Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 17 Aku, Kamu, dan Rahasia yang Belum Usai
Semenjak pertemuan dengan Arman, kehidupan Galuh dan Saras mulai sedikit lebih tenang. Tidak ada lagi bayangan yang mengikuti mereka dari kejauhan, tidak ada tatapan asing yang mengintai di sudut kampus. Tapi kedamaian itu justru menghadirkan ruang bagi rasa lain untuk tumbuh.
Di dalam rumah kos yang sunyi itu, keduanya mulai terbiasa dengan kehadiran satu sama lain. Tidak hanya sebagai teman serumah, tetapi... lebih dari itu.
Suatu malam, Saras tengah duduk di ruang tengah, menatap layar laptop sambil mencatat sesuatu di bukunya. Galuh keluar dari kamar setelah mandi, mengenakan hoodie abu-abu dan celana pendek santai. Rambutnya masih basah, dan wajahnya tampak segar.
"Masih belajar?" tanya Galuh sambil berjalan ke arah dapur.
Saras mengangguk. "Ada tugas kelompok, tapi temen satu kelompok gue pada sibuk semua. Jadi ya, ngerjain sendiri dulu."
Galuh tersenyum simpul. "Gue bantuin deh. Siapa tahu gue bisa."
Saras menoleh, mengangkat alis. "Lo? Yakin? Ini tugas ekonomi mikro."
Galuh tertawa kecil. "Gue juga pernah kuliah, loh. Meskipun... dulu sering bolos."
Saras membalas dengan tawa pelan. Galuh duduk di sebelahnya, memiringkan tubuh agar bisa membaca layar.
"Apa yang lo gak ngerti?" tanyanya.
Saras menunjuk salah satu bagian grafik elastisitas permintaan.
Sambil perlahan menjelaskan, Galuh mendekat. Jarak mereka hanya beberapa sentimeter. Udara di antara mereka tiba-tiba terasa lebih tebal.
Saras mencuri pandang ke arah Galuh, menyadari betapa dekatnya wajah cowok itu. Bibirnya bergerak cepat menjelaskan grafik, tapi tatapan matanya jujur, hangat.
"Galuh..." Saras menyebut namanya pelan.
"Hmm?"
"Kalau seandainya... gue bilang, gue mulai suka sama lo. Lo bakal... pergi?"
Galuh berhenti bicara. Waktu seakan melambat.
Mereka saling menatap. Galuh menelan ludah.
“Gue nggak akan pergi,” jawabnya pelan. “Tapi... gue juga nggak mau lo jatuh cinta ke orang yang rusak.”
Saras tersenyum, pahit. “Gue nggak nyari yang sempurna. Gue cuma nyari yang jujur dan mau berjuang bareng.”
Galuh terdiam. Ia tahu Saras pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik dari dirinya seseorang yang tidak punya masa lalu kelam. Tapi ia juga sadar bahwa perasaan itu sudah tumbuh, perlahan namun pasti.
Ia meraih tangan Saras, menggenggamnya.
"Kalau lo nggak takut nerima semua sisi gelap gue... gue juga nggak akan lari dari apa pun yang datang ke kita."
Saras mengangguk, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, perasaan itu diucapkan, meski belum sepenuhnya jadi pengakuan utuh.
---
Keesokan harinya, suasana kampus tampak lebih hidup dari biasanya. Festival tahunan kampus akan segera digelar. Spanduk warna-warni menghiasi gerbang utama. Mahasiswa dari berbagai fakultas sibuk mempersiapkan stand, pertunjukan, dan lomba-lomba.
Galuh dan Saras tidak terlalu antusias, sampai seorang teman sekelas Saras, Rena, menyeretnya untuk ikut.
"Saras, lo harus tampil di panggung! Gue denger lo bisa nyanyi," kata Rena semangat.
Saras menolak mentah-mentah. "Nggak ah, malu."
Tapi Rena tidak menyerah. "Sekali seumur hidup, Sayang! Lagian, bisa jadi kesempatan lo bikin Galuh makin jatuh cinta."
Saras menoleh cepat. “Apa sih... siapa juga yang—”
Rena tertawa. “Ayolah, Saras. Satu lagu aja.”
Akhirnya, setelah dipaksa dan dibujuk, Saras mengiyakan. Ia pun mulai latihan diam-diam di kamar kos saat Galuh tidak ada. Tapi suatu malam, Galuh pulang lebih cepat dan mendengar suara Saras bernyanyi pelan dari kamar.
Ia terdiam di depan pintu, tersenyum. Suara Saras lembut, jernih. Lagu yang dipilihnya adalah lagu lawas yang liriknya sederhana tapi menyentuh tentang seseorang yang tak sempurna, tapi dicintai sepenuh hati.
Galuh tidak mengetuk pintu. Ia memilih duduk di ruang tamu, membiarkan lagu itu selesai sambil menatap langit-langit.
"Saras," gumamnya. "Gue gak tahu lo sadar apa enggak, tapi lo udah nyelametin gue lebih dari sekali."
---
Hari festival tiba. Kampus dipenuhi pengunjung dari luar, alumni, hingga masyarakat sekitar. Booth-booth ramai, ada yang menjual makanan khas daerah, karya seni, bahkan permainan-permainan kecil.
Saras berdiri di balik panggung kecil di sudut taman kampus. Tangannya gemetar memegang mikrofon. Rena terus menyemangatinya.
Di tengah kerumunan, Galuh muncul. Ia berdiri cukup dekat dengan panggung. Saat Saras melihatnya, ia tersenyum. Jantungnya makin kencang, tapi melihat cowok itu di sana dengan tatapan penuh dukungan memberinya kekuatan.
Lagu dimulai. Saras menutup mata, lalu mulai menyanyi.
Dan seperti sihir, semua kebisingan kampus menghilang bagi Galuh. Yang ia dengar hanya suara Saras. Yang ia lihat hanya gadis itu berdiri berani, bernyanyi jujur, seolah lagu itu dibuat untuk mereka.
Ketika lagu berakhir, tepuk tangan membahana. Saras menunduk malu, pipinya memerah. Tapi Galuh tetap berdiri di tempat yang sama, menatapnya dengan senyum yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun sebelumnya.
---
Malamnya, mereka duduk di teras kos. Angin lembut meniupkan aroma tanah yang baru disiram hujan.
"Lo suka nyanyi, ya?" tanya Galuh.
Saras tersenyum. “Enggak sering. Cuma... malam itu, habis lo cerita soal Arman, gue nulis lagu itu. Gue butuh cara buat... ngeluarin perasaan.”
Galuh mengangguk pelan. "Gue denger. Suara lo... luar biasa."
Saras menoleh. "Lo denger?"
"Setiap kata."
Hening beberapa saat.
“Galuh,” Saras bicara pelan. “Kalau suatu hari nanti lo ngerasa capek... boleh kan, lo bersandar di gue?”
Galuh memejamkan mata sejenak. “Gue janji. Gue nggak akan ninggalin lo. Apa pun yang datang nanti, kita hadapin bareng.”
Saras menggenggam tangan Galuh erat.
Dan malam itu, di bawah bintang yang tak terlalu terang, dua hati yang awalnya hanya dipertemukan oleh kesalahan teknis, kini menemukan makna baru dalam satu atap yang sama.