mereka berdua saling pandang, kemudian memisahkan diri. Tini menarik kursi platik dan duduk di sebelah Dijah, sedangkan Boy menghenyakkan tubuhnya di ambang pintu kamar Dijah.

“Di kampungku, pantang duduk di depan pintu kayak gitu. Bisa terhalang jodoh kau,” tukas Mak Robin pada Boy.

“Dia memang sengaja menghalangi jodohnya, Mak. Enggak usah terlalu dipikirkan,” sahut Tini. “Ngomong-ngomong, masakan kamu enak, Jah.”

“Makasi, Tin. Malem nanti, nggak ada lagi. Udah habis. Aku rencana beli bungkus aja di warung,” jawab Dijah.

“Aku bukan mau minta makan lagi, kampret,” umpat Tini.

Saat mereka sedang tertawa-tawa karena obrolan yang jarang berfaedah, seorang wanita menyeret koper ukuran sedang dari arah tangga ulir. Ban kecil koper itu, memantul-mantul di batu-batu kecil yang mencuat di halaman kos-kosan.

Obrolan mereka seketika terhenti dan fokus mereka semua berpindah pada wanita itu. Lastri menepati janjinya meninggalkan kamar lantai dua.

Dari arah berlawanan, Asti yang baru saja pulang kuliah berjalan masuk dan berpapasan dengan Lastri.

“Mau ke mana, Mbak? Siang-siang panas terik kayak gini? Pasti mau pindah ke kos-kosan yang lebih bagus, ya, Mbak?” Asti menghentikan langkahnya untuk berbasa-basi. Sayangnya, keramahan Asti tak disambut baik. Lastri melengos meninggalkan gadis itu di tengah halaman.

Asti berjalan mendekati teman-teman barunya. Sambil mengipaskan dua lembar kertas ke wajahnya, Asti berdiri di depan Dijah.

“Mbak yang kemarin ngomong nggak enak, udah pindah keluar. Mbak Dijah sekarang pasti udah lega. Mungkin Mbak yang tadi itu mendapat ilham atau petunjuk yang membuat hatinya terbuka,” tutur Asti dengan wajah bak malaikat di teriknya matahari.

“Mendapat ilham opo? Mendapat tamparan dari Dijah dua kali. Itu yang bener,” ujar Tini tertawa. Dijah meringis mendengar ucapan Tini.

Sore yang dijanjikan pun datang. Tini sudah berdandan untuk berangkat ke tempatmya bekerja. Namun, sebelum masuk seperti biasa, Tini sudah berjanji akan mengantarkan Dijah untuk bertemu dengan seorang klien karaoke.

“Aku ke ATM dulu, Jah. DP yang dititipkan untuk kamu, katanya udah dikirim. Kalau kamu nggak mau, tamunya jangan kamu apa-apain, ya, Jah.” Tini kembali mengingatkan Dijah saat mereka sedang menyusuri jalan keluar gang.

“Memangnya, mau aku apain?” tanya Dijah.

“Ya, siapa tau mau kamu usap-usap ubun-ubunnya.” Tini melengos, Dijah tergelak menyadari raut wajah Tini.

Di depan ATM, Tini menyerahkan empat lembar uang 100 ribu kepada Dijah. Mata Dijah seketika membulat.

“Kenapa? Kamu kaget? Terlalu sedikit atau terlalu banyak?” tanya Tini, bingung dengan reaksi Dijah.

“Aku kayak deja vu, Tin.” Dijah memandang empat lembar uang 100 ribu di tangannya.

“Deja vu, piye?” tanya Tini.

“Empat ratus ribu rupiah ini. Sebelum kos di kandang ayam, aku kayanya pernah buat kayak gini. Kurang inget. Tapi ... laki-lakinya gemuk. Aku berantem di kamar, mau muntah. Aku dikasi 400 ribu juga, sama tetanggaku. Aku berantem, Tin. Aku menang. Tetangga kosku pindah, dan aku ikut pindah juga karena semua orang jadi takut denganku.” Pandangan Dijah menerawang.

“Kamu nggak inget banget gimana? Ingatan kamu gimana, sih, Jah? Kebanyakan lupanya kamu ini,” omel Tini. “Ini jadi nggak? Kalau nggak jadi enggak apa-apa. Aku kembalikan uangnya. Aku soalnya bingung. Kamu minjem duit nggak mau, maunya cash keras. Aku nggak bisa ngasi, Jah. Pendapatanku sekarang kecil. Setiap bulan aku ngirimin Evi, adikku 1,5 juta. Kalau kamu mau pinjem, aku bisa ngasi. Pakai uang Evi dulu,” saran Tini.

“Aku nggak minta sama kamu. Ya, ayo. Kita pergi aja. Liat di sana nanti gimana. Siapa tau aku udah bisa,” ujar Dijah, menggandeng lengan Tini. Keduanya beriringan menyetop angkot berwarna biru yang melintas.

Pakaian mereka sore itu tidak menunjukkan bahwa tempat tujuan mereka adalah hotel melati di pinggiran kota. Bentuk kamar hotel melati, lebih mirip kos-kosan. Memanjang dan semua pintunya menghadap ke halaman yang sekaligus dijadikan tempat parkir.

“Aku tunggu di sini, ya. Kalo kamu nggak mau, nggak usah. Tamunya jangan diapa-apain. Sepulang dari sini, kita jangan berantem. Aku nggak mau jadi musuh kamu, Jah.”

Dijah tertawa, kemudian melambai sekilas dan melanjutkan langkahnya menuju kamar yang ditunjuk oleh Tini.

Tini duduk di salah satu batu hias yang mengelilingi kolam kecil di seberang kamar. Sembari menunggu temannya, ia mengeluarkan ponsel android yang diberikan Almarhum Pak Alie. Baru saja Tini mengetikkan pesan kepada Evi, dari kejauhan, Dijah keluar kamar tergopoh-gopoh.

“Muka kamu kenapa?” Tini melihat wajah Dijah yang pucat pasi.

“Duh, gak iso! Opo kuwi, Tin? (Aduh, nggak bisa! Apa itu, Tin?)” Dijah menggeleng-geleng dengan raut cemas.

“Yo, manuk! (Ya, burung)” Jawab Tini dengan wajah bingung.

“Kabeh ko kuwi po? (Semua kayak gitu?)”

“Cilik? (Kecil?)” tanya Tini meyakinkan.

“ Puol. Mugo anakku ora sakmono mengko. (Banget. Semoga anakku nggak segitu nantinya)” Dijah seakan bergidik ketika mengatakan hal itu.

“Mugo-mugo, (Semoga aja)” sahut Tini, membayangkan apa yang baru saja dilihat Dijah.

“Wonge iseh ndeloki? (Orangnya masih ngeliat?)” Dijah tak berani memalingkan wajahnya ke belakang.

“Iseh. (Masih)” Tini menelengkan kepalanya ke kanan untuk melihat seseorang yang dimaksud Dijah. Pria di depan pintu kamar memasang raut kesal.

“Mlayu, Tin! (Lari, Tin!)” Dijah menyeret lengan Tini untuk pergi dari tempat itu.

“Hei! Sini kamu!” seru seorang pria dengan tubuh gemuk.

Kedua wanita itu pun cepat-cepat berlari keluar hotel melati, menuju jalan raya.

“Opo kabeh mau ko ngunu, Tin? (Apa semua kayak gitu, Tin?)”

Di antara napas mereka yang terengah, sempat-sempatnya Dijah menanyakan hal itu, pikir Tini.

“Ora. Mugo wae rejekine dewe enthuk sik gedhe. (Enggak. Semoga rejeki kita dapet yang besar.)” Tini tertawa terbahak-bahak.

“Berarti tubuh besar bukan jaminan anunya besar. Kayaknya baru kali ini aku ngeliat,” gumam Dijah saat ia dan Tini melambatkan langkah kaki.

“Ya, belum tentu. Ada yang premium, ada yang standar showroom. Tergantung rejeki,” kata Tini lagi.

“Enggak tergantung besarnya badan, ya?. Berarti ... Mas Gatot kamu itu, cilik?” tanya Dijah dengan raut datar-datar saja.

Tini sadar kalau Dijah tak bermaksud mengejek. Dijah juga tak pernah melihat kalau peliharaan Gatot cuma setangkupan tangannya saja. Dijah hanya sekedar bertanya. Tapi, entah kenapa pertanyaan Dijah membuatnya kesal. Apa karena hal yang dilontarkan Dijah itu benar?

Di tepi jalan raya, Dijah kembali menjejalkan empat lembar uang seratus ribuan ke tangan Tini. “Enggak jadi, Tin.”

“Oke,” sahut Tini, memasukkan lembaran uang ke dalam tas kecilnya.

“Tin, makasih karena mau nemenin aku, tanpa sibuk mencampuri urusanku. Kamu, terbaik. Kayanya, aku nggak cocok kerja begini. Kamu juga nggak cocok. Dan aku yakin semua perempuan di dunia ini nggak ada yang cocok menjalani kerjaan kayak tadi. Bagaimana ... kalau mulai besok, kita cari kerjaan lain?” Dijah memandang wajah Tini lekat-lekat.

To Be Continued

1
Jeong Nari
bagusss bgtt wajib bacaa semua karya author juskelapa, ⭐⭐⭐⭐⭐❤
Jeong Nari
kann jadi nangis/Cry/,
Jeong Nari
aaa jadi kangen ko Dean, udah baca 3x, jdi pengen balik lagi/Sob//Kiss/
JM_joe92
sukaaaa
🍀 chichi illa 🍒
sukaaa
Wandi Fajar Ekoprasetyo
mang Dayat ini baik sekali ya aslinya 🤭
Wandi Fajar Ekoprasetyo
astaghfirullah......dlm kepanikan msh bisa Tini bercanda
Wandi Fajar Ekoprasetyo
betul itu
Daanii Irsyad Aufa
/Facepalm//Facepalm/
Daanii Irsyad Aufa
haish " Astaga" itu jargonnya mas bara
Daanii Irsyad Aufa
itu mas bara dan mas Heru (bener ngga sih namanya)
Daanii Irsyad Aufa
nah cocok tuh omongan Dijah
Daanii Irsyad Aufa
sumpah berasa aq duduk d pojokan ngeliat Lastri d smackdown Dijah. di iringi backsound Tini yg lagi JD wasit
Daanii Irsyad Aufa
pokoknya nongki BRG MBK Tini itu d jamin agak mangkel ya boy. dan keluarlah pepatah sakti "Yang sabar y Boy"
Meilaningsih
udah ga kehitung berapa kali aku repeat baca si suketi...novel favorit ku njussss...
no 1 ga ada yg nmanya bosen..masih tetep ketawa, seperti pertama baca..
no 2, baru kang pirza
juskelapa: makasih ya Mba 😘😘😘
total 1 replies
Daanii Irsyad Aufa
tenang mamak Dul, bang bara lg ke bengkel buat benerin si merah.
Daanii Irsyad Aufa
hahah semangat MBK Tini, emg harus gitu. tegas dan membela diri penting biar ngga makin d injak orang
Daanii Irsyad Aufa
😄😄
Daanii Irsyad Aufa
aduh ko AQ terharu bgt baca ini. kaya masih ada orang yg saling perduli d kerasnya ibu kota. kos kosan kandang ayam akan selalu jd kenangan
Daanii Irsyad Aufa
aduh ini scene harusnya berlinang airmata tapi ko mlh bikin ngekek sih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!