"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Astagfirullah, Mid! Kamu kenapa bisa kayak gini sih? Ya Allah kasian banget adikku ... hiks ... hiks!"
Semua orang yang ada di sana sampai dibuat terdiam saat Rania, kakak Hamid datang sambil menangis keras. Tak hanya paman dan bibinya yang datang, para sepupu Asya pun ikut datang ke sana.
Yani dan Asya hanya melihat saja adegan yang sedang berlaku di depannya itu. Mereka memperhatikan beberapa tetangganya yang mulai berbisik melihat tingkah saudara dari Hamid tersebut.
"Saya gak nyangka ya ternyata Pak Hamid punya saudara yang sangat peduli sama dia," kata salah satu warga menatap penuh kagum.
"Iya, bener. Kayaknya keluarga Pak Hamid ini sayang banget sama Pak Hamid ya. Saudaranya sampai nangis-nangis gitu," tambah yang lain.
Meski samar, Rania masih bisa mendengar ucapan-ucapan yang memuji dirinya. Wanita itu memang tak menampakkan di wajahnya namun di hati Rania tertawa bahagia karena bisa membuat orang-orang percaya jika dirinya yang paling perhatian pada Hamid. Itu memang tujuannya menangis di sana.
"Gak apa-apa, Mbak. Mbak gak usah nangis gitu," kata Hamid. Jujur saja dia agak risih melihat sang kakak menangis meraung-raung seperti itu. Dia kan belum meninggal tapi wanita itu menangis seakan dirinya sudah tiada. Berlebihan sekali.
"Gak apa-apa gimana? Keadaan kamu udah kayak gini kok," kata kakak tertua Hamid menimpali. Obrolan mereka terus berlanjut sampai orang-orang yang ada di sana pergi satu per satu. Asya tidak mendengar sebagian besar apa yang mereka bicarakan. Gadis itu malah larut dalam pikirannya sambil menatap ke arah paman dan bibinya.
'Apa aku minta bantuan sama mereka aja ya?' pikir Asya. Melihat bagaimana perhatiannya mereka sepertinya memang lebih baik Asya meminta bantuan dari paman dan bibinya. Asya yakin mereka pasti akan membantu. Ya, setidaknya begitulah pikiran Asya.
Setelah para tetangganya pulang, Asya pun dengan percaya diri mendekati Rania.
"Tante, boleh bicara sebentar?" tanya Asya dengan nada sungkan.
"Ada apa?" tanya Rania mulai penampakan sifat aslinya sebab orang-orang di sana sudah tidak ada.
"Bapak mau di operasi dan kami belum punya biaya. Apa---"
"Tunggu dulu!" potong Rania dengan cepat. Asya mengedipkan matanya beberapa kali tanda bingung.
"Jangan bilang kamu mau minta uang?" tanya Rania menatap Asya dengan tatapan yang sulit diartikan. Seketika lidah Asya kelu, kata-kata yang sudah berada di bibirnya kini terasa tercekat di leher. Bahkan dia belum mengutarakan apa yang ingin dia katakan namun Rania sudah membungkamnya.
"Sebenarnya---"
"Gak ada! Saya lagi gak ada uang. Kamu minta aja sama yang lain." Rania kembali memotong ucap keponakannya dengan keras kemudian berlalu dari sana tanpa peduli Asya yang terus menatapnya dengan kecewa.
Bukankah tadi dia yang sangat perhatian dan menginginkan saudaranya cepat sembuh? Lalu kenapa saat Asya meminta bantuannya wanita itu malah acuh tak acuh? Seakan apa yang dia tunjukkan tadi hanyalah sebatas mencari perhatian orang.
Asya mendengus pelan. Sepertinya benar. Apa yang ditunjukkan oleh bibinya itu hanya sebatas pencitraan semata karena banyak orang di sana dan saat orang-orang itu sudah tidak ada sifat aslinya pun keluar. Entah kenapa gadis itu menyesal sudah berharap namun dia tidak boleh putus asa. Dia harus segera mencari pinjaman untuk membiayai operasi sang ayah.
Asya pun menemui kakak tertua sang ayah. Penolakan yang sama pun diterima Asya oleh pria itu. Kini Asya mengerti kenapa sang ibu menolak saat mengatakan ingin meminjam uang dari saudara ayahnya. Yani juga sudah melarang Asya tapi gadis itu seakan belum percaya jika tidak membuktikannya secara langsung. Ternyata mereka benar-benar hanya baik di depan saja. Bahkan saudaranya dalam kesusahan pun mereka begitu enggan untuk membantu.
Asya berjalan ke arah belakang rumah sakit tersebut. Di mana orang jarang ada di sana. Gadis itu menangis sejadi-jadinya di sana. Sekarang kemana lagi Asya harus mencari uang. Dia bisa saja kehilangan sang ayah jika terlambat ditangani. Keluarga yang seharusnya menjadi penolong tercepat malah menjadi penonton saja.
Kini Asya mengerti sistem dalam keluarganya. Jika bukan dirinya sendiri yang berusaha maka dia tidak akan ada yang dia dapatkan.
***
Asya menarik napas panjang sebelum masuk ke dalam rumah itu. Meski di dalam sisi hatinya ada yang tidak membiarkan dia berada di sana namun Asya masih tetap berdiri di sana. Dia sudah tidak punya pilihan lain.
"Assalamualaikum!" Pada akhirnya Asya memberanikan diri memberi salam sambil mengetuk pintu.
"Walaikumsalam!" sahut seorang wanita dari balik pintu dan ada detik ketiga wanita itu pun berdiri tepat di depan Asya.
Mereka saling menatap untuk beberapa saat sebelum wanita itu mempersilakan Asya untuk masuk ke dalam rumah.
Jika bisanya seseorang akan bahagia atau senang saat berkunjung ke rumah nenek mereka, lain halnya dengan Asya yang justru merasa sangat canggung. Ya saat ini Asya sedang berada di rumah sang nenek, Anisa.
"Ada apa kamu datang ke sini?" tanya Anisa setelah mereka duduk di sofa dan Asya tak kunjung membuka suara. Gadis itu malah menunduk sembari memperhatikan ujung kakinya yang menapaki ubin mahal sang nenek.
Asya mengangkat kepalanya menoleh ke arah sang nenek. Sejak dulu hingga sekarang Asya tidak pernah melihat bagaimana sang nenek menatapnya dengan tatapan hangat. Selalu saja tatapan dingin yang diberikan oleh wanita berusia hampir 70 tahun tersebut. Entah kenapa melihat wajah sang nenek membuat nyali Asya menciut.
"Oh iya, gimana keadaan bapak kamu?" tanya Anisa. Dari semua keluarga inti Hamid, mungkin tinggal Anisa dan sang suami yang belum menjenguknya. Padahal seharusnya sebagai orangtua merekalah orang pertama yang datang.
"Saat ini keadaan Bapak lagi kritis," jawab Asya mengatakan yang sebenarnya.
Bohong jika Anisa mengatakan dirinya tidak khawatir mendengar keadaan Hamid yang kritis. Walau bagaimana pun pria itu tetaplah anaknya. Anak yang lahir dari rahimnya. Namun semua perasaan itu tertutupi oleh perasaan kecewa dan amarah yang hingga saat ini belum reda juga. Bahkan waktu 22 tahun pun tak kunjung membuat perasaan itu berubah.
Anisa yang tadinya akan iba kembali memasang wajah dingin. Membentengi dirinya dengan ego tinggi agar jangan sampai goyah oleh wajah memelas cucunya.
"Jadi apa tujuan kamu datang ke sini?" tanya Anisa kemudian.
"Saya ingin meminta bantuan dari nenek. Bapak harus segera di operasi dan kami kekurangan biaya," kata Asya akhirnya mengutarakan apa yang ingin dia katakan sejak tadi. Ada perasaan sedikit lega akhirnya dia bisa mengucapkan kata-kata itu juga.
"Oh, jadi kamu ke sini buat pinjam uang?" tanya Anisa memastikan tujuan cucunya.
Asya segera mengangguk dengan cepat sebagai jawaban.
"Siapa yang nyuruh kamu? Ibu kamu?"
Entah kenapa mendengar pertanyaan itu sudah membuat perasaan Asya tidak enak. Justru ibunyalah orang pertama yang melarang Asya untuk meminta bantuan pada keluarga sang ayah.
Asya menggeleng lemah. "Ibu gak pernah nyuruh saya buat datang kemari. Saya datang atas kemauan saya sendiri."
Jawaban jujur Asya justru mendapat tawa penuh ejekan dari sang nenek.
"Halah! Kamu gak usah sok belain ibu kamu yang miskin itu. Andai aja bukan karna dia, hidup Hamid pasti bahagia bersama dengan wanita pilihan saya. Tapi karna ibu kamu yang kecentilan menggoda anak saya makanya nasib mereka jadi seperti ini sekarang," kata Anisa. Entah apa tujuannya berkata seperti itu di depan Asya.
Bukankah tujuan Asya di sini untuk meminta bantuan, kenapa sang nenek malah membicarakan ibunya?
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,