"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidden bad qualities
Tari duduk di kursi di sebelah Yudha, dengan kedua tangan saling menggenggam di pangkuannya. Tatapan matanya kosong, memandang ke luar jendela, melihat bayangan lampu kendaraan yang bersinar di kegelapan malam. Di sebelahnya, Yudha memegang kemudi dengan satu tangan, sementara tangan lainnya mengetuk-ngetuk setir.
"Kau yakin nggak apa-apa pulang lebih cepat?" suara Yudha memecah keheningan. Suaranya terdengar khawatir.
Tari menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku harus bertemu dengan Riana sekarang. Kalau terus ditunda, semuanya akan semakin buruk, aku nggak mau Riana berpikiran yang nggak-nggak"
Yudha melirik sekilas ke arahnya, wajahnya jelas menampakkan raut cemas. "Tapi kau belum istirahat yang cukup Tari. Kita bisa urus masalah ini nanti."
Tari menoleh dengan raut wajah kesal, matanya bertemu dengan Yudha. "Yud, tadi Ibumu bilang kalau dia sudah cerita soal kehamilanku ke Riana. Kalau aku nggak cepat menjelaskan semuanya, Riana pasti akan salah paham lebih jauh."
Yudha menggigit bibirnya, menahan diri untuk tak berkomentar lebih jauh. Mengetahui bahwa sekarang ini bukan waktunya untuk berdebat. Tari benar, situasinya sudah terlalu rumit, dan membiarkan Riana terus menduga-duga hanya akan memperburuk keadaan. Apalagi Riana terus menelponnya sejak tadi, karena ia ingin fokus pada Tari, ia pun mematikan ponselnya.
"Aku cuma nggak mau kau stres Tari, kehamilan mu masih terbilang muda," kata Yudha akhirnya, nada suaranya lebih lembut.
"Anak ini nggak bakal kenapa-kenapa, sekarang Riana lah yang lebih penting." Tari mengalihkan pandangannya kembali ke jendela. "Riana pasti sangat kecewa dan marah sama aku."
Keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka, hanya diiringi suara mobil yang melaju. Di lampu merah, Yudha melirik lagi ke arah Tari, mencoba membaca apa yang dipikirkan olehnya. Wanita itu tampak kalut, dan tatapan matanya terlihat kosong.
Yudha menarik napas panjang. "Oke. Kita akan jelaskan dengan baik ke Riana"
Tari tidak menjawab dan hanya fokus melihat jalanan di samping nya. Hati Tari berdebar kencang, ketakutan sudah menjalar ke segala sudut pikirannya saat ini.
'Riana'
.
.
.
Tari dan Yudha baru tiba di apartemen. Ketika pintu apartemen dibuka, mereka langsung disambut oleh kehadiran Riana yang duduk di sofa ruang tamu. Riana menatap mereka dengan mata tajam, sorot matanya penuh dengan kekecewaan sekaligus amarah.
Riana langsung berdiri begitu melihat Tari. "Kau ingin menjelaskan nya," katanya dengan nada dingin.
Tari menghela napas berat, melangkah masuk dengan ragu. "Riana, tolong dengerin aku dulu," ucapnya lirih.
Riana tertawa getir, menatap nanar padanya. "Tari aku nggak tahu harus percaya apa dan pada siapa lagi sekarang. Kamu ingin merebut Yudha dariku?,"
"Bukan gitu Riana" Yudha menyela, ingin menengahi suasana tegang di antara kedua istrinya.
"YUDHA" Tari menatap tajam pada Yudha, mengisyaratkan agar pria itu menutup mulut nya.
Lalu tatapannya beralih ke Riana, ia berjalan mendekat, suaranya mulai bergetar. "Mana mungkin aku begitu Ri. Semua ini murni kecelakaan Ri, kami nggak sengaja berhubungan karena ulah Ibu mertuamu. Percaya sama aku Ri."
Riana memelototinya, emosinya mulai naik. "Nggak sengaja? Lalu kenapa kamu nggak ngasih tau aku sama sekali—" Riana berhenti sejenak, mencoba menahan diri. Matanya mulai berkaca-kaca. "Sekarang kamu hamil? Apa yang bisa terjadi sekarang, kamu akan merebut posisi aku sebagai istri Yudha?"
Tari menunduk, air mata mulai membasahi pipinya. Yudha yang berdiri di belakangnya merasa gelisah, ia ingin ikut menjelaskan tapi jika ia melakukannya Tari akan marah padanya.
"Riana, aku bukaannya mau nyembunyiin soal ini," suara Tari pecah di tengah isakan. "Aku takut… Aku takut kamu marah dan menjauh dariku. aku nggak mau hubungan kita rusak."
Riana melipat tangannya, menahan diri untuk tidak menangis. "Aku nggak marah karena kamu hamil, Tari. Aku marah karena kamu sembunyiin semua hal ini. Apalagi yang bisa aku pikirkan selain hal buruk karena kamu merahasiakan semuanya."
"Aku takut menyakitimu," Tari balas dengan suara gemetar. "Aku salah Ri. Tapi aku bersumpah, aku nggak pernah berniat merebut Yudha. Apalagi menjadi orang kedua dari hubungan kalian Riana."
Riana menghela napas panjang, lalu menatap Yudha. "Dan kamu, Yudha. Kenapa kamu juga ikut menyembunyikan nya? Aku ini Istrimu, apa kau tidak menganggap aku ada."
Ekspresi Yudha berubah sendu "Aku tahu aku juga salah, Riana. Aku cuma ingin melindungi Tari. Situasi ini emang ketidaksengajaan, tapi aku juga sudah memutuskan. Aku dan Tari tidak akan bercerai, dan tentunya kau tetap akan menjadi istriku. Tidak ada yang merebut siapapun di sini"
Air mata Riana jatuh perlahan membasahi pipinya. "Kau menyukai Tari?,"
Mata Yudha membelalak, tidak menyangka akan perkataan yang keluar dari istrinya.
Riana akhirnya duduk kembali di sofa, air matanya terus jatuh tanpa bisa ditahan lagi. Tari mendekatinya dan duduk di bawahnya, mencoba menggenggam tangan Riana, tetapi Riana menariknya cepat.
"Aku kecewa dan marah sama kalian berdua. Tapi apa yang bisa aku lakukan," Riana tersenyum getir.
Tari terisak, suaranya pecah. "Aku salah Ri. Kamu satu-satunya sahabatku. Aku mohon… jangan benci aku Ri....huuuu...hhuuu."
Riana menatap Tari dengan mata berkaca-kaca, lalu akhirnya menunduk dan menarik Tari ke dalam pelukannya. "Aku nggak benci kamu Tar. Tapi aku kan juga punya perasaan. Mana mungkin aku baik-baik saja jika suamiku menghamili wanita lain."
Tari menangis tersedu-sedu dalam pelukan Riana, sementara Yudha berdiri tak jauh, merasa lega melihat kedua wanita yang ia cintai berpelukan di depannya.
"Mulai sekarang, jangan menyembunyikan apapun dariku," ucap Riana, masih memeluk Tari erat.
Tari mengangguk lemah di pelukan Riana. "Iya, aku janji…"
Yudha menghampiri mereka dan ikut duduk di sebelah Tari. Ia mengelus pelan punggung Tari yang masih bergetar dalam tangisannya. Ia tersenyum lembut, di tengah itu Riana menggigit bibir bawahnya melihat raut wajah yang ditampilkan oleh Yudha.
'Aku bersumpah akan menyingkirkan bayi dalam kandunganmu Tari!'
.
.
.
Setelah suasana mulai tenang, Riana berdiri dari sofa dengan raut wajah yang tampak lebih tenang, mata nya terlihat merah. Ia menatap Tari dan Yudha secara bergantian, lalu tersenyum tipis, sebuah senyuman tulus ditampakkan nya.
"Aku harus pulang sekarang," kata Riana singkat sambil mengambil tasnya dari sofa.
"Riana tunggu dulu, biar aku antar," Yudha menawarkan, raut wajahnya penuh kekhawatiran
Riana menggelengkan kepala. "Nggak usah. Aku butuh waktu sendiri. Kamu disini aja, tolong jaga Tari." Ia menatap Tari sekilas, lalu melanjutkan, "Tari, jaga kesehatan dan kehamilanmu ya. Kamu belum sembuh sepenuhnya kan. Kita bicarakan soal ini lagi nanti."
Tari yang masih duduk di lantai, perlahan bangkit berdiri. "Hati-hati, Riana."
Tanpa banyak kata lagi, Riana melangkah keluar dari apartemen Tari, meninggalkan keheningan di belakangnya. Namun, bukannya turun ke lantai bawah, Riana justru menuju ke apartemen Ade. Langkahnya cepat, emosi sudah mendidih di dalam dadanya. Ia berhenti di depan pintu apartemen itu.
Tanpa ragu, Riana menekan bel pintu dengan keras beberapa kali.
Pintu terbuka, memperlihatkan Ade yang tampak kebingungan melihat siapa tamunya di malam hari. "Riana? Ada apa?"
Tanpa menjawab, Riana melangkah masuk dengan cepat, mendorong pintu hingga tertutup dengan kasar. Ade yang masih terkejut hanya bisa mengikutinya dengan pandangan bingung.
Riana berhenti di tengah ruangan, matanya menyapu seluruh isi apartemen, seperti mencari sesuatu. Tiba-tiba, ia meraih vas bunga yang ada di meja dekat sofa dan membantingnya ke lantai hingga pecah berantakan.
Ade tersentak kaget, dan melotot pada Riana. "Riana! Apa yang kau lakukan? Kau sudah gila, ini vas import"
"Apa yang aku lakukan?" Riana berbalik dengan mata yang penuh amarah dan air mata. "Aku ingin muntah Ade! Aku muak dengan semua ini! Tari membuat hidupku hancur!"
Ade mendekat, mencoba menenangkannya. "Tenang, Riana. Kita bisa bicara baik-baik—"
"Baik-baik?" Riana memotongnya dengan tawa penuh kemarahan. Ia meraih bingkai foto di meja, lalu melemparkannya ke dinding. "Kamu pikir aku bisa baik-baik saja setelah semuanya? Tari hamil, dan Yudha mengatakan akan tetap menjadikan Tari sebagai istrinya tepat di depan mataku!"
Mata Ade membelalak mendengar ucapan Riana. "Kamu yang sudah ceroboh Riana. Dari awal semua ini nggak akan terjadi, kalau kamu nggak punya rencana gila seperti ini."
"Kau menyalahkan ku?" Riana berjalan mendekat, menunjuk ke arah Ade dengan telunjuk yang gemetar. "Aku menyuruhmu menggoda Tari, dan hal itu saja tidak bisa kau lakukan,"
Raut wajah Ade berubah menjadi kesal, "Hubungan kami menjadi seperti ini sekarang, semuanya karena kesalahanmu. Beraninya kau menyalahkan ku."
Riana memutar tubuhnya, kembali menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Napasnya memburu, dadanya naik turun. Ia benci mengakui perkataan dari Ade adalah fakta.
"Sekarang aku ingin Tari hilang dari hidupku. Aku ingin dia dan bayi sialan itu pergi!"
Ade menghela napas dan memijat pelipisnya pelan. "Riana.... Obatnya akan selesai minggu depan,"
Riana menoleh. "Bagus! Bayi itu tidak boleh sampai lahir"
Ade terdiam, ia sudah tau akan sifat Riana. Tapi ia tidak menyangka wanita ini akan setega ini pada Tari. Jika dipikir-pikir lagi apa kesalahan Tari pada Riana.
Riana menghela napas panjang, lalu mengambil tasnya yang tadi ia lemparkan ke sofa.
"Beritahu aku jika obat nya sudah datang," katanya sebelum melangkah keluar dan menutup pintu dengan keras.
Ade hanya bisa menatap kepergian Riana dalam diam. Lalu ia memandang ke arah pecahan vas dan bingkai foto di lantai, lalu mengusap wajahnya dengan frustrasi.
"Dia datang kesini hanya untuk menghancurkan tempatku dan dia bahkan tidak repot-repot membersihkan nya," Keluh nya jengkel.
Tapi dalam hatinya, terbesit rasa bersalah pada Tari. Ia ingin mendapatkan wanita itu dengan cara yang benar kali ini. Tapi keadaan selalu membuat nya melakukan hal sebaliknya.
'seharusnya aku tidak pernah bertemu dengan Riana lagi' Pikirnya Frustasi.