Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB LIMA BELAS
"Kenapa haram?" Emyr mengernyit dengan begitu banyak pertanyaan. Dilkash juga tak kalah penasarannya. "Haram gimana?"
"Mbak yang tadi, diantar suaminya!" kata Rayyan, pemuda itu tak pernah kesulitan untuk mengeles. Selalu banyak kata bahkan dalam kondisi yang tercekik sekalipun.
"Udah bagus jadi ustadz, nggak usah jadi pebinor! Haram Mas Gus, haram!" tegas Rayyan memperingatkan.
"Sudah punya suami?" Dilkash meredup raut wajahnya, tentu saja kecewa karena Dilkash menyukai Tyas dari masih kecil.
Itulah kenapa Dilkash senang saat ada kabar jika adik kandung Tyas akan diberikan beasiswa oleh yayasan mereka. Sebenarnya Dilkash sendiri tak tahu jika Tyas memiliki adik karena mereka lama tak jumpa.
Namun, kemarin saat ada pengurus yang bilang kalau ada yang mengajukan permintaan beasiswa, dia segera menerima karena saat diteliti lagi, ternyata nama keluarga si penerima salah satu dari keluarga Tyas.
Bahkan Tyas sendiri yang menjadi wali murid anak itu. Bagaimana Dilkash tak bahagia, jika akhirnya mereka dipertemukan kembali setelah dahulu sering bertemu karena Tyas menjadi santri andalan keluarga mereka.
Dilkash bahkan sempat berpikir ini petunjuk Tuhan, bila mana Tyas memang jawaban dari sujud panjangnya selama ini. Akan tetapi, dia tak menyangka jika rupanya Tyas datang ke sini bersama suaminya.
Rayyan berdecak. "Udah nggak usah sedih, kalo mau cari yang shalihah, tuh, lewatin batas mahram, di sana berjejer wanita calon penghuni surga!" usulnya seenaknya.
"Huss!" Emyr menegur. "Mencari istri tidak begitu caranya, Rayyan, kamu nanti juga begitu, mencari jodoh harus sesuai dengan aturan, jangan asal nikah!"
Rayyan tercabik mendengarnya, karena dia menikahi Tyas tanpa sepengetahuan keluarga besarnya. Rayyan hanya perlu waktu sampai Tyas jatuh cinta padanya, baru setelah itu dia akan meluluhkan hati ayah dan ibunya untuk merestui pernikahannya bersama Tyas.
Terlihat Dilkash tak bersemangat lagi, karena Tyas sudah tak mungkin dia miliki. Senyum manisnya kini lenyap tak bersisa tapi Emyr mengusap punggung putranya tanpa bicara.
...°^\=~•∆•∆•~\=^°...
"Cucuku yang ganteng."
Rayyan menghadap Kakek buyutnya, mencium punggung tangan lalu duduk di depan pria berambut putih itu. Sudah cukup sepuh, tapi Kiyai Zainy masih mengenal cicit bungsu kesayangannya.
Kiyai Zainy memeriksa jaket jeans cicitnya yang tampak seperti preman. "Masha Allah, ini jaketnya ganti sama baju kokoh, Yan. Nggak salah kamu pake baju begini di sini, hmm? Tinggal jauh dari pesantren. Jangan jadi lupa kalo kamu ini Gus, Yan, cucu Eyang!"
"Selagi Rayyan nggak pake lingerie, ya nggak salah Eyang Kiyai!" Rayyan menjawabnya dengan cengengesan.
"Astaghfirullah," geleng Kiyai Zainy. Tapi cucu buyutnya ini memang memiliki aura sendiri untuk meraih kasih sayangnya sebagai Eyang.
Tak lama mereka bercengkrama, Halwa masuk untuk memohon izin karena Tyas akan datang membesuk Kiyai Zainy. Berhubung, Ibu Nyai sudah tidak ada, maka Tyas ingin sekali mengunjungi Kiyai Zainy katanya.
Kiyai Zainy tentu melebarkan tempat untuk anak santri dari putri sahabat Gus Hilman yaitu putra sulungnya. Mendengar berita itu, Rayyan yang tadinya duduk di sofa, ia melipir masuk ke dalam ruangan lainnya.
Rayyan bersembunyi di balik pintu dengan telinga yang dia paksa untuk mendengarkan percakapan yang akan terjadi antara Tyas dan Kiyai Zainy di luar. Ada Ning Halwa juga yang duduk di sisi Tyas.
Terlihat dari celah pintu, Tyas menundukkan kepalanya untuk menyapa Eyangnya sambil berucap salam. "Kamu sudah nikah katanya, Nduk?"
Barusan Om Emyr yang memberitahukan Eyang Kiyai perihal itu. Dan Rayyan penasaran sekali, kira- kira apa yang akan Tyas katakan mengenai statusnya.
"Nggih Kiyai," angguk Tyas. Pandangannya memang tak berani menatap Eyang, tapi Tyas menjawab pertanyaannya. "Tyas memang sudah menikah."
"Alhamdulillah," senyum Zainy. "Suaminya orang mana memangnya Nduk?" tanyanya lagi.
"Jogja, Kiyai, setelah dari sini, Tyas harus ikut suami ke Jogja." Tyas mengaku karena dia tak perlu berbohong soal ini. Dan hal itulah yang membuat Rayyan ingin keluar untuk memeluk istrinya.
Mengakuinya ke seluruh dunia agar tak ada lagi yang memiliki niat melamar Tyas seperti Mas Gus Ikash barusan. Tapi Rayyan yakin, pernikahan mereka belum saatnya diketahui.
"Syukurlah, Nduk. Eyang turut berdukacita atas kepergian Bapak kamu, Eyang baru denger dari Gus Emyr tadi."
"Nggih, Kiyai."
Tyas semakin menundukkan kepalanya, lalu Rayyan tersenyum karena Halwa dan Eyang mengusap kepala istrinya. Sebagai tanda jika mereka sama sama menguatkan Tyas.
Mereka masih bercengkrama, membicarakan bagaimana Ridwan meninggal dan lain sebagainya. Lalu pada suatu ketika, Kiyai Zainy baru menyadari jika cucu buyutnya sudah tidak ada di sisinya sekarang.
"Loh, Gus Rayyan mana tadi?" Sudah tua membuat Kiyai Zainy lupa bila mana tadi, Rayyan duduk di sampingnya.
Mendengar nama Gus yang Kiyai Zainy ucapkan, Tyas jadi mengingat suaminya, sebab nama suaminya juga Rayyan. Tapi sayangnya, Rayyan yang dia nikahi seorang preman bukan seorang Gus.
Kiyai Zainy lantas menatap Ning Halwa yang masih duduk di sisi Tyas. "Ning Halwa, panggil Gus Rayyan ke sini, dia mungkin masuk."
"Nggih, Eyang." Halwa segera bangkit untuk masuk ke dalam ruangan Eyangnya. Dan di tepi sana, Rayyan seperti baru akan lompat untuk keluar lewat jendela.
"Kamu ngapain di sini?" Halwa menarik jaket jeans sepupunya hingga Rayyan menyengir cengengesan karena terpergok.
"Itu dicariin, Eyang!"
Rayyan menepis tarikan Halwa yang Rayyan yakin akan membawanya keluar untuk menemui Eyang. Dan Rayyan tak siap jika dia dan Tyas bertemu sebagaimana semestinya.
"Mbak, Nggak, Mbak!" tolaknya. "Rayyan mau ganti pakaian dulu, nggak enak pake baju begini, Rayyan mau pake kain sarung dulu!"
Halwa menghela napas, adik sepupunya memang penuh drama. Tapi dia mau melepaskan jaket Rayyan kemudian.
"Ya udah cepetan! Jangan buat Eyang nungguin kamu terlalu lama. Dia kangen kamu kayaknya!" ketus Halwa.
"Iya- iya!"
Rayyan mendengus sambil menatap nanar tenggelamnya punggung Halwa, akan tetapi Rayyan bukan mengganti pakaian melainkan melanjutkan kaburnya lewat jendela.
"Gus!" Rayyan segera membekap mulut santriwan yang tak sengaja melihatnya lompat dari jendela. Berharap tak ada yang mendengar teriakannya barusan.
"Gus Rayyan ngapain di sini?" Setelah dilepas, santriwan tersebut bertanya mencecar. Apa lagi cara Rayyan keluar dari jendela benar- benar membuatnya curiga.
Rayyan mendesis. "Jangan panggil, Gus! Aku Rayyan, paham kan, Rayyan!" katanya ketus.
"I-iya, Rayyan!" Baru saja Rayyan menyengir, suara teriakan Ning Halwa kembali terdengar dari jendela. "Gus, ngapain kamu di situ?!"
"Eyang, Gus Rayyan, Eyang!" Halwa berteriak agar Emyr sang ayah dan Eyang tahu kelakuan sepupunya yang nakal. "Rayyan kabur lagi Abi," tambahnya.
Tyas di luar berdiri, karena panik mendengar teriakan Halwa. Sebenarnya ada apa ini, kenapa tiba- tiba Gus Emyr dan Eyang berbondong- bondong untuk masuk ke ruangan di mana Halwa berteriak.
📩 "Sayang, kita pulang ke Jogja!" Pesan yang akhirnya Tyas terima dari suaminya.
itu kata om opik
itu juga yg ak alami
skrg tertawa
bebrapayjam lagi cemberut
lalu g Lma pasti nangis