“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Kahfi membuka matanya perlahan. Langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu tampak samar dalam cahaya subuh yang masih temaram. Ia mengedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan remang-remang pagi.
Udara dingin menelusup hingga ke tulang, membuatnya ingin menggulung diri lebih lama di bawah selimut. Tapi ada satu hal yang mengganjal di benaknya, rasa bersalah.
Ia terbangun siang. Biasanya tubuhnya sudah terbiasa bangun lebih awal untuk shalat tahajud, tetapi kali ini tidak. Matanya baru terbuka setelah azan subuh berkumandang. Ia menghela napas pelan, menyadari penyebabnya. Kahfi pun mengusap wajahnya berusaha mengusir kantuk yang masih tersisa.
Lalu tatapannya beralih ke samping. Di sebelahnya, Syanas masih meringkuk dalam telekung di lapisi selimut, wajahnya tertutup masker yang mulai mengering. Napasnya pelan dan teratur, jelas-jelas masih terjebak di alam mimpi.
Kahfi memandangi Syanas dengan sedikit takjub dengan masker di wajah Syanas membuatnya tampak seperti topeng yang baru setengah jadi.
Senyum kecil terbit di sudut bibir Kahfi. Istrinya ini memang unik. Tapi subuh tak bisa menunggu. Ia melirik jam dinding. Sudah waktunya salat.
Dengan gerakan hati-hati ia berdeham pelan lalu menggoyang lengan Syanas. “Yang, bangun. Subuh.”
Syanas bergeming.
Kahfi mencoba lagi kali ini menepuk bahu Syanas. “Sayang bangun. Ayo shalat dulu.”
Syanas hanya menggeliat sedikit, lalu semakin masuk ke dalam lipatan telekungnya seperti kepompong yang menolak menjadi kupu-kupu. “Nanti aja,” gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar.
Kahfi menghela napas. “Yang, subuh itu nggak bisa nanti aja. Ayo bangun.”
“Masih ngantuk.”
Kahfi melipat tangan di dada, menatap istrinya yang semakin melilitkan telekungnya seperti hendak menghilang ke dimensi lain.
Sepertinya Kahfi membutuh strategi lain. Tanpa banyak basa-basi ia menyelipkan kedua lengannya di bawah tubuh Syanas dan mengangkatnya dalam gendongan bridal style.
Syanas yang awalnya masih dalam mode tidur langsung terbangun setengah sadar. “Aku mau di bawa kemana lagi?!” suaranya serak.
“Kamu nggak mau bangun, ya aku bawa ke kamar mandi,” jawab Kahfi santai sambil berjalan menuju pintu.
Syanas meronta-ronta kecil, tapi tangannya masih terbungkus telekung, membuatnya tampak seperti ulat yang gelagapan. “Aku bisa jalan sendiri!”
“Katanya masih ngantuk,” balas Kahfi cuek.
Syanas akhirnya menyerah tapi ia punya strategi lain. Jika tidak bisa lolos dari gendongan, maka ia memilih menjadi beban total.
Ia menjatuhkan kepalanya ke bahu Kahfi, tangannya terkulai, tubuhnya lemas seperti boneka kain yang kehilangan isinya. “Aku nggak bisa…” bisiknya dengan dramatis.
Kahfi melirik Syanas sekilas dan langsung paham. Ia menahan senyuman. “Bisa kok. Nih, aku bawa sampai depan kamar mandi, tinggal kamu ambil wudhu.”
Syanas masih bertahan dalam mode boneka lemas, berharap Kahfi kasihan dan membiarkannya tidur lagi. Tapi begitu mereka sampai di depan kamar mandi, Kahfi malah menggoyangkan tubuh Syanas pelan.
“Ayo wudhu.”
“Nggak bisa… Hayati lemas.”
Kahfi mengangkat satu alis. “Yang, kita bisa melakukan ini dengan cara baik-baik atau—”
“Atau apa?” potong Syanas dengan suara kecil dengan matanya masih setengah terpejam.
Kahfi tersenyum jahil. “Atau aku yang wudhuin kamu.”
Mata Syanas langsung terbuka. “Aku masih ngantuk banget Yang.”
Kahfi mengangkat bahu. “Kamu yang pilih. Mau ambil wudhu sendiri atau aku guyur pake air?”
Syanas mengerjap beberapa kali lalu melirik ke dalam kamar mandi yang dinginnya terasa menusuk. Masalahnya ia masih menggunakan masker dan telekung.
“Yang, aku masih pake masker,” ucapnya mencari alasan.
“Yaudah, cuci dulu.”
Syanas mendesah panjang lalu membuka telekungnya perlahan. Tapi saat menyentuh wajahnya, masker yang sudah kering itu malah ikut terkelupas sebagian, membuat wajahnya belang-belang seperti kue lapis gagal.
Kahfi menatap Syanas sejenak lalu tersenyum. “Mukamu kayak tembok belum diaci.”
Syanas mendelik tajam. “Jangan ketawa!”
Kahfi mencoba menahan senyum, tapi gagal total. “Ayo buruan, sebelum aku beneran guyur.”
Syanas mendecak kesal dengan akhirnya mulai mencuci wajahnya dan mengambil wudhu dengan ekspresi setengah mengantuk. Kahfi menunggu di dekat pintu, sesekali tersenyum melihat istrinya yang cemberut sambil mengguyur air ke wajahnya.
Begitu selesai Syanas menatap Kahfi dengan wajah masih basah. “Puas?”
Kahfi mengangguk. “Puas banget.”
Syanas masih manyun sementara Kahfi gantian mengambil wudhu.
......................
Syanas masih duduk bersila di belakang Kahfi, menunggu lelaki itu menyelesaikan doa yang tampaknya sangat panjang bagi Syanas. Ia tidak terlalu mengerti bahasa arab yang meluncur dari bibir suaminya, tapi ia bisa merasakan ketulusan dalam setiap untaian kata yang dipanjatkan.
Perutnya mulai terasa kosong. Rasa lapar perlahan menyelinap, membuatnya mengusap perut sambil melirik ke arah Kahfi yang masih menengadahkan tangan.
Syanas menghela napas kecil, berusaha bersabar meski pikirannya sudah melayang ke dapur, membayangkan sarapan hangat yang mengenyangkan.
Begitu Kahfi selesai berdoa ia mengusap wajahnya lalu menoleh ke arah Syanas yang masih duduk malas-malasan di belakangnya.
Syanas mengulurkan tangan untuk bersalaman, lalu dengan santai Kahfi mendekat dan mengecup kening seolah itu adalah hal biasa. Syanas tidak bereaksi berlebihan, tidak kikuk, tidak canggung, seakan semua itu hanya bagian dari rutinitas mereka.
Kahfi sedikit terdiam. Tatapannya melembut tapi ia tidak berkomentar apa-apa.
Syanas yang memang tidak menaruh makna apa pun dalam tindakannya, langsung berubah gaya. Ia menempelkan kedua tangannya ke perut sambil memasang ekspresi merana.
“Sayang…” panggilnya dengan suara manja.
“Hm?” Kahfi menatap Syanas dengan alis terangkat.
“Aku lapar,” rengeknya sambil menggoyangkan tubuh ke kanan dan kiri seperti anak kecil yang minta perhatian.
Kahfi tersenyum tipis. “Pantes dari tadi diem aja, ternyata lagi nunggu waktu buat ngeluh.”
Syanas mendengus kecil. “Bukan ngeluh, tapi laporan.”
Kahfi tersenyum tipis lalu berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Syanas. “Yaudah, ayo kita ke dapur. Mau makan apa?”
Syanas langsung menggamit tangan suaminya dan bangkit. “Pagi-pagi begini ada jualan bubur ayam nggak di sini? Kayaknya enak makan itu deh.”
Kahfi menggeleng pelan. “Di sini nggak ada yang jual bubur ayam.”
Syanas mendesah panjang. “Yaudah, masak mi instan aja. Lebih praktis.”
Kahfi kembali menggeleng. “Warung di sini jauh, harus jalan kaki dulu. Itu pun jika malas, bisa naik sepeda.”
Syanas menatap Kahfi tak percaya. “Masa iya jauh banget?!”
Kahfi mengangkat bahu dengan wajah polos. “Emang begitu keadaannya.”
Syanas semakin merana. “Kalau begitu pesan online ajalah.”
Kahfi menatap Syanas dengan tatapan penuh rasa iba yang dibuat-buat. “Sayangnya kita tinggal di sebuah desa yang jauh dari kata modern.”
Syanas menghela napas panjang dengan wajah lesu. Baru satu hari saja ia sudah begitu menderita, apalagi satu tahun. Bukankah ini sama saja seperti Kahfi sengaja menjebaknya ke dalam hidup penuh penderitaan?
Syanas pun menatap Kahfi dengan ekspresi putus asa. “Terus, aku harus makan apa buat ngenyangin perut aku yang lapar ini kalau semuanya nggak ada?” tanyanya dengan nada kesal.
Kahfi tersenyum manis, terlalu manis. Syanas merasakan firasat buruk langsung menyelinap di benaknya. Senyuman Kahfi sepertinya bukan pertanda baik.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..