Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 - Balas Dendam Rajendra
Baru juga tiba, masuk pun belum, tapi mereka sudah disapa dengan sebegitu buruknya.
Tanpa perlu bertanya, Aruni jelas tahu betul siapa wanita itu. Dia adalah Senina, saudara tiri Rajendra yang juga merupakan model dengan karir tak seberapa di ibu kota.
Seingat Aruni, berdasarkan informasi yang dia dapat dari Bagaskara, mereka sebaya dan sejak kecil memang sama sekali tidak ada akurnya.
Dan, tentang sapaan itu, Rajendra tak langsung menjawab. Dia hanya menatap Senina yang berdiri di ambang pintu itu dengan ekspresi datar, nyaris tak menunjukkan reaksi apa pun.
Beberapa saat Rajendra bertahan di posisi itu, dan baru kemudian membuka suara. Dia terdengar tenang, tapi juga tegas. “Gue nggak bermaksud balik ke rumah Papa lo, Senina,” katanya singkat.
"Ehm, terus mau apa?"
“Gue cuma mau ambil barang gue yang ketinggalan di kamar. Itu aja,” jawab Rajendra lagi sembari menatap malas wajah menyebalkan Senina.
Nada bicaranya datar, tanpa emosi, tapi justru dari kesederhanaan ucapannya, terlihat jelas betapa Rajendra tidak ingin terlibat dalam drama apa pun yang mungkin sedang dirancang.
Namun, Senina justru terkekeh kecil, tawanya lirih, tapi cukup untuk menyiratkan penghinaan. Dia menyilangkan tangan di depan dada, lalu memiringkan kepala dengan gaya penuh tantangan.
“Barang yang mana nih?” tanya Senina dengan nada tajam, matanya menyipit seolah ingin menguliti Rajendra lewat tatapan. “Emang masih ada di sini, Jendra? Setahu gue, semua barang lo udah dikeluarin dari kamar sejak lo cabut ... ehm, atau jangan-jangan harga diri lo kali ya yang ketinggalan?”
Tatapan menyeringai itu menghantam langsung seperti cambuk. Bibir Senina tertarik ke atas membentuk senyum mengejek yang dingin, memuakkan, seolah benar-benar menikmati setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Udara di sekitar mereka seolah menegang. Waktu sejenak melambat. Tapi Aruni tetap berdiri di sisi Rajendra dengan tenang.
Bahunya tegak, ekspresi wajahnya tidak berubah sedikit pun. Tak ada rasa gentar, tak ada keterkejutan. Justru sorot matanya kini menajam, beralih dari menatap rumah ke arah sosok perempuan itu.
Hasrat untuk menjahit bibir Senina terasa begitu kuat di dada Aruni. Bukan karena sakit hati atas kata-kata itu, tapi karena amarah yang timbul melihat seseorang berbicara sedemikian rendah kepada Rajendra, lelaki yang selama ini diperlakukan seolah tak punya nilai oleh keluarganya sendiri.
Sementara itu, Rajendra masih terdiam. Namun dagunya perlahan terangkat, sorot matanya kini dingin dan dalam.
Bukan karena emosi, bukan karena terguncang, melainkan karena dia tahu, dia tidak perlu membalas semua itu dengan kemarahan. Kadang, keteguhan sikap adalah jawaban paling menampar.
Dengan suara datar, namun penuh penekanan, Rajendra akhirnya membuka mulut.
“Gue nggak lagi cari masalah sama cewek caper kaya lo, jadi minggir,” ucapnya singkat, namun berwibawa. “Gue mau lewat.”
Nada suaranya tidak meninggi, tapi cukup kuat untuk memerintah. Sebuah isyarat jelas bahwa dia tidak akan mundur atau mengalah hari ini.
Namun seperti yang diduga, Senina tak mudah diam. Dia mendengus pelan, lalu menoleh dengan wajah setengah menantang.
“Bodo! Kalau gue yang mau nyari masalah, giman-”
Baru saja kata-kata itu hendak menyambung, ketika terdengar satu suara lain menerobos udara dengan keras, lantang, dan jelas tidak bisa diabaikan.
“SENINA!!”
.
.
Bentakan berat itu bergema, memotong suasana tegang di teras rumah. Dari arah dalam, langkah kaki terdengar mendekat, mantap, berat, penuh kuasa.
Tak lama kemudian, muncullah seorang pria paruh baya. Tubuhnya masih tegap meski usia telah menorehkan garis-garis halus di wajahnya dan menyapukan uban di sisi pelipis.
Dengan kemeja putih rapi dan celana panjang berwarna gelap, pria itu berdiri di depan pintu seperti seorang tuan rumah sejati. Tapi di balik tampilannya yang berwibawa, ada kesan kaku dan dingin yang tidak bisa sepenuhnya ia sembunyikan.
Tatapannya menajam saat tertuju pada Senina, penuh teguran keras.
"Jangan pernah bicara seperti itu lagi," ucapnya tegas. "Apalagi di depan tamu."
Nada suaranya berat, memberi tekanan lebih pada kata tamu, seolah mengingatkan Senina bahwa saat ini mereka tidak hanya sedang berhadapan dengan Rajendra, si anak tiri yang selama ini diremehkan, melainkan juga dengan Aruni, istri Rajendra, yang mereka tahu berasal dari keluarga kaya dan terpandang.
Senina, yang tadinya galak, kini memilih diam. Diaa menunduk sambil menggeserkan tubuhnya ke samping, membiarkan jalan terbuka.
Setelah menegur Senina, pria itu berbalik menatap Rajendra. EkspresiNya berubah drastis, senyuman lebar tersungging di wajahnya, terlalu dibuat-buat hingga sulit menyembunyikan kepalsuannya.
"Rajendra," sapanya dengan nada yang dibuat seramah mungkin. "Akhirnya kamu datang juga."
Sorot mata Rajendra tetap datar, dingin. Dia tahu benar, keramahan ini hanya topeng. Dulu, saat dia tak berdaya, pria ini tak segan menghinanya, mengusirnya, dan memperlakukannya lebih buruk dari orang luar.
Tapi sekarang, karena Aruni berdiri di sampingnya, sang istri yang berasal dari keluarga kaya, semua itu mendadak berubah.
Pria paruh baya itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada Aruni. Senyumannya semakin melebar, matanya tampak berbinar, seolah bertemu tamu kehormatan.
"Ah iya, Nak Runi bagaimana kabarnya? Semoga sehat ya," ujarnya dengan nada bersahabat. "Selamat datang di rumah ini, semoga kamu betah dan Papa harap tidak ada yang berubah meski suamimu bukan Bagas ya."
Aruni membalas dengan senyum sopan dan sedikit membungkukkan badan, tetap menjaga sikap meski hatinya menangkap keganjilan dari caranya berbicara.
"Ayo masuk, jangan berdiri di luar," lanjut pria itu sambil memberi isyarat dengan tangannya, mempersilakan mereka masuk seolah benar-benar menyambut dengan tulus. "Kebetulan kalian datang, Om Reno baru pulang dari Medan, bawa oleh-oleh banyak ... ayo kita nik-"
"Tidak perlu, Pa, aku datang cuma untuk mengambil barangku saja." Rajendra memotong pembicaraan papa tirinya lantaran terlalu muak.
Biasanya, Rajendra akan berakhir ditampar jika berani melakukan hal itu. Namun, kali ini justru berbeda dan tidak ada kemarahan di sana. "Loh kok begitu? Minimal makan dulu."
"Tidak usah, bukankah Papa bilang sebutir beras yang Papa cari akan jadi haram jika masuk ke dalam perutku?"
.
.
- To Be Continued -
KK Desi thanks ya punya semoga KK sehat selalu🤲 di tunggu punya