Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
memilih tidak menyerah
Laras duduk terpaku di ruang tamu apartemen miliknya yang dia beli setelah menikah dengan Bayu dan tentu saja dibantu oleh ibunya, namun pagi itu keindahan interior serba putih itu terasa dingin dan menyesakkan. Wajahnya pucat, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Di hadapannya, layar ponsel menyala lagi—nama “Pak Darmawan” muncul untuk keempat kalinya pagi ini.
Tangannya gemetar saat mengangkat.
“Selamat pagi, Bu Laras,” suara Pak Darmawan terdengar ramah namun tegas. “Saya hanya mengingatkan. Sesuai kesepakatan, sisa pembayaran ruko sebesar 200 juta harus dilunasi hari ini.”
“Pak... saya masih usahakan. Mohon beri waktu dua hari lagi,” suara Laras nyaris tercekat.
“Saya sudah memberi tenggat dua hari. Bila hari ini belum dilunasi, saya akan anggap Anda wanprestasi, dan BPKB Anda akan saya proses ke notaris,” ujar Pak Darmawan dingin.
Klik.
Telepon ditutup.
Laras menunduk, memegangi kepalanya. Dunia seperti berputar. Tak ada uang. Mobil sudah dijaminkan. Usaha belum juga jalan. Dan satu-satunya orang yang seharusnya mendukungnya—suaminya sendiri—malah...
Di ujung sofa, Bayu duduk santai, sibuk menatap layar ponsel, seolah tak ada badai di rumah mereka.
"Mas, gimana sekarang untuk membayar kekurangannya?" tanya Laras, suaranya sarat harap.
Bayu mendengus. “Ya itu urusan kamu lah. Aku mana ada uang sebanyak itu.”
Laras menatapnya tak percaya. “Kalau Mas nggak ada uang, kenapa beli ruko semahal itu?!”
“Brisik kamu ya!” Bayu mendongak marah. “Kalau kamu nggak bisa lunasin hutang itu, kamu mau aku dipenjara karena pasal penipuan?!”
Laras berdiri, napasnya memburu. “Sekarang aku pusing cari uang dari mana! Masa aku harus kehilangan semua mobilku?!”
“Mobil kamu kan banyak! Buat apa kamu kaya kalau nggak bisa nyelamatin aku dari penjara?” balas Bayu tajam.
Laras mengerang, hatinya remuk. “Kenapa kita jadi sebodoh ini gara-gara wanita kampungan itu? Kenapa juga kita negosiasi di notaris, bukan di rukonya langsung?!”
Bayu melempar ponselnya ke meja, berdiri. “Tahu nggak, kamu itu bikin aku makin pusing! Kalau kamu nggak sanggup bayar ruko itu, lebih baik aku pulang ke rumah orang tuaku!”
Laras menatap Bayu dengan mata merah. Bayu seperti itu selalu membebankan masalah kepadanya kadang dia merasa bukan punya suami tapi punya anak kecil yang harus dipenuhi semua keinginannya.
---
Tidak ada jalan lain. Laras harus meminta bantuan ibunya.
Dengan hati berat, ia mengendarai mobil pribadinya ke rumah sang ibu. Sementara itu, Bayu dengan enteng membawa mobil Avanza—yang dibeli dari hasil jerih payah Laras—seolah itu milik pribadinya.
“Kenapa Bayu selalu seperti itu?” batin Laras lirih, matanya menatap jalanan kosong. “Aku ini seperti ATM berjalan buatnya… Tapi kenapa aku masih mencintainya?”
Ia berhenti di depan rumah megah milik ibunya, Sofia. Dulu, rumah ini juga rumah masa kecil Laras. Tapi sejak menikah, Laras jarang pulang. Ia terlalu bangga, terlalu gengsi, dan terlalu ingin membuktikan bahwa hidupnya baik-baik saja bersama Bayu. Namun kenyataannya, berapa kali ia sudah meminjam uang dari ibunya? Bahkan ia sendiri sudah tak ingat kapan bisa mengembalikannya.
Laras turun dari mobil. Dengan langkah pelan, ia menuju pintu, menekan bel, lalu masuk begitu dibukakan pembantu.
Sofia sedang duduk di sofa ruang tengah, membaca majalah.
“Ma...” suara Laras pelan. “Aku butuh bantuan.”
Sofia menurunkan majalahnya, menatap Laras dari ujung kaki hingga kepala. “Bantuan apa lagi, Laras? Mama sudah bantu mobil, cicilan apartemen... sekarang apa lagi?”
“Aku butuh 200 juta, Ma. Hari ini juga. Kalau nggak, ruko itu disita. Mobilku pun ikut hilang.”
Sofia mendengus. “Masih main bisnis-bisnisan sama suamimu itu? Maaf, Mama nggak punya uang sebanyak itu.”
“Ma, tolonglah,” suara Laras meninggi. “Ini serius!”
“Serius buat kamu, bukan buat Mama. Kamu yang nikah sama Bayu. Kamu yang tanggung. Dari dulu Mama udah bilang: dia itu ambisius tapi bodoh.”
“Jangan hina suami aku, Ma! Apa Mama udah nggak sayang sama Laras lagi?!”
Sofia berdiri dengan cepat. “Jangan ajari aku soal sayang! Aku ini ibumu! Tapi kamu datang-datang ngemis uang terus! Kamu pikir uang Mama pohon di halaman?!”
Tangan Laras terangkat, spontan karena amarah dan keputusasaan.
“CUKUP!!” suara berat menggema.
Lukman muncul dari lantai atas. Kakak Laras itu berjalan cepat dan berdiri di antara mereka.
“Kamu udah gila, Ras?! Sedikit lagi kamu tampar Mama, aku yang tampar kamu balik!”
“Bang, aku—”
“Kamu berubah sejak nikah sama laki-laki nggak modal itu! Kalau dia nggak bisa biayai kamu, tinggalkan! Jangan datang ke sini kayak pengemis!”
Laras membeku, lalu terisak. Ia meraih tasnya dan pergi. Hanya isakan tertahan dan langkah gemetar yang tersisa di rumah mewah itu.
---
Sementara itu, di apartemen sederhana mereka, Bayu mondar-mandir di teras.
“Brengsek!” umpatnya sendiri. “Kenapa aku bisa ketipu sama perempuan kampung itu?! Santi! Akan kuhancurkan usahamu! Kamu harus menderita! Kamu nggak pantas sukses!”
Ia menendang kursi plastik hingga terpental. Pintu terbuka. Laras muncul dengan wajah pucat dan mata sembab.
“Mas, kenapa apartemen berantakan begini?” tanyanya kaget.
Bayu membalikkan badan. “Laras! Mana uangnya?! Katanya dua hari?!”
Laras menunduk. “Gagal. Mama nggak mau bantu.”
Bayu mengepalkan tinju, memukul tembok. Tapi ia hanya diam. Tak ada yang bisa dikatakan saat semua rencana mereka runtuh—oleh seorang perempuan yang dulu mereka remehkan.
---
Santi berdiri di lantai tiga ruko barunya yang kini resmi menjadi miliknya. Selama tiga hari terakhir, ia bekerja siang malam memindahkan seluruh perlengkapan dari tempat lama ke sini. Bukan untuk membangun restoran mewah, tapi sebuah pusat komunitas yang ia sebut “Pojok Ojol”—tempat singgah bagi para pengemudi ojek online yang selama ini menjadi ujung tombak usahanya.
Tak ada yang menyangka bangunan kecil tiga lantai itu adalah tempat usaha. Dari luar, ruko itu lebih mirip pangkalan ojek daripada bisnis kuliner. Di halaman luasnya, Santi membangun gazebo-gazebo sederhana lengkap dengan colokan listrik, dispenser air galon, dan termos kopi gratis. Di pojok lain, ada rak kecil berisi charger, helm bekas, hingga jas hujan hasil donasi.
“Biar kelihatan kayak basecamp, bukan resto,” gumam Santi waktu merancangnya. Ia ingin tempat ini bukan sekadar tempat ambil pesanan, tapi rumah kedua bagi para driver ojol yang selama ini setia membantu usahanya bertahan.
Dari lantai tiga, ia melihat kesibukan di bawah sana. Para driver mondar-mandir, ada yang beristirahat sambil menyeruput kopi, ada yang mengecek aplikasi sambil bercanda. Tidak ada pelayan berseragam, tidak ada papan menu. Hanya semangat saling bantu dan senyum hangat dari mereka yang terbiasa hidup di jalanan.
Ponselnya berdering. Nama “Pak Darmawan” tertera di layar.
“Bu Santi, ini saya Darmawan,” suara ramah menyapa. “Saya cuma mau mengucapkan terima kasih. Ruko yang saya tawarkan seharga 100 juta ternyata terjual 400 juta karena Ibu. Saya merasa tidak enak. Boleh saya transfer sedikit sebagai bentuk apresiasi?”
Santi tertawa pelan. “Terima kasih, Pak. Tapi saya nggak bisa menerimanya.”
“Tapi, Bu—”
“Kalau Bapak mau balas kebaikan, tolong sumbangkan saja ke panti asuhan atau beli jas hujan untuk driver. Itu lebih bermanfaat.”
Hening sejenak. Lalu Darmawan menjawab dengan suara tergetar, “Baik, Bu. Saya akan lakukan itu.”
Santi menutup telepon, menghela napas panjang. Air matanya menetes. Ia tak pernah menyangka akan sampai ke titik ini. Diusir, dihina, dituduh sebagai beban. Dulu ia bahkan tak tahu harus tinggal di mana. Tapi sekarang, ia punya ruko yang ia atur sesuai impian kecilnya: tempat aman dan nyaman untuk para pejuang jalanan.
Dan semua ini bermula dari satu obrolan malam dengan Nabil.
Malam itu, Nabil menceritakan sebuah drama Korea dengan penuh semangat. Alurnya, tokohnya, bahkan detail kecil pun diingatnya semua. “Ibu tahu? Tokoh utama di film itu balas dendam bukan dengan amarah, tapi dengan strategi,” ujar Nabil polos, membuat Santi terpaku.
Santi tahu, anaknya bukan anak biasa. Dan Santi bukan ibu biasa. Mereka adalah tim. Dari kekalahan mereka bangkit, dan membuktikan pada dunia bahwa memilih tidak menyerah adalah pilihan terbaik.
...
beri ulasan bintang 5
kalau tidak beri bintang 5 lebih baik jangan memberi ulasan..
mantap sekali bu laras..😘😘😘