Setelah menikahi Ravendra Alga Dewara demi melaksanakan wasiat terakhir dari seseorang yang sudah merawatnya sejak kecil, Gaitsa akhirnya mengajukan cerai hanya dua bulan sejak pernikahan karena Ravendra memiliki wanita lain, meski surat itu baru akan diantar ke pengadilan setahun kemudian demi menjalankan wasiat yang tertera.
Gaitsa berhasil mendapatkan hak asuh penuh terhadap bayinya, bahkan Ravendra mengatakan jika ia tidak akan pernah menuntut apa pun.
Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan kehidupan masing-masing--seharusnya seperti itu! Tapi, kenapa tiba-tiba perusahaan tempat Gaitsa bekerja diakuisisi oleh Grup Dewara?!
Tidak hanya itu, mantan suaminya mendadak sok perhatian dan mengatakan omong kosong bahwa Gaitsa adalah satu-satunya wanita yang pernah dan bisa Ravendra sentuh.
Bukankah pria itu memiliki wanita yang dicintai?
***
"Kamu satu-satunya wanita yang bisa kusentuh, Gaitsa."
"Berhenti bicara omong kosong, Pak Presdir!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Nama
Gaitsa kembali mengunjungi apartement Ravasya karena wanita itu membawa Biyu pulang bersamanya. Padahal ia sudah bilang untuk menitipkannya pada salah satu perawat.
"Apa tidak masalah Ravasya membawa Biyu pulang?" tanya Ravendra saat mereka keluar dari lift, berjalan di koridor sebentar sebelum berdiri di depan pintu bertuliskan 1602 dan menekan bel.
"Sebenarnya aku lebih percaya Biyu bersama Ravasya daripada denganmu," jawab Gaitsa enteng, tersenyum cerah saat wanita yang sedang mereka bicarakan membuka pintu.
"Lembur lagi?" Ravasya menatap garang sang Kakak yang langsung melangkah masuk. Gaitsa mengikuti saat Ravasya menarik tangannya setelah mencibir pada Ravendra. "Sebenarnya kenapa kamu ikut-ikutan lembur, sih? Kudengar peraturannya ditiadakan untuk wanita yang memiliki bayi?"
"Tanyakan pada Kakakmu," jawab Qieisha singkat.
Wanita itu berjalan menuju kamar Luvia di mana putranya pasti berada. Gaitsa membuka pintu perlahan, senyumnya terukir melihat Biyu tertidur sambil tengkurap di keranjang bayi.
"Halo, sayangnya Mama." Gaitsa mengangkat tubuh kecil itu perlahan, mengecup pipi bulat yang sangat dirindukan.
Ravendra berdiri di ambang pintu, menyaksikan bagaimana wanita yang selalu tampil anggun dengan wajah datar dan penuh percaya diri, sedang tersenyum sangat lembut. Ia bersyukur Gaitsa tidak melemparkan rasa marahnya pada Ravendra ke anak mereka.
"Biar kugendong," ucap Ravendra ketika Gaitsa mendekat.
Gaitsa tidak pernah membayangkan adegan seperti ini. Membiarkan Biyu mengenal dan dekat dengan Ayah yang tidak bisa tinggal bersama mereka, membuatnya agak khawatir. Tapi ia tidak bisa melarang Ravendra menemui anak kandungnya. Rencananya untuk hidup hanya berdua dengan Biyu dan menjauhkan anak itu dari seluruh keluarga Dewara gagal total.
Ravendra berjalan ke luar kamar dengan Biyu di gendongan, mengabaikan tatapan jengkel dari sang Adik. Sejak Ravasya mengetahui Kakaknya melakukan hal sejahat itu pada Gaitsa, Ravendra sering sekali menerima tatapan tajam atau sindiran kejam darinya.
"Mau langsung pulang?" tanya Ravasya lembut saat Gaitsa juga mengekor di belakang Ravendra.
"Iya, sudah malam. Terima kasih untuk hari ini juga, Bu Dokter." Gaitsa tersenyum saat memeluk Ravasya.
***
"Mau mampir dulu?"
"Boleh?"
Gaitsa sempat terdiam di depan pintu apartementnya. Ia hanya berniat basa-basi, bukannya benar-benar menawarkan pria itu untuk mampir. Netra gelap wanita itu menatap binar coklat Ravendra. Melihat Biyu yang tidak terganggu dan masih terlelap di pelukan pria itu membuat Gaitsa mengangguk.
"Boleh," jawabnya seraya membuka pintu, menahannya saat Ravendra melangkah masuk. Gaitsa berjalan memasuki kediamannya tanpa menyadari kilat dari jepretan sebuah kamera.
Ravendra meletakkan Biyu di ranjang bayinya perlahan, tersenyum kecil saat anak itu tidak terusik. Pria itu mengedarkan pandangan pada suasana kamar yang rapi dengan warna putih gading dan coklat muda, sebuah rak buku berdiri di sudut ruangan bersebelahan dengan tanaman hias besar.
Pria itu menatap foto-foto yang terpajang di dinding dekat ranjang bayi. Jantungnya terasa diremat saat foto pernikahannya dan Gaitsa juga tergantung di sana. Netranya beralih pada foto-foto hasil USG selama masa kehamilan Gaitsa, juga foto saat wanita itu berperut besar. Senyumnya terpatri melihat wajah mungil Biyu yang baru lahir.
Kening pria itu berkerut saat membaca nama panjang putranya. Ragata Biyu Dewara. Ia sudah mendengar nama Biyu diambil dari salah satu karakter favorit Gaitsa dalam sebuah novel. Lalu Dewara adalah nama keluarga yang tidak Ravendra sangka akan disematkan di belakang nama putranya. Tapi, apa itu Ragata?
Tok! Tok!
Ketukan pelan itu membuyarkan lamunan Ravendra tentang nama bayinya. Pria itu menoleh saat Gaitsa berdiri di sisinya.
"Apa yang sedang kamu lihat?" tanyanya.
"Semua hal yang kulewati," jawab pria itu seraya kembali menatap foto-foto yang terpajang. "Aku penasaran dengan nama pertamanya. Dari mana Ragata berasal?" Ravendra menanyakan hal yang tadi dipikirkan tanpa melihat perubahan ekspresi wanita di sisinya.
"Abiyu Mahen Dewara," lirih Gaitsa menyebut nama yang jelas tidak disandang putranya. Ravendra menoleh mendengar kata Mahen, menelan ludah saat sebuah ide terlintas di benaknya.
"Tuan Mahendra--maksudku ayah ingin memberikan nama itu untuk cucunya seandainya kita menikah dan punya anak." Gaitsa menghela napas, mengingat bagaimana pria yang sudah membesarkan namun selalu menjaga jarak darinya itu menggenggam tangannya untuk pertama kali. "Aku tidak pernah berpikir bisa bercerai darimu dan bebas dari rumah itu, jadi saat situasinya berubah, aku hanya bisa menggantinya sedikit."
Ravendra mengernyit, "Abiyu diubah menjadi Biyu saja. Nama Dewara tetap ada meski kadang-kadang kamu menggantinya dengan nama belakangmu. Lalu Ragata? Sepertinya jauh berbeda dari Mahen?" tanyanya penasaran.
Wanita itu mengangguk, netranya menatap Biyu yang sedang tertidur pulas. "Menurutmu kata Ragata diambil dari apa?" Gaitsa balik bertanya.
Tidak tahu. Ravendra ingin menjawab seperti itu, sama ketika ia menghadapi pertanyaan yang dianggapnya tidak penting. Tapi entah sejak kapan, mungkin sebelum ia mengetahui identitas Biyu sebagai anak kandungnya, bayi tujuh bulan itu sudah mencuri atensinya.
Pria itu ikut menatap pada bayi yang bergerak sedikit sebelum kembali terlelap. Mahen. Ragata. Apa persamaan dari dua kata itu?
"Gaitsa, sebenarnya aku tidak terlalu pintar--"
"Ravendra!"
"Y-ya?"
Gaitsa tersenyum misterius sebelum meletakkan jari telunjuknya di bibir. Wanita itu menepuk punggung Ravendra dua kali sebelum melangkah ke luar kamar. Pria yang merasa baru saja dikasihani itu mendecakkan lidahnya dan membuntuti Gaitsa.
'Padahal aku benar-benar tidak pintar,' batinnya seraya menutup pintu kamar perlahan.
"Gaitsa," panggil Ravendra sebelum mulutnya terkatup rapat, netra coklatnya tampak melebar. Bukan itu, kan?
Ravendra menghampiri Gaitsa yang sedang membuat sesuatu di dapur. Pria itu mengernyit saat melihat Gaitsa sedang menyeduh teh.
"Kamu bilang tidak suka teh?"
"Oh, aku lupa!" Gaitsa berujar seraya menggeser satu cangkir teh hangat ke hadapan Ravendra. "Bawa sendiri minumanmu ke ruang tamu," ucapnya sambil berlalu, membawa minumannya sendiri.
Ravendra kembali mengekor di belakang, membawa teh yang menguarkan aroma menenangkan. "Apa maksudmu lupa?" tuntutnya setelah meletakkan cangkir di meja dan duduk di sebuah sofa tunggal.
"Aku lupa kalau bukan teh yang tidak kusukai, melainkan kopi," jawab Gaitsa santai sambil menyesap tehnya perlahan.
"Alasan tidak masuk akal," gerutu Ravendra tapi memilih mengangkat bahu tidak peduli. "Ravendra-Gaitsa, apakah kata Ragata diambil dari gabungan dua nama itu?" tanyanya setengah tidak percaya.
Gaitsa menjentikkan jari, "Anak pintar," katanya.
Ravendra hampir tertawa kalau tidak ingat Biyu sedang tidur. Pria itu menggeleng tidak percaya.
Bukankah kamu terlalu tidak kreatif, Ghea?”
..rasain akibat bikin wanita sakit hati...bikin dia bucin thor biar ngak arogant