naya menbeci atasan nya yang bernama raka tapi berujung jadi jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsifa nur zahra u, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33 * satu atap banyak mata *
Hidup satu atap dengan Raka ternyata tidak seintens yang kubayangkan atau mungkin justru lebih. Intens bukan karena drama, tapi karena ritme hidup yang pelan-pelan kami bangun bersama. Dari kebiasaan kecil seperti siapa yang nyalain mesin kopi duluan, sampai rebutan playlist pagi hari yang anehnya selalu dimenangkan Raka karena dia tahu aku nggak bisa nolak lagu lawas.
Tapi hari ini, suasana terasa sedikit berbeda. Sejak pagi Raka tampak gelisah. Dia diam cukup lama saat mengaduk kopinya, matanya menatap layar ponsel dengan kening mengernyit.
“Ada masalah di kantor?” tanyaku pelan, duduk di seberangnya dengan rambut masih setengah basah.
“Sedikit,” jawabnya tanpa melihatku. “Ara mulai main halus.”
Aku membeku sesaat. Nama itu kembali menghantam seperti palu di kepala. Ara. Mantan tunangannya yang nyaris jadi istrinya. Wanita yang muncul lagi setelah bertahun-tahun, dan kini bekerja di kantor pusat, divisi legal.
“Apa yang dia lakukan?”
Raka mengangkat bahu. “Belum jelas. Tapi dia mulai banyak interaksi dengan orang-orang HR. Dan aku denger dia nanya-nanya soal timeline hubungan kita.”
Aku meneguk kopiku cepat. Rasanya pahit.
“Dia cari celah pelanggaran etika?”
“Mungkin,” kata Raka serius. “Dan Adit juga makin aktif. Aku dapet kabar dia beberapa kali datang ke divisi kamu. Alasan formal, tapi nadanya personal.”
Aku menggigit bibir. Adit mantan yang tak pernah benar-benar selesai. Dia yang pernah menyakitiku, lalu mendadak kembali saat tahu aku bahagia.
“Jadi kita?” tanyaku pelan. “Harus waspada?”
Raka menatapku untuk pertama kali pagi ini, dan meraih tanganku. “Nay, kita nggak salah. Tapi mereka akan bikin seolah kita salah dan aku nggak mau kamu yang kena duluan.”
“Jadi, kita apa?” ulangku.
Dia menghela napas. “Kita susun strategi. Tapi untuk itu, kita harus lebih kuat dari sebelumnya.”
Aku menatapnya dalam-dalam. “Aku nggak takut , selama kamu jujur aku ikut.”
Raka tersenyum. “Aku selalu jujur. Bahkan soal rasa yang makin gila ke kamu tiap hari.”
Kalimatnya seharusnya cheesy, tapi entah kenapa, pagi itu rasanya seperti pelindung yang kupeluk erat.
*
Kantor hari itu terasa penuh tatapan. Sejak kabar hubungan kami terungkap, suasana memang berubah. Ada yang mendukung, ada yang mencibir, dan tentu saja… ada yang mengincar.
“Nay,” suara Mira, rekan satu timku, memanggil saat aku kembali dari pantry. “Tadi Adit ke sini nyari kamu.”
Aku menegang. “Ngapain?”
“Katanya pengen diskusi soal proyek lama. Tapi terus nanya kamu udah makan siang atau belum.”
Aku memutar mata. “Masih kayak gitu ya?”
“Lebih. Dan… kamu harus lihat ini,” katanya, lalu menyerahkan ponsel.
Sebuah screenshot percakapan grup karyawan terbuka. Di dalamnya ada pembahasan ‘hot couple’ di kantor, dengan foto siluet seseorang di lobi yang mirip aku dan Raka berpelukan.
“Dari CCTV?” tanyaku pelan.
“Entah. Tapi kalau tersebar, bisa jadi masalah.”
Aku mengangguk, mencoba tenang, walau jantungku berdebar tak karuan. Seseorang sedang mencoba menjatuhkan kami dari balik layar. Dan aku bisa menebak siapa.
*
Malam harinya, aku dan Raka duduk di balkon apartemen, dengan angin malam membelai pelan.
“Kita bisa cabut dari kantor,” kataku pelan. “Atau pindah divisi lagi.”
Raka menggeleng. “Itu artinya kita kalah. Aku lebih milih kita hadapi bareng.”
Aku menatapnya. “Dan kalau mereka cari hal lain? Masa lalu? Masalah keluargamu?”
Dia diam sejenak. “Aku siap buka semuanya, Nay. Aku udah terlalu jauh untuk mundur. Aku sayang kamu… lebih dari yang bisa aku ungkap.”
Aku terdiam. Kata-katanya bukan sekadar kalimat manis. Ada bobot di sana. Ada luka, ada niat untuk melindungi.
Dia meraih wajahku, menyentuh pipiku dengan ibu jarinya.
“Kalau aku bilang, kita mulai siapkan segalanya untuk kehidupan baru… kamu mau?”
“Maksudmu?”
“Pindah. Hidup lebih bebas. Nikah kalau kamu siap. Meninggalkan semua tekanan ini. Tapi… bareng aku.”
Aku menatapnya lekat-lekat. “Raka…”
“Jangan jawab sekarang,” potongnya lembut. “Tapi pikirin. Aku serius. Aku pengen bangun pagi dan liat kamu tiap hari, tanpa harus ngumpet-ngumpet dari aturan kantor.”
Hatiku bergemuruh. Bukan karena takut, tapi karena rasanya terlalu indah untuk jadi nyata.
*
Keesokan harinya, suasana kantor seperti biasanya tapi aku bisa merasakan tekanan itu. Tatapan yang terlalu lama, bisik-bisik kecil yang terhenti saat aku lewat. Seperti berjalan di atas lantai yang retak tapi tak terlihat.
Aku mencoba fokus di meja kerjaku. Tapi pikiran tentang Ara, Adit dan percakapan tadi malam bersama Raka terus mengusik.
Pindah, Menikah , Memulai dari awal , Tawaran itu terasa manis… tapi juga menakutkan.
“Naya.”
Suara maskulin itu membuatku mendongak. Adit berdiri di depan meja, senyumnya hangat tapi matanya… menilai.
“Kamu sibuk?” tanya adit
“Sangat.” jawabku ketus
Dia tertawa kecil, lalu duduk tanpa diundang di kursi kosong di depanku. “Aku cuma mau ngobrol sebentar , santai aja nhgak usah tegang gitu.”
Aku menatapnya datar. “Kamu mau apa, Dit?”
“Cuma nostalgia sedikit,” katanya enteng. “Kita dulu pernah hampir kayak mereka, ya. Kamu dan Raka sekarang.”
Aku mengerutkan alis. “Maksudmu?”
“Yah, pasangan favorit kantor. Tapi kayaknya kalian lebih nekat, ya. Satu apartemen?”
Aku mencengkeram bolpoinku. “Itu bukan urusanmu.”
“Tentu bukan.” Dia tersenyum. “Tapi kantor ini… punya aturan dan banyak yang mulai gerah dengan kalian.”
Aku bangkit berdiri, mendekatkan wajahku ke arahnya. “Kalau kamu mau main kotor dit, pastikan kamu nggak punya noda. Karena aku ingat betul kamu dulu juga punya hubungan di kantor ini. Bahkan dengan atasan kita dulu.”
Senyumnya menghilang , matanya menyipit tapi aku tak mundur.
“Pulanglah ke tunanganmu. Jangan ganggu aku lagi,” kataku dingin, lalu berjalan pergi meninggalkannya yang masih terdiam di tempat.
*
Sore itu, Raka menjemputku di lobi. Kami tak banyak bicara sampai masuk mobil. Tapi aku tahu, dia sudah dengar tentang Adit.
“Dia nyamperin kamu?”
Aku mengangguk.
“Apa dia ancam kamu?”
“Secara halus.”
Raka mengencangkan rahangnya. “Dia nggak bisa terus ganggu kamu. Aku bisa laporin ini secara formal.”
“Tunggu dulu. Kita butuh strategi, bukan sekadar emosi.” kataku
Dia menoleh padaku, kali ini dengan sorot kagum. “Kamu makin berani, ya.”
Aku tertawa kecil. “Salah siapa aku jadi begini?”
“Kalau kamu jadi lebih kuat karena aku… itu hal terbaik yang pernah aku lakukan.”jawab raka
*
Malam itu, kami tidak banyak bicara. Tapi komunikasi kami terasa lebih dalam lewat sentuhan, pelukan, dan akhirnya… ciuman yang panjang di sofa ruang tengah, seperti ingin menegaskan bahwa kami masih di sini bersama , Meski badai datang.
Raka menciumi setiap jengkal kulitku dengan sabar, seolah menghapus semua rasa takut. Tangannya menelusuri punggungku perlahan, sementara bibirnya tak berhenti membisikkan betapa aku berarti untuknya.
“Naya,” desahnya di sela napas kami yang berat. “Kalau kita harus pergi… kamu ikut, kan?”
Aku menatap matanya yang kini redup oleh hasrat dan rasa cinta. “Iya. Aku ikut.”
Dan malam itu, untuk kesekian kali, kami menyatu dalam gelombang perasaan yang campur aduk antara cinta, rasa takut, dan keberanian.
*
Keesokan paginya, saat membuka email kantor, sebuah subjek mencolok langsung membuat jantungku mencelos:
“Tindakan Investigasi Etik Panggilan Klarifikasi”
Tanganku gemetar saat membuka isi email. HR menjadwalkan pertemuan formal denganku bukan bersama Raka, tapi aku sendirian.
“Kamu juga dapet?” tanyaku saat Raka masuk ruang makan.
Dia mengangguk perlahan. “Tapi aku diminta hadir besok Kayaknya mereka pengen pisahin dulu.”
Aku menatapnya, panik. “Ini udah sejauh itu?”
“Tenang, sayang. Aku udah siapkan semua dokumen, semua timeline mereka nggak akan punya celah.”
Tapi aku tahu… sistem bisa dipelintir. Dan kalau seseorang seperti Ara berada di belakang ini semua hasilnya bisa tak terduga.
“Kalau aku dikeluarin, atau dipindah secara paksa…” kataku pelan.
“Aku akan ikut kamu. Kemana pun.” jawab raka tegas
g bertele-tele 👍👍👍👍👍
😘😘😘😘😘😘
gmn klo a ny jdi e😩😩😩😩