Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senjata makan tuan
Amara telah selesai dengan urusannya. Ia tampak membawa sebuah nampan yang berisi makanan serta minuman dan melangkah santai menuju kamar Dimas.
Sebelum membuka pintu, Amara terlebih dulu mengetuknya dan mengucapkan salam. Tak ada sahutan yang terdengar dari dalam membuatnya segera membuka pintu itu dengan perasaan cemas.
Namun ia bernafas lega saat dilihatnya Dimas tengah duduk bersandar pada kepala ranjang sembari menunduk menatap sebuah buku yang ia letakkan di pangkuan.
"Selamat malam, Tuan. Sekarang waktunya anda makan malam," ucap Amara dengan nada riang sembari meletakkan makanan itu di atas nakas.
"Tinggalin makanan itu di situ. Entar aja gue makan, sekarang belum lapar." Tanpa menoleh pada Amara, Dimas berucap dingin. Entah terlalu serius dengan bukunya atau mungkin malas menatap perawatannya.
"Tapi nanti Tuan benar-benar makan dan minum obatnya, kan?" Amara langsung bertanya seolah-olah meragukan perkataan yang Dimas ungkapkan barusan.
Dimas mendesah pelan kemudian memutar bola mata malas. Pria yang mengenakan piyama berwarna gelap itu menutup bukunya, lalu menoleh kearah arah Amara dan menatapnya sebal. "Iya-iya. Dasar bawel," makinya kesal. Ia kemudian melempar buku di tangannya itu ke arah bawah, hingga menimpa buku lainnya yang berserakan di ujung ranjang.
Dimas mengangkat pandangan dan menatap Amara yang tengah mengamati kamarnya yang berantakan dengan tatapan heran.
Ia tersenyum miring. "Kenapa lo? Heran lihat kamar gue yang berantakan!" tanyanya kemudian dengan intonasi tinggi.
"Tidak, Tuan. Saya nggak heran, kok," jawab Amara tenang sembari tersenyum. Ia mengabaikan tatapan Dimas yang terlihat jengah terhadapnya, dan tetap mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan dengan jemari tangan yang menyatu di belakang.
"Lo beresin gih ini kamar! Sementara gue makan."
Amara menoleh menatap Dimas dan kemudian mengangguk patuh. "Baik Tuan," ucapnya mantap. Lalu kembali menyisir ruangan dengan pandangan, seolah-seolah tengah menimbang-nimbang sebelum ia memutuskan untuk memulainya dari mana.
Kita lihat aja, bakal betah sampai kapan lo kalau tiap hari gue kerjain kayak gini. Gue yakin lo juga sama seperti mereka yang lari terbirit-birit nggak sanggup ngadepin gue! Senyum aja terus, senyum. Tapi gue tau lo juga kesel, kan sama gue? Hahaha ,,, rasain lu! Sikat tuh kekacauan yang gue timbulkan! Dimas membatin dalam hati sambil cekikikan.
Pria bertubuh jangkung itu segera beranjak dari ranjang. Diraihnya nampan berisi makanan yang berada di nakas itu, lalu membawanya ke sofa yang terletak di sudut kiri kamarnya yang luas.
Sembari menyantap makanannya, Dimas tampak sesekali mengamati Amara yang tengah menyusun buku-buku yang sengaja ia buat berantakan itu.
Dimas bahkan sengaja menghamburkan pakaiannya yang sudah tertata rapi di lemari. Seprei dan sarung bantal pun tampak terlepas dari tempat seharusnya dan berhamburan kemana-mana.
Amara mendesah pelan sembari bergerak memulai membereskan kekacauan itu satu persatu. Ia hanya mencoba tuk bersabar, agar tak mudah dikuasai oleh amarah saat harus meladeni keinginan pria depresi yang tengah mengerjainya habis-habisan itu. Ia tahu Dimas memang sengaja melakukannya. Dengan tujuan apa? Tentu saja agar ia segera angkat kaki dari sana.
Hohoho, tidak semudah itu saya menyerah, Tuan. Semakin anda berusaha mengusir saya, justru semakin membuat saya bersikeras bertahan di sini.
Tekad serta keyakinan yang kuat untuk membuat Dimas sembuh lah yang membuatnya tetap bertahan berada disini. Ditambah pula keinginan menjauhkan diri dari Juan. Rasanya kesibukan ini tepat untuk mengalihkan pikirannya dari lelaki yang telah mengisi ruang kosong dihatinya itu.
Mata Amara berkali-kali melirik pada nakas yang diyakininya sebagai tempat Dimas menyimpan foto sang kekasih. Bahkan sebuah rencana telah ia pikirkan selagi sibuk dengan pembenahan ini.
Waktu terus bergulir hingga Amara menyelesaikan pekerjaan yang sama sekali tak berkaitan dengan profesinya itu. Senyum senang tampak menghias di wajahnya seiring dengan helaan nafas lega.
Dimas yang merasa gagal dengan usahanya itu tampak geram dan mengepalkan kedua tangan. Sial, bisa-bisanya dia nggak ngeluh, sih! Padahal gue udah usaha habis-habisan bikin ini kamar segitu berantakan. Bahkan nyaris seperti kapal pecah. Tapi kok dia bisa tahan! Apa gue yang belum maksimal, ya? batin dalam hatinya. Tak patah arang, ia tampak berpikir mencari cara lain untuk mengerjai Amara.
Namun karena terlalu memaksakan otaknya--yang masih belum sembuh benar--untuk berpikir keras membuat kepala Dimas mendadak didera pusing bukan kepalang. Ia sontak meremas kepalanya yang terasa seperti dihantam batu besar. Dimas meringis kesakitan.
Namun sepertinya Amara tak menyadari akan hal itu sebab Dimas sama sekali tak menyuarakan kesakitannya. Ia tampak terlalu bersemangat untuk segera menemukan foto kekasih Dimas, hingga tak terbaca olehnya Dimas yang terlihat mulai hilang kendali.
Saat Amara membuka laci nakas dan melihat sebuah foto seorang gadis cantik, matanya langsung berbinar senang. Bahkan dengan sengaja ia mengeluarkan foto itu dan menunjukkannya pada Dimas--yang sedang menyandarkan tubuh pada sofa--seolah sedang mencari tahu.
"Tuan, apakah ini foto kekasih anda? Cantik juga ya, ternyata," ucap Amara antusias. Namun pandangannya masih tertuju pada foto itu dengan penuh kekaguman.
Tanpa Amara duga, yang ia lakukan itu ternyata layaknya sebuah pemantik. Gadis itu tak tahu jika tindakannya menyulut emosi Dimas yang telah sejak tadi berusaha ia tahan. Membuat darahnya seperti mendidih akibat kemarahan yang berkobar.
Hingga saat Amara mengangkat pandangan, ia langsung didera panik bersamaan dengan sebuah gelas kosong yang melayang di udara. Dimas benar-benar melemparkan gelas minumnya ke arah Amara.
Beruntung gadis berjilbab itu berhasil menghindar di waktu yang tepat, sehingga gelas itu hanya mengenai tembok di belakangnya. Amara sontak membulatkan mata sambil menutup mulutnya yang ternganga. Gadis itu sejenak mengamati keadaan belakang dan mendapati gelas itu hancur berkeping-keping dengan pecahan kaca yang berserakan kemana-mana.
Saat mengembalikan pandangan ke arah Dimas, ia kembali didera ketakutan melihat tatapan lelaki itu yang menyalang tajam. Terlebih dengan telapak tangannya yang terkepal.
"Lepaskan kekasihku! Dia milikku! Aku tidak izinkan siapapun menyentuhnya! Lepaskan dia!" teriakan histeris Dimas menggelegar memenuhi ruangan kamar yang kedap udara itu. Tubuh Amara seketika bergetar ketakutan. Tangannya bergerak menyentuh telinga akibat suara Dimas yang begitu memekakkan.
Tatapan tajam Dimas pada Amara membuat gadis itu mengerti akan apa yang Dimas maksudkan. Sehingga Amara pun segera mengembalikan foto itu kembali pada tempatnya.
"Tuan, saya tidak berniat menyentuh kekasih anda. Sungguh. Anda bisa percaya pada saya. Jadi saya mohon, tenangkan diri anda, Tuan," bujuk Amara dengan bibir yang bergetar sembari mundur perlahan. Dimas yang sedang kalap itu mulai bangkit dan melangkah mendekatinya dengan tatapan penuh ancaman.
"Kau telah merebutnya dariku! Kau telah mengambil milikku!" Dimas berteriak sambil mengarahkan telunjuknya kepada Amara.
Amara menggelengkan kepalanya berulang-ulang sebagai bentuk penyangkalan. Ia yang sudah menghimpit tembok di belakangnya tak bisa berkutik lagi. Hanya manik hitamnya yang masih terarah pada Dimas dengan sikap antisipasi.
Lelaki itu sudah berada di depannya hanya berjarak sejangkauan tangan saja. Namun Amara masih memberanikan diri membalas tatapan lelaki itu untuk menelisik. Amara bisa menangkap sejejak kesedihan pada sorot mata Dimas yang begitu menakutkan.
Tubuh Amara terpaku saat Dimas mencengkeram kedua bahunya dengan erat.
"Kembalikan dia padaku! Kembalikan dia padaku!" desak Dimas sambil mengguncang bahu ramping itu. Namun sikap Amara yang hanya diam rupanya membuatnya naik pitam, lalu dengan keras menghempaskan tubuh ramping itu hingga terjerembab di atas ranjang.
Dimas segera melompat naik, bahkan sebelum Amara berhasil bangkit dari sana. Lelaki itu dengan cepat memerangkap tubuh Amara dan mencekik leher gadis yang tak berdaya itu dengan kuat.
Tangan Amara yang sedang berupaya mencari-cari jarum suntik di sakunya ternyata tak luput dari pandangan Dimas. Tak ingin lagi dibuat tak sadarkan diri, lelaki itu lantas merebut suntikan itu dari tangan Amara.
Sebuah seringai jahat tersungging di bibir mana kala sebuah ide gila muncul tiba-tiba di kepala Dimas. Lelaki itu menatap Amara sambil mengedikkan alisnya. Tanpa peringatan, ia bergerak cepat menyuntikkan obat penenang itu pada lengan Amara. Hingga bisa dipastikan gadis itu pun akhirnya lunglai tak sadarkan diri.
"Senjata makan tuan," lirih Dimas dengan ekspresi penuh kemenangan.
Bersambung
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨