Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Masa Lalu Pilihan Mertua
Hari ini, genap seminggu setelah persidangan perceraian pertama yang berakhir tanpa kesepakatan. Hari ini, sidang lanjutan kembali digelar.
Namun, baik Diva maupun Arman sama-sama tidak hadir pada sesi awal Diva menunjuk kuasa hukumnya untuk mewakili, sementara Arman beralasan ada rapat penting di kantornya.
Kini, selang seminggu sidang terakhir telah tiba.
Sejak pagi, Diva sudah bersiap dengan kakaknya, abangnya, dan pengacaranya.
Sementara itu, di rumah Arman, Bu Susan terus saja membujuk agar Arman tidak menyerah dan mempertahankan pernikahan mereka. Ia berulang kali meyakinkan Arman bahwa Diva tidak akan punya cukup bukti untuk memenangkan perkara ini.
Begitu tiba di pengadilan dan memasuki ruang sidang, Bu Susan dan Arman tak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka saat melihat Diva hadir lengkap, didampingi pengacaranya. Wajah tegas Diva menunjukkan bahwa ia telah siap.
Proses di dalam ruang sidang berjalan sebagaimana mestinya hakim memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak Diva, mendengarkan keterangan para saksi yang dibawa oleh Diva, serta membacakan isi gugatan perceraian.
Akhirnya, setelah melalui seluruh tahapan dan tidak ditemukannya titik damai antara kedua belah pihak, hakim pun memutuskan Perceraian dikabulkan.
Putusan resmi dibacakan di hadapan semua yang hadir, menandai berakhirnya ikatan pernikahan antara Diva dan Arman.
Suasana di ruang sidang mendadak hening begitu hakim mengetukkan palu dan mengumumkan putusan.
Diva menghela napas panjang, seolah semua beban berat yang selama ini ia pikul akhirnya sedikit terlepas. Di sampingnya, kak Dira dan Reza memberikan dukungan dengan tatapan penuh bangga.
Bu Susan tampak pucat pasi. Ia tidak percaya semua usahanya untuk mempertahankan pernikahan Arman sia-sia begitu saja. Tangannya mengepal di pangkuan, matanya tajam memandang ke arah Diva, penuh amarah yang tak mampu ia luapkan.
Arman sendiri hanya tertunduk lesu. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Semua egonya, rasa sombongnya, kini terhempas begitu saja. Ia sadar, apa yang selama ini ia anggap remeh, kini berbalik menjadi hantaman telak untuk hidupnya.
Diva bangkit perlahan dari kursi, mengangguk hormat kepada hakim, lalu berjalan keluar ruang sidang dengan langkah mantap. Tidak ada air mata, tidak ada ragu hanya keteguhan hati yang membalut seluruh dirinya.
Bu Susan yang melihat kepergian Diva hanya bisa menggerutu pelan, "Wanita kurang ajar...!"
Namun, bagi Diva, semua hinaan itu sudah tidak berarti apa-apa lagi.
Hari itu, ia akhirnya bebas. Bukan hanya dari pernikahan yang menyakitkan, tapi juga dari semua tekanan dan penindasan yang selama ini membelenggunya.
Di luar ruang sidang, udara terasa lebih ringan. Diva menatap langit sejenak, menghirup dalam-dalam, lalu tersenyum kecil.
Akhirnya... aku benar-benar merdeka.
Keluar dari gedung pengadilan, langkah Arman terasa berat, seolah setiap pijakan menambah beban di pundaknya.
Bu Susan berjalan cepat di sampingnya, wajahnya merah padam karena marah yang ditahan-tahan.
"Ini semua salah kamu, Man!" hardiknya dengan suara bergetar. "Kalau kamu dulu nurut sama ibu, gak bakal begini jadinya!"
Arman hanya diam. Mulutnya terkunci rapat. Dadanya sesak, kepalanya pening. Semua omelan ibunya seperti masuk dari telinga kanan, keluar dari telinga kiri, tanpa mampu ia cerna lagi.
Mobil mereka terparkir di seberang jalan. Dengan langkah tergesa, Bu Susan masuk ke dalam, membanting pintu keras-keras. Arman menarik napas panjang sebelum menyusul.
Sepanjang perjalanan pulang, suasana di dalam mobil mencekam. Tak ada suara selain deru mesin dan desahan napas berat.
Sesekali Bu Susan mendesis kesal, "Dasar wanita kurang ajar! Sudah dikasih hidup enak, malah berani-beraninya ninggalin anak ibu!"
Arman menatap kosong ke depan.
Bayangan Diva dengan senyumnya yang tenang saat keluar dari sidang terus terputar di benaknya.
Sekarang semua sudah terlambat.
Tak peduli seberapa keras ia mengingkari, hatinya tahu: Diva sudah benar-benar pergi dari hidupnya.
Mobil melaju di bawah langit yang mendung, seolah turut meratapi kehancuran sebuah rumah tangga yang tak lagi bisa diselamatkan.
Saat mobil berhenti di depan rumah, suasana makin terasa berat.
Pagar tua berdecit saat Arman membukanya. Rumah yang biasanya terasa ramai, kini justru sunyi, seolah ikut menyerap kegelisahan tuannya.
Bu Susan turun lebih dulu, langkahnya cepat, penuh amarah yang belum padam.
Dengan gerakan kasar, ia membuka pintu rumah, membiarkannya terbanting ke tembok.
"Masuk, Man! Masuk!" bentaknya tanpa menoleh.
Arman menurut, menyeret kakinya ke dalam.
Begitu pintu ditutup, Bu Susan langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa, wajahnya muram, matanya memerah entah karena marah atau kecewa.
"Ini semua salahmu," gumamnya lagi, suaranya kali ini lebih lelah daripada marah. "Ibu sudah capek, Man... capek mempertahankan semua ini sendirian."
Arman berdiri mematung di ruang tamu, pandangannya kosong.
Rumah itu kini terasa terlalu besar, terlalu hampa.
Tak ada lagi tawa Diva yang dulu menghidupkan suasana.
Tak ada lagi aroma masakan yang dulu menyambutnya pulang.
Yang tersisa hanya diam... dan rasa bersalah yang menggantung berat di udara.
Ia menunduk, menahan napas dalam-dalam.
Baru sekarang ia menyadari—kehilangan Diva adalah kehilangan sebagian dari dirinya sendiri.
Di sudut ruangan, jam berdetak pelan, seolah mengingatkan bahwa waktu terus berjalan, tak menunggu siapa pun.
Sedangkan Arman dan Bu Susan... hanya bisa terjebak dalam penyesalan yang pahit.
Pukul tujuh malam, pintu rumah terbuka.
Raya melangkah masuk dengan penuh semangat, tas kerja masih tersampir di bahunya. Ia sudah tak sabar ingin mendengar kabar tentang hasil sidang hari ini.
Namun langkahnya melambat ketika melihat Arman.
Di ruang tengah, Arman duduk membungkuk di sofa, wajahnya suram, mata kosong menatap lantai seolah kehilangan arah.
Raya mengernyit.
"Bang, gimana hasil sidangnya?" tanyanya tak sabar, suaranya sedikit meninggi.
Arman mengangkat wajahnya perlahan. Ada gurat kelelahan di sana, ada sesal yang begitu kentara.
Tanpa menjawab, ia hanya menghela napas berat dan menunduk lagi.
Raya mendekat, berdiri di depannya.
"Bang! Aku tanya, gimana hasilnya?" desaknya, kini suaranya terdengar lebih tajam.
Arman akhirnya bersuara, pelan, nyaris berbisik,
"Diva... kami resmi bercerai, Ray."
Raya tercekat sejenak.
Skenario yang ia inginkan sebenarnya terjadi, namun entah kenapa, melihat Arman seperti ini, ada rasa aneh yang mengendap di hatinya.
"Bagus dong! Sekarang kamu bisa fokus sama aku," ucap Raya cepat, menutupi kegugupannya.
Tapi Arman hanya diam, matanya sayu, seolah tak mendengar apa pun.
Kehilangan itu terlalu nyata, dan luka itu terlalu dalam untuk bisa ditutupi oleh kata-kata kosong.
Di sudut ruangan, Bu Susan hanya mengamati dari jauh, diam-diam menyimpan amarah dan kekecewaan yang mulai meletup di dadanya.
Malam itu, rumah itu bukan lagi tempat berteduh melainkan ladang sunyi tempat semua hati remuk perlahan.
Malam itu, meja makan terasa lebih dingin dari biasanya.
Raya, Arman, dan Bu Susan duduk dalam diam, hanya terdengar suara sendok beradu dengan piring.
Tidak ada obrolan ringan, tidak ada canda tawa, hanya keheningan yang menusuk.
Arman menunduk dalam, sesekali hanya menyuapkan makanan ke mulutnya tanpa rasa.
Bu Susan sesekali meliriknya dengan tatapan tajam, kecewa, marah, namun tak berkata apa-apa.
Raya, yang biasanya bersemangat, kini juga makan dengan serba salah.
Ia mencoba memulai percakapan,
"Bang, besok kamu kerja kan?"
Suaranya pelan, hampir ragu.
Arman hanya mengangguk kecil tanpa menoleh.
Jawaban yang membuat suasana semakin sesak.
Bu Susan akhirnya membuka suara, ketus,
"Liat tuh, gara-gara satu perempuan, rumah ini kayak kuburan."
Raya menghela napas, mencoba menahan diri, sementara Arman menahan sakit di dadanya yang makin menyesakkan.
Suasana makan malam itu berakhir dengan cepat.
Piring-piring kosong dibawa ke tempat cuci piring tanpa sepatah kata lagi.
Yang tersisa hanyalah udara berat yang mengambang di antara mereka bertiga seperti luka yang tak bisa sembuh dalam semalam.
lanjut author..💪💪