Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Pak Imron, dengan suara penuh perhatian, kembali bertanya.
"Lalu bagaimana dengan kedua orang tua Ustadz Aiman? Apakah mereka hadir atau tidak? Seharusnya beliau harus tahu pernikahan anaknya," tanya Pak Imron dengan sikap yang penuh kewajiban.
Aiman akhirnya memberikan jawaban yang terasa hati-hati namun tetap meyakinkan.
"Orang tua saya tidak bisa datang kemari mereka menitip salam, Pak Penghulu. Mereka ada di Singapura, sedang membantu saudara ipar yang baru melahirkan cucu pertama mereka, jadi mereka tidak bisa datang langsung. Namun, mereka telah memberikan izin dan perwakilan kepada saya melalui Ustadz Haidar," Aiman menjawab sambil melirik ke arah Ustadz Haidar. Ustadz Haidar membalas pandangan itu dengan anggukan yang tegas, memastikan semua yang diucapkan Aiman adalah benar.
Aiman tahu, ia tidak sepenuhnya berbohong. Orang tuanya memang berada di Singapura untuk keluarga mereka, dan setelah pernikahan ini, ia berencana memberitahukan kepada keluarganya.
Pak Imron mengangguk perlahan, mendengar penjelasan Aiman, tetapi tetap serius dengan pertanyaan berikutnya.
"Ya sudah, kalau begitu tidak masalah. Yang penting keluarga Ustadz Aiman sudah tahu dan memberikan izin melalui perwakilan. Nanti setelah ini, pernikahan akan segera disahkan secara hukum, ya Ustadz Aiman?" kata Pak Imron dengan penuh keyakinan.
Aiman menundukkan kepala sejenak, lalu menjawab tegas.
"Iya Pak, pasti. Tentunya saya akan mengikuti segala proses yang telah ditentukan."
Semua hadirin di ruang tamu mendengar dengan khidmat, menyaksikan bagaimana setiap proses berlangsung dengan penuh ketenangan dan harapan.
Pak Imron, sebagai penghulu.
"Bismillahirrahmanirrahim... Kami akan memulai acara sakral ini. Semoga Allah meridhoi dan memberikan keberkahan kepada kedua mempelai."
Semua orang yang hadir diam, khidmat, menunggu dimulainya ijab kabul.
Pak Imron, kepada Abiyan:
"Abiyan Fauwaz, segala kerendahan hati, bersedia menikahkan putri Anda, Sabrina Alexandra binti Abiyan Fauwaz, dengan laki-laki yang bernama Sulaiman Faisal Zahid, dengan maskawin berupa cincin emas seberat 20 gram, seperangkat alat sholat, dan uang tunai sebesar 5 juta rupiah?"
Abiyan menghela napas sejenak, menatap wajah putrinya dengan penuh rasa haru. Lalu, Abiyan menjawab tegas,
"Saya bersedia menikahkan putri saya, Sabrina Alexandra binti Abiyan Fauwaz, dengan Ustadz Sulaiman Faisal Zahid."
Seketika, suasana semakin hening. Semua mata tertuju pada Pak Imron yang akan memulai ijab kabul.
Pak Imron, kembali bersiap melanjutkan. "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, saya sebagai penghulu mengikrarkan akad nikah antara Ustadz Aiman dan Sabrina Alexandra binti Abiyan Fauwaz."
"Sekarang ijab kabul akan dimulai. Saksi, harap siap."
Semua mata tertuju pada Ustadz Aiman, yang menyiapkan diri untuk melafazkan ijab.
"Ustadz Aiman, dengan segala kerendahan hati, ucapkanlah ijab kabul yang sah untuk pernikahan ini."
Pak Imron mengambil perlahan kertas yang berisi lafaz ijab kabul, dan mulai mengucapkannya dengan lantang,
"Saya nikahkan dan saya kawinkan Sabrina Alexandra binti Abiyan Fauwaz dengan mas kawin tersebut, dengan mahar berupa cincin emas seberat 20 gram, seperangkat alat sholat beserta 5 juta rupiah, sah berdasarkan syariat Islam."
Ustadz Aiman mendengar lafaz itu, lalu mengangkat tangan kanannya dan melantangkan jawabannya dengan penuh keyakinan.
" Saya, Sulaiman Faisal Zahid, menerima nikah dan kawinnya Sabrina Alexandra binti Abiyan Fauwaz, Saya terima akad ini dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab, dengan maskawin berupa cincin emas seberat 20 gram, seperangkat alat sholat, dan uang tunai sebesar 5 juta rupiah."
"Sah."
" Saksi-saksi, apakah Anda semua bersaksi bahwa ijab kabul ini telah dilakukan dengan sah?"
Semua saksi, termasuk Ustadz Haidar, mengangguk setuju. Suasana menjadi sakral, penuh haru.
Pak Imron, dengan suara lantang:
"Dengan demikian, sah sudah pernikahan antara Sabrina Alexandra binti Abiyan Fauwaz dengan Sulaiman Faisal Zahid."
Setelah ijab kabul terucap, suasana menjadi sangat haru dan penuh berkah. Doa-doa yang dipanjatkan mengiringi prosesi yang khidmat ini.
Pak Imron, menutup dengan doa. "Ya Allah, semoga engkau melimpahkan keberkahan dalam pernikahan ini. Satukan hati kedua mempelai dalam kebaikan, kasih sayang, dan keberkahan yang Engkau ridhoi."
Semua yang hadir mengamini doa tersebut, dengan harapan pernikahan ini menjadi langkah awal kehidupan baru yang penuh berkah.
Dengan sahnya ijab kabul yang telah diucapkan, maka sah sudah pernikahan antara Ustadz Aiman dan Sabrina Alexandra binti Abiyan Fauwaz. Semoga Allah memberikan keberkahan dalam rumah tangga mereka."
Semua orang yang hadir mengucapkan selamat, penuh kehangatan. Suasana terasa haru, namun bahagia. Abiyan menatap putrinya dengan penuh kasih, sementara Sabrina tampak tersenyum malu-malu.
"Selamat ya, Ustadz Aiman, Sabrina Alexandra. Semoga pernikahan ini menjadi sakinah, mawaddah, wa rahmah."
Ustadz Aiman mengangguk penuh semangat, menatap Sabrina penuh harapan. Sementara Sabrina hanya bisa mengangguk sambil merasakan perasaan campur aduk.
"Alhamdulillah, akhirnya putri Abiyan menikah juga. Semoga menjadi keluarga yang penuh keberkahan."
"Selamat, Aiman dan Sabrina. Semoga Allah menjaga pernikahan ini, dan memberikan kebahagiaan."
Suasana semakin terasa hangat dengan ucapan selamat dari semua yang hadir.
Ustadz Haidar, yang masih tampak syok.
"Mabruk buat kalian berdua. Semoga ke depannya, menjadi pasangan yang selalu saling mendukung dan memperbaiki diri."
➰➰➰➰
Maaf atas kekeliruan sebelumnya, saya akan mengikuti format yang Anda inginkan dengan saksama. Berikut detail lanjutan sesuai dengan permintaan Anda:
Sabrina masih berdiri di dalam kamar, wajahnya masih menunjukkan ketidakrelaan. Tangannya menggenggam selimut, wajahnya cemberut seperti menahan amarah yang mulai menggelegak di dalam dirinya. Tubuhnya terasa lemas, tetapi tekadnya sudah bulat untuk kabur dari rumah ini.
"Akhrinya kamu sudah sah jadi istrinya Ustadz Aiman, anakku," kata Gina terharu, sambil memeluk Sabrina dengan lembut. Namun, pelukan itu tidak membuahkan senyum dari Sabrina, wajahnya masih cemberut.
"Mamak!!! Aku belum rela kalau dipisah sama mamak," keluh Sabrina dengan suara yang penuh kesedihan.
Gina mengelus rambut anaknya dengan lembut, mencoba menenangkan. "Gak boleh gitu, siap gak siap, kodrat seorang istri itu ikut suaminya," kata Gina dengan penuh pengertian, menasihati anaknya.
Namun, belum sempat Gina berbicara lebih panjang, suara Abiyan memanggil istrinya dari luar kamar.
"Mamak!!! Ayo keluar dulu, semuanya mau pamitan, bawa kakak juga keluar," terdengar suara Abiyan menyembulkan kepalanya dari balik pintu yang dibuka setengah.
Gina mengangguk. "Iya, Pak." Ia menyahut sambil tersenyum lembut pada suaminya.
"Ya, ayo Bin, suamimu dan semuanya sudah menunggu," ajak Gina dengan penuh perhatian.
Sabrina menghela napas dalam-dalam, mencari alasan untuk tetap tinggal. "Emm... Mamak aja dulu, aku mau ke kamar mandi dulu," ujarnya dengan suara lirih.
"Ya udah, jangan lama-lama ya, mamak ke depan dulu," jawab Gina tanpa curiga, lalu beranjak pergi meninggalkan Sabrina sendirian di kamar.
Gina berpikir bahwa anaknya mungkin hanya butuh waktu untuk menenangkan diri, jadi ia tampak biasa saja, tidak curiga.
Setelah Gina pergi, Sabrina buru-buru mengambil selimut di atas tempat tidur, beberapa kain diikatnya menjadi satu dengan hati-hati. Tali itu tampak kokoh saat ia selesai mengikatnya. Matanya tajam menatap hasil karyanya.
"Semoga dengan ini gue bisa bebas, Tuhan," gumam Sabrina pelan sambil menutup mata. "Gue gak mau terjerat seumur hidup dengan lelaki macam ustadz Aiman. Gak bakal sudi aku. Makin bindeng telinga gue dengerin ceramahnya."
Sabrina mengumpat dalam hati. Tangannya gemetar, tapi tekadnya sudah bulat. Ia harus kabur dari rumah ini demi menghindari pernikahan yang tak ia inginkan.
Sedangkan di luar, Bu Gina dan Pak Abiyan masih disibukkan dengan tamu-tamu yang datang. Mereka menyalami Pak Kabay, Pak Imron, Pak Dimas, serta Ustadz Haidar dengan penuh keramahan. Setelah bercipika cipiki, beberapa dari bapak-bapak itu mulai berpamitan pulang satu per satu, menghindari kejadian agar para warga tidak curiga dengan suasana rumah yang teramat ramai pagi ini.
"Dimana Bina? Kenapa lama sekali?" tanya Abiyan menegur istrinya, melihat bahwa tamu-tamu sudah hampir selesai pamitan.
"Gak tahu, Pak. Tadi katanya mau ke kamar mandi dulu," jawab Gina sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Abiyan mengerutkan dahi, curiga dengan keterlambatan Sabrina. "Mak yakin dia ke kamar mandi gak nekat, kan?" tanyanya dengan penuh keprihatinan.
Gina pun tersentak mendengar kata-kata Abiyan. Ia menggelengkan kepala, merasa tak percaya kalau anaknya bisa berbuat nekat. "Duh! Mamak gak kepikiran. Bentar, mamak panggil dulu," ucap Gina sambil beranjak dari duduknya.