Rojak adalah pemuda culun yang selalu menjadi bulan-bulanan akibat dirinya yang begitu lemah, miskin, dan tidak menarik untuk dipandang. Rojak selalu dipermalukan banyak orang.
Suatu hari, ia menemukan sebuah berlian yang menelan diri ke dalam tubuh Rojak. Karena itu, dirinya menjadi manusia berkepala singa berwarna putih karena sebuah penglihatan di masa lalu. Apa hubungannya dengan Rojak? Saksikan ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sugito Koganei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25 - Kehilangan segalanya
Melanjutkan kisah sebelumnya dimana, setelah makan malam bersama Vina dan Vina pulang, Rojak kembali ke kamarnya. Di kamarnya, terdapat sebuah helm dengan tanduk kumbang badak atau kabutomushi berwarna abu-abu. Tidak hanya helm itu, Rojak mendapatkan sebuah surat yang dimana surat itu ditulis oleh Kuni.
Surat itu berisi jika Kuni tidak akan terus membantunya. Pada kali ini, ia akan pergi karena ada urusan yang harus di urus olehnya. Kuni bilang jangan menyerah, berkecil hati, dan berputus asa.
Rojak duduk di sudut kamarnya, menatap helm yang kini berada di tangannya. Sinar bulan menyelinap masuk melalui jendela, menerangi ukiran misterius yang terukir di permukaan helm itu. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari ada secarik kertas di balik surat yang ia temukan sebelumnya. Dengan tangan bergetar, ia membuka dan membaca tulisan itu.
"Untuk mengaktifkan kekuatan helm ini, kau harus pakai helm ini ke kepalamu. Kemudian, tariklah tuas ini ke atas." tulisnya.
Rojak mengernyit, mencoba memahami makna dari pesan tersebut. Saat ia masih tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba teriakan memilukan terdengar dari luar.
"TIDAK! BERHENTI!" suara ibunya memekik diikuti oleh suara berat ayahnya yang penuh dengan kesakitan.
Rojak sontak berdiri, napasnya memburu. Sebelum ia bisa bergerak, pintu kamarnya terbuka dengan keras. Poppy muncul dengan wajah panik.
"Kak Rojak! Cepat! Ibu sama Bapak dalam bahaya!"
Tanpa pikir panjang, Rojak berlari keluar dari kamar, Poppy mengikutinya di belakang. Namun, sialnya, begitu mereka tiba di depan pintu utama, pintu itu terkunci rapat. Mereka mencoba mendobraknya, tetapi seakan ada kekuatan tak kasat mata yang menahan mereka.
Di luar, bayangan mengerikan Malgrion berdiri dengan pedang hitam pekat yang memancarkan aura kegelapan. Kedua orang tua Rojak berlutut, terikat oleh rantai bayangan yang mencengkram tubuh mereka.
"Tidak! Jangan!" Rojak berteriak, memukul pintu dengan sekuat tenaga. Namun, sia-sia.
Dengan senyuman bengis, Malgrion mengayunkan pedangnya.
"CROT!"
Darah berhamburan di udara. Tubuh kedua orang tua Rojak terkulai tak bernyawa di tanah. Mata Rojak membelalak, jantungnya serasa berhenti berdetak.
"IBU!" teriak Rojak.
"BAPAK!" teriak Poppy.
Begitu nyawa kedua orang tuanya lenyap, pintu mendadak terbuka. Rojak dan Poppy berlari keluar, tetapi sudah terlambat. Darah merah menggenangi tanah, membentuk pemandangan tragis yang mengiris hati.
"Tidak... Ayah... Ibu..." suara Rojak bergetar, matanya nanar menatap tubuh tak bernyawa di hadapannya.
Malgrion menatapnya dengan tatapan merendahkan.
"Apa kau kecewa, bocah? Mana Regulus? Kenapa ia tidak melindungimu?" ujarnya dengan tawa kejam.
Rojak mengepalkan tinjunya. Ya, ia bukan lagi Regulus, sosok pendekar singa putih kuat yang dulu bersemayam dalam dirinya. Kini, ia hanya seorang manusia biasa yang hanya bisa mengandalkan kedua tangannya.
Dengan langkah berat, Malgrion mengangkat pedangnya, siap menghabisi Rojak. Namun, sebelum pedang itu mengenai tubuhnya, Poppy melompat dengan cepat, melayangkan tendangan ke kepala Malgrion.
“BUGH!”
Tendangan itu tepat sasaran, tetapi Malgrion tidak terpengaruh. Sebaliknya, iblis itu mengangkat tangan dan melancarkan serangan mematikan.
"DARKNESS EXECUTION!"
Gelombang energi kegelapan melesat ke arah Poppy. Gadis itu terpental jauh, menghantam dinding rumah dengan keras.
"POPPY!" Rojak berteriak, hendak berlari menghampirinya, tetapi tiba-tiba,
"CROT!"
Sebuah pedang hitam menembus perutnya dari belakang. Darah segar mengalir deras.
"Aku bosan denganmu." ujar Malgrion, membisikkan kata-kata itu di telinga Rojak sebelum menendangnya hingga jatuh tersungkur ke tanah.
Rojak merasakan sakit yang luar biasa. Tubuhnya lemas, napasnya tersengal-sengal. Malgrion tertawa dan menginjak kepalanya dengan kejam.
"Mana Regulus? Mana kekuatanmu yang dulu? Sekarang kau hanyalah bocah lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa! Hahahaha! BUAHAHAHAHA!"
Darah terus mengalir dari tubuh Rojak, tetapi ia menggertakkan giginya. Dengan segala kekuatan yang tersisa, ia mengangkat tangannya, menahan pedang Malgrion yang hendak menebasnya.
Tangan Rojak bergetar. Darah menetes deras, tetapi ia tetap menggenggam bilah pedang tajam itu, tak peduli seberapa perihnya.
"Dengar baik-baik, dasar sialan!" ucap Rojak dengan suara bergetar.
"Aku baru sadar... Bertarung melawan iblis brengsek sepertimu tidak perlu bergantung pada Regulus. Aku harus mengandalkan diriku sendiri!"
Mata Rojak berkilat dengan semangat yang membara. Ia menggertakkan giginya dan bangkit dengan seluruh tenaganya. Dengan satu pukulan keras, ia menghantam wajah Malgrion.
“BUGH!”
Malgrion terhuyung mundur, menatap Rojak dengan keterkejutan.
Rojak berdiri tegak, meski tubuhnya penuh luka. Ia mengangkat tinjunya. Kini, ia bukan lagi Rojak yang hanya mengandalkan kekuatan orang lain. Ia adalah dirinya sendiri. Dan dengan kekuatan barunya, ia bersumpah untuk menghancurkan Malgrion yang sudah membunuh kedua orang tuanya, dan tentunya melawan sang Raja Iblis, Nochtharion.
“BUGH! BAGH! BUGH! BAGH!”
Pukulan demi pukulan dikirimkan kepada Malgrion meski tak ada serangan yang mempan kepada lawannya. Karena itulah, Malgrion terus menyerang Rojak tanpa henti hingga seluruh tubuhnya penuh akan darah.
Poppy datang dengan tergesa-gesa, membawa sebuah helm yang diberikan oleh Kuni. Nafasnya tersengal-sengal saat mendekati Rojak yang tengah bersiap menghadapi Malgrion.
"Kak Rojak! Pakai helm ini!" teriaknya.
Tanpa pikir panjang, Rojak langsung berteriak.
"Lempar ke sini!" Poppy mengayunkan lengannya dan melempar helm itu dengan sekuat tenaga. Rojak menangkapnya dengan mulus. Tangannya gemetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena dorongan adrenalin yang membuncah di dalam tubuhnya. Dengan tatapan penuh tekad, ia mengangkat helm itu tinggi-tinggi dan meneriakkan sebuah kata berbahasa Jepang.
“Hatsudou!"
Begitu helm terpasang di kepalanya, ia merasakan sebuah kekuatan besar mengalir ke seluruh tubuhnya. Ia mengangkat tuas berbentuk tanduk kumbang badak di atas helm dan berkata dengan lantang.
"Lever up!"
Tiba-tiba, armor mulai muncul dan menutupi tubuhnya. Dalam sekejap, ia telah berubah menjadi sosok baru, bukan lagi manusia biasa, melainkan sebuah robot kumbang badak berwarna abu-abu yang megah. Ia menatap refleksinya di serpihan kaca yang berserakan.
"Ini... luar biasa!" gumamnya.
Namun, Malgrion hanya tertawa sinis.
"Jangan sombong hanya karena kau mendapatkan armor baru! Itu tidak membuatmu lebih kuat dariku!"
Tanpa basa-basi, Malgrion melesat dengan kecepatan tinggi dan mulai menyerang Rojak. Ledakan dan dentingan logam bergema di udara. Namun, Rojak dengan cepat beradaptasi dengan kekuatannya yang baru. Ia menggerakkan tanduk kumbang badaknya dan berhasil melukai wajah Malgrion. Luka itu membuat Malgrion terkejut, namun lebih dari itu, Rojak merasakan sesuatu yang lebih besar, kepercayaan diri yang membakar semangatnya.
Rojak tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia terus menyerang dengan pukulan dan tendangan beruntun, menggempur pertahanan Malgrion yang semakin melemah. Saat itu juga, ia menyadari sesuatu di gelangnya, sebuah pilihan senjata yang bisa ditautkan ke bagian tubuhnya.
"Morning Star Arm?" gumamnya sambil menekan tombol di gelangnya.
Dalam sekejap, kedua tangannya berubah menjadi gada berduri besar. Rojak tersenyum penuh kemenangan dan langsung mengayunkan kedua senjata itu ke arah Malgrion. Setiap pukulannya menggema, menghancurkan armor dan pertahanan musuhnya. Ia mengingat semua kebrutalan Malgrion terhadap kedua orang tuanya, membuatnya semakin bertekad untuk tidak memberi ampun.
Dengan sekali hentakan, Rojak membidik Malgrion. Duri-duri di gada besinya mulai bersinar.
"Spike Launcher!" teriaknya.
Dalam hitungan detik, seluruh duri terlepas dan melesat ke arah Malgrion, menembus tubuhnya. Iblis jahat itu kini benar-benar berada di ambang kematian. Namun, sebelum Rojak bisa menghabisinya, Poppy menghentikannya.
"Cukup, Kak! Kakak udah menyiksanya! Biarkan dia merasakan penderitaan yang ia buat kepada Bapak dan Ibu kita. Itu sudah lebih dari cukup!"
Namun, sebelum keputusan diambil, dari kejauhan terdengar suara dingin dan mengerikan.
"Lemah... tidak berguna." Suara itu berasal dari Nochtharion.
“Ampun Tuan! Saya akan bunuh manusia itu! dia saat ini hanya manusia biasa! Biarkan saya melakukannya sekali lagi!”mohon Malgrion.
Akan tetapi, Nochtharion tidak peduli. Tanpa ragu, ia mengulurkan tangannya dan menghabisi Malgrion dalam sekejap.
Tubuh Malgrion perlahan kembali ke bentuk aslinya. Di hadapan mereka, bukan lagi iblis yang berdiri, melainkan seorang manusia, Angie, kawan mereka di Sekolah.
"Kak! Ayo kita bawa Kak Angie ke Rumah sakit!"
Akan tetapi, Rojak kini juga pingsan seperti Angie.
Poppy terkejut dan segera meminta bantuan Rojak untuk membawa Angie ke rumah sakit. Namun, Rojak juga terluka parah akibat pertarungan tadi. Dengan sisa tenaganya, ia mencoba berdiri, namun pingsan di tempat.
Poppy segera memanggil ambulans.
"Tolong! Aku butuh ambulans!"
Tak lama kemudian, sirene berbunyi di kejauhan, mendekat ke arah mereka. Malam itu menjadi saksi dari pertarungan dahsyat yang telah mengubah nasib mereka semua.
Rojak terbangun dengan kepala yang masih terasa berat. Pandangannya buram, dan suara bising alat medis memenuhi telinganya. Perlahan, ia menyadari seseorang ada di sampingnya. Itu Poppy, adiknya yang setia.
"Kakak! Kakak sudah sadar!" seru Poppy dengan wajah lega.
Rojak mengerjapkan matanya.
"Dimana aku?" tanyanya dengan suara serak.
Poppy menggenggam tangannya erat.
"Kakak ada di rumah sakit. Kakak pingsan selama dua hari setelah bertarung melawan Malgrion. Dokter bilang luka-luka kakak sangat parah, mereka butuh waktu berjam-jam untuk menjahitnya."
Mata Rojak membesar.
"Dua hari? Aku pingsan selama itu?" Ia berusaha bangkit, tapi tubuhnya masih terasa lemah.
Poppy mengangguk dengan wajah sedih.
"Dan… kakak…orang tua kita sudah dikuburkan kemarin. Mereka dimakamkan sehari setelah kematian mereka."
Dada Rojak terasa sesak. Ia mengepalkan tangannya, menahan air mata yang hampir jatuh.
"Aku tidak bisa melihat mereka untuk terakhir kalinya…"
Poppy menggeleng dan menggenggam tangan kakaknya lebih erat.
"Kakak tidak perlu bersedih. Ini semua terjadi karena Malgrion, dan kita akan membalasnya."
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Seorang suster masuk membawa clipboard dan berjalan mendekati Rojak.
"Saya akan memeriksa kondisi Anda," katanya singkat.
Rojak diam saat suster itu memeriksanya. Setelah selesai, ia berbalik hendak pergi. Namun, langkahnya terhenti. Dengan gerakan kaku, ia menoleh kembali ke arah Rojak. Tatapannya kosong.
"Ada apa ya, Sus?" tanya Rojak.
"Kau sudah sadar dari pingsanmu?" tanyanya dengan suara datar dan aneh.
"Hah?" tanya Rojak.
Poppy tersentak.
"Itu bukan suster…!"
Suster itu tersenyum lebar, terlalu lebar untuk manusia normal. Dari bibirnya keluar suara tawa pelan yang mengerikan.
"Akhirnya, kita bertemu, mantan Regulus."
Rojak menatap sosok itu tajam.
"Apa maumu, Raja Iblis sialan?" kesal Rojak.
Nochtharion melipat tangannya.
"Aku hanya ingin memberikan pesan. Kau terlalu lemah sekarang. Sembuhkan luka-lukamu, kuatkan fisik, mental, dan kekuatanmu. Tepat pada malam satu suro nanti, kita akan bertarung sekali lagi, tanpa gangguan. Duel terakhir kita."
Rojak mengepalkan selimutnya.
"Baik. Aku akan menunggumu kapan pun itu." Matanya dipenuhi tekad.
Nochtharion tersenyum puas. Dengan sekali kedipan, ia keluar dari tubuh suster itu. Suster itu ambruk, pingsan di tempat.
Poppy menoleh ke kakaknya.
"Kakak, setelah ini apa yang bakal kakak lakukan?"
Rojak menarik napas dalam.
"Aku akan bersiap. Aku akan mempersiapkan segalanya. Dan aku ini tahu mengenai helm pemberian Kuni. Pertarungan ini belum berakhir."
Katanya sambil menatap tajam ke arah helm pemberian Kuni.
Bersambung