Lestari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Naya dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Setelah drama pagi itu, suasana rumah kembali menjadi sepi. Semua orang mulai melanjutkan aktivitas harian mereka. Pak Cahyo, yang tak ingin terlibat dalam keributan, pergi ke sawah dengan langkah tenang. Si kembar pun bersiap untuk berangkat sekolah, meskipun suasana hati mereka masih dipenuhi ketegangan. Sementara itu, Teguh, meski hati masih sedikit bergejolak, berangkat bekerja ke pabrik, berusaha melupakan sejenak semua masalah yang ada di rumah. Masing-masing sibuk dengan rutinitas mereka, meski di dalam hati, ketegangan pagi itu masih membekas.
Bu Ayu? Jangan ditanya, pekerjaan sehari-harinya hanya duduk santai sambil menyuruh-nyuruh Tari yang tak pernah menolak. Namun, pagi itu berbeda. Bu Ayu memiliki jadwal mingguan yang tak pernah terlewatkan. Ia hendak menghadiri arisan di salah satu rumah temannya. Sebuah rutinitas yang selalu ia nanti-nantikan, di mana ia bisa bertemu dengan teman-teman sesama ibu rumah tangga, berbincang-bincang, dan tentu saja, menunjukkan diri sebagai sosok yang selalu terjaga posisinya di tengah-tengah lingkungan sosialnya.
Tari menghela napas lega saat melihat Bu Ayu bersiap-siap untuk pergi. Setidaknya, hari itu ia tidak perlu mendengar omelan nenek rombeng itu yang selalu membuat gendang telinganya sakit. Tari merasa sedikit lebih bebas, meskipun hanya sementara. Tanpa gangguan, ia bisa melanjutkan hari dengan tenang, meskipun ketegangan yang terjadi di rumah tadi masih mengganjal di pikirannya.
“Heh, kerjakan yang benar! Bersihkan rumah ini sampai benar-benar kinclong,” ujar Bu Ayu dengan nada sarkastis, sebelum melangkah pergi. “Kalau numpang tinggal, itu tahu diri sedikit, ya,” tambahnya tajam, meninggalkan udara penuh ketegangan di ruangan itu.
Lagi-lagi, Tari memutar matanya dengan ekspresi kesal yang begitu jelas, seolah ingin menunjukkan betapa bosannya ia dengan situasi ini. Ia bahkan hampir membuat matanya terlihat juling karena gerakan itu.
"Njeh, Kanjeng Mami," jawabnya dengan nada malas yang sengaja dilebih-lebihkan, membuat suasana semakin penuh dengan ironi.
Bu Ayu mendengus pelan, ekspresi wajahnya penuh dengan kejengkelan yang sulit disembunyikan. Namun, mengingat waktu yang sudah sangat mepet, ia memutuskan untuk mengabaikan tingkah menantunya. Tanpa sepatah kata lagi, Bu Ayu bergegas melangkah keluar rumah, meninggalkan keheningan yang sarat dengan ketegangan di belakangnya.
"Huuft, akhirnya bisa bebas juga dari omelan si Mak Rombeng itu," gumam Tari sambil menghembuskan napas panjang, mencoba meredakan kekesalannya. Ia melirik pintu yang baru saja tertutup, memastikan Bu Ayu benar-benar sudah pergi.
"Nasib, nasib," lanjutnya dengan nada pelan tapi penuh sindiran. "Punya mertua yang kejamnya mirip ratu Medusa. Satu tatapan aja udah bikin orang mati rasa," gerutunya sambil menggeleng pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
Tari pun bergegas menyelesaikan pekerjaannya, meski rasa lelah mulai terasa menjalari tubuhnya. Ia tahu, waktu tidak bisa menunggunya. Setelah semua ini selesai, ia masih harus mengurus pekerjaan sampingannya yang tak kalah menuntut perhatian.
Ada harapan besar yang ia gantungkan pada pekerjaan remote itu. Bagi Tari, pekerjaan tersebut bukan sekadar tambahan penghasilan, melainkan juga peluang untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Di balik semua perjuangannya, terselip mimpi untuk bisa mandiri, terlepas dari bayang-bayang mertua yang sering membuatnya merasa terkekang.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, akhirnya Tari berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Ia menghela napas lega, lalu bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Air dingin yang menyentuh kulitnya seolah menghapus penat yang menumpuk sejak pagi.
Selesai mandi, Tari langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Rasa lelah memang masih tersisa, tetapi pikirannya mulai mengembara ke dunia imajinasinya. Dengan ponsel di tangan, ia mulai mengetik, menuliskan apa saja yang sedang berputar di kepalanya. Kata-kata mengalir begitu saja, membentuk cerita yang perlahan tumbuh dari potongan-potongan pikirannya. Bagi Tari, ini adalah pelariannya, ruang kecil di mana ia bisa bebas menjadi dirinya sendiri.
Di malam hari, suasana rumah mulai sunyi. Semua orang sudah kembali pulang ke kamar masing-masing untuk beristirahat, kecuali sang Kanjeng Mami. Mertua Mentari itu baru tiba di rumah pukul delapan malam, ketika jarum jam hampir mendekati angka sembilan.
Padahal, sejak pukul sembilan pagi tadi, wanita gempal itu sudah pergi entah ke mana. Tidak ada yang tahu pasti apa yang dilakukannya sepanjang hari, hingga membuatnya menjadi yang terakhir pulang. Tari hanya bisa menduga-duga dalam hati sambil mendengar suara langkah berat Bu Ayu di lorong rumah, memecah kesunyian malam yang hampir sempurna. "Apa sih yang dia lakukan seharian?" pikir Tari sambil memutar mata, merasa heran sekaligus enggan untuk tahu lebih jauh.
"Wuiiiih, Ibu bawa apaan tuh!" seru Sinta dengan antusias, sambil melirik tas besar yang dibawa Bu Ayu. Sinta, yang sedang duduk santai bersama anggota keluarga lainnya di ruang tengah, langsung berdiri, berusaha mengintip isi tas tersebut.
Di sudut ruangan, ada Tari yang juga berada di sana. Namun, tidak seperti yang lain, ia tidak ikut bergabung dalam obrolan santai itu. Sebagai istri Teguh, tugasnya seolah tiada habisnya. Kali ini, ia sedang sibuk melipat pakaian milik semua orang, tangannya bergerak terampil meski pikirannya melayang jauh. Sesekali, ia melirik ke arah keramaian itu, tapi hanya sekilas, sebelum kembali fokus pada tumpukan baju di depannya.
"Hmmm, drama apa lagi kali ini?" gumam Tari dalam hati, mencoba menahan rasa jengkel yang mulai muncul.
"Nih, ibu bawain pizza sama ayam KFC buat kalian!" kata Bu Ayu dengan nada penuh semangat, sambil meletakkan kantong belanja di meja ruang tengah. Wajahnya terlihat berseri-seri, senyum lebar mengembang, menampakkan betapa bahagianya ia malam ini.
"Tadi ibu menang arisan," lanjutnya dengan nada bangga. "Habis itu, ya jalan-jalan dulu ke mal sama teman-teman ibu. Seru banget, kalian tahu nggak, diskon di sana gede-gedean!" cerocosnya sambil tertawa kecil, seolah kemenangan arisan itu adalah pencapaian besar dalam hidupnya.
Wajahnya yang sumringah mencuri perhatian Sinta dan yang lainnya. Namun, di sudut ruangan, Tari hanya melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan tumpukan baju di pangkuannya. Dalam hati, ia menghela napas panjang. "Arisan lagi, gaya-gaya lagi," pikirnya sambil menahan komentar yang hampir keluar dari bibirnya.
"Waaahhh, enak nih!" Sinta berseru dengan penuh semangat, matanya langsung berbinar melihat kotak pizza dan kantong ayam KFC yang dibawa Bu Ayu. Dengan cepat, ia membuka kantong itu, tak sabar ingin menikmati makanan yang tampak menggiurkan. Dan taraaaaa, begitu ayam-ayam goreng itu terbuka, air liurnya langsung menetes begitu melihat montoknya paha dan sayap ayam yang terbalur tepung renyah.
Paha ayam yang garing di luar, empuk di dalam, ditambah dengan aroma yang menggugah selera, langsung membuat Sinta terpesona.
"Sangat menggugah selera!" serunya, sambil mengambil potongan ayam dengan cepat, matanya tak lepas dari makanan di hadapannya.
Sementara itu, di sudut ruangan, Tari hanya bisa tersenyum kecut. Ia teringat pada sup balungan yang dimasaknya tadi pagi—makanan sederhana yang dibuatnya dengan hati-hati. Berbeda sekali dengan ayam KFC dan pizza yang menggoda selera seperti ini. "Ah, beda dunia," pikirnya, sambil menunduk, kembali fokus pada pekerjaannya yang tak kunjung selesai.
"Yeeeee, akhirnya makan enak juga!" seru Sinta dengan wajah penuh kegembiraan, matanya berbinar seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Tanpa menunggu lama, ia langsung mengambil sepotong ayam goreng yang masih panas dan melahapnya dengan nikmat. Suara gigitan ayam yang renyah memenuhi ruangan, seolah mempertegas betapa lezatnya makanan itu.
Begitu pun yang lainnya, mereka semua ikut larut dalam suasana makan yang penuh keceriaan. Setiap potongan pizza dan ayam yang diambil disambut dengan ekspresi puas, seakan semua lelah seharian langsung terbayar dengan setiap suapan yang masuk ke mulut mereka.
"Loh, kok udah habis? Ibu cuma beli 5 potong ayam doang nih? Untuk Mbak Tari mana?" celetuk Bayu dengan nada sedikit heran, matanya melirik ke arah ayam goreng yang tinggal menyisakan tulang. Ia mencoba mengingatkan, tapi tak ada yang menanggapi serius.
Teguh dan yang lainnya malah asyik melanjutkan makan, menikmati setiap suapan ayam goreng dan pizza dengan wajah penuh kepuasan. Mereka tampaknya lebih tertarik pada hidangan yang ada di depan mereka daripada peduli dengan apa yang Bayu katakan.
Semangat thor