"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Berbeda
Prastyo mengangguk, meskipun Ziyo tidak bisa melihatnya. “Sejauh ini, dia memang tidak pernah berbuat macam-macam. Tapi entah kenapa, saya merasa ada sesuatu yang tidak beres.”
Ziyo menyandarkan punggungnya ke kursi, jari-jarinya mengetuk ringan sandaran tangannya. “Aku juga mulai merasa begitu.”
Tak ada yang bisa mereka pastikan saat ini. Namun, satu hal yang jelas, Diva terlalu sempurna dalam sikapnya. Dan dalam dunia bisnis, seseorang yang terlalu sempurna biasanya menyimpan sesuatu.
Tak lama setelah Prasetyo pergi, suara ketukan halus di pintu membuat Ziyo menoleh meskipun ia tahu dirinya tak bisa melihat siapa yang datang. Hania, yang tengah merapikan meja di sudut ruangan, langsung berjalan ke pintu dan membukanya.
"Tuan Ziyo, Nyonya Rita datang," kata Hania dengan suara lembut.
Ziyo tersenyum tipis. “Tante Rita… Silakan masuk.”
Rita melangkah masuk dengan senyum hangat, tetapi ada sorot cemas di matanya. Melihat Ziyo dalam kondisi seperti ini masih terasa sulit baginya. Bagaimanapun, ia selalu menganggap pria itu seperti anak sendiri.
"Apa kabar, Nak?" tanya Rita, suaranya lembut.
Ziyo tersenyum samar. “Sejauh ini aku baik-baik saja.”
Rita duduk di kursi di dekat Ziyo, menghela napas. “Tante tahu, hubunganmu dan Clara… sepertinya sedang tidak baik. Tapi Tante berharap kalian bisa membicarakannya dengan kepala dingin.”
Ziyo terdiam sejenak, lalu dengan suara tenang ia berkata, “Aku sudah memutuskan pertunangan kami, Tante.”
Rita terkejut. “Ziyo…”
"Aku minta maaf," lanjut Ziyo. "Aku tak ingin menjadi penghalang kebahagiaan Clara, apalagi dengan kondisiku saat ini. Dan aku juga tak ingin membangun hubungan tanpa rasa cinta.”
Hening.
Rita menatap pria itu dengan sorot mata penuh perasaan. Ia sudah menduga kemungkinan ini, tapi mendengarnya langsung dari mulut Ziyo tetap membuat dadanya terasa sesak.
“Jadi… kau memang tidak pernah mencintai Clara?” tanyanya hati-hati.
Ziyo mengangguk pelan. “Aku menghormatinya, aku menghargainya. Tapi tidak pernah mencintainya seperti seorang pria mencintai wanita.”
Rita tersenyum kecil, meskipun matanya terlihat berkabut. “Tante sudah lama tahu, hanya saja Tante berharap perasaanmu akan berubah seiring waktu.”
Ziyo menghela napas, ada sedikit kelegaan karena Rita tidak terlihat marah atau kecewa.
Hania yang berada di sudut ruangan mendengarkan percakapan itu dengan perasaan campur aduk. Ia menunduk, seolah tidak ingin ikut campur, tetapi dalam hatinya ada sesuatu yang terasa aneh.
Ziyo memilih berpisah dengan Clara bukan karena dirinya cacat, tetapi karena memang tidak mencintainya.
Hania tidak tahu mengapa, tetapi hatinya terasa sedikit lebih hangat mendengar itu.
Sementara itu, Rita menatap Ziyo dengan tatapan keibuan. “Kalau itu yang terbaik untuk kalian berdua, Tante tidak akan memaksa. Tante hanya ingin kau bahagia, Nak.”
Ziyo tersenyum tipis. “Terima kasih, Tante Rita.”
Sejujurnya, Rita menyayangkan putusnya pertunangan antara Ziyo dan putrinya. Baginya, Ziyo adalah calon suami yang tepat untuk Clara, bertanggung jawab, matang, dan penuh ketenangan. Namun, ia sadar bahwa tidak ada gunanya memaksakan sesuatu yang sudah tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Terlebih, keputusan itu datang langsung dari Ziyo. Jika Ziyo sendiri telah memilih untuk mengakhiri hubungan mereka, maka Rita tidak punya alasan untuk menahannya.
Hania menatap punggung pria itu dari belakang. Untuk pertama kalinya, ia melihat seseorang yang begitu teguh pada keputusannya, bahkan ketika dunia seakan menjatuhkannya.
Hania tetap berdiri di sudut ruangan, matanya terpaku ke sosok Ziyo yang duduk dengan tenang di kursi rodanya. Ekspresi pria itu nyaris tak berubah sepanjang percakapan, seakan tak ada satu pun hal yang bisa menggoyahkan ketenangannya.
Begitu berbeda dengan kebanyakan pria…
Kebanyakan orang, jika dihadapkan pada situasi seperti ini, kehilangan penglihatannya, tak bisa berjalan, wajah rusak, kehilangan pertunangannya, dan menghadapi ancaman di perusahaan, akan merasa hancur, terpuruk, atau bahkan kehilangan kendali. Namun, Ziyo? Ia tetap kokoh, menghadapi semua masalah dengan kepala dingin dan penuh perhitungan.
Bukankah ini yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin?
Bukan hanya seorang pemimpin, Hania merasakan sesuatu yang lebih dari itu. Bukankah ini juga sifat yang seharusnya dimiliki seorang suami?
Seorang pria yang tidak akan membuat keputusan gegabah, yang mampu berpikir jernih di tengah badai, yang tak membiarkan emosinya menguasai akal sehatnya.
Hania menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya dari siapa pun. Hatinya terasa aneh.
"Kenapa aku berpikir sejauh itu?"
Tapi pikiran itu tak bisa ia singkirkan begitu saja. Semakin lama ia memperhatikan Ziyo, semakin besar rasa kagum yang muncul.
Mungkin selama ini ia terlalu fokus pada rasa bersalahnya hingga tidak menyadari bahwa Ziyo adalah seseorang yang… luar biasa.
Seseorang yang mungkin, di situasi berbeda, akan menjadi sosok suami yang perfeksionis.
***
Bryan duduk di dalam mobilnya, mengetuk-ngetukkan jemarinya ke kemudi dengan ekspresi berpikir. "Sekarang, satu langkah sudah selesai, Clara dan Ziyo resmi berpisah. Tapi, ini belum cukup. Bagaimana caranya agar pernikahan terjadi secepat mungkin?"
Ia tahu satu hal: Rita adalah rintangan terbesar. Wanita itu begitu keras kepala mempertahankan pertunangan Clara dengan Ziyo. Bahkan setelah Ziyo sendiri yang memutuskannya, Bryan yakin Rita masih berharap putrinya kembali ke pria itu.
"Aku harus bergerak cepat." Pikirannya berputar cepat, mencari cara agar Clara benar-benar terikat padanya, sehingga tak ada lagi kesempatan untuk mundur. Jika ia berhasil menikahi Clara, maka semuanya akan jauh lebih mudah.
Lalu ide itu muncul.
"Malam ini salah satu temanku merayakan ulang tahun di sebuah klub eksklusif. Jika aku bisa membawa Clara ke sana, membuatnya mabuk, dan memastikan kami menghabiskan malam bersama…" Bryan tersenyum licik. "Maka semuanya akan selesai."
Rita mungkin masih bisa menolak hubungan mereka sekarang, tapi jika Clara terbangun di tempat tidur bersamanya, skandal tak akan bisa dihindari. Dan dalam keadaan seperti itu, menikah adalah satu-satunya jalan keluar yang ‘terhormat’.
Bryan tersenyum tipis, matanya penuh perhitungan. "Dengan menjadi suami Clara, aku akan semakin kuat di perusahaan. Tidak ada lagi yang bisa menahanku. Tidak Rita, tidak siapa pun."
Bryan meraih ponselnya, menelepon Clara dengan suara lembut, penuh perhatian.
“Clara, Sayang… Aku ingin mengajakmu ke pesta malam ini. Aku pikir kita harus merayakan kebebasanmu.”
***
Musik berdentum keras di dalam klub eksklusif tempat pesta ulang tahun teman Bryan berlangsung. Lampu warna-warni berkelap-kelip, menciptakan suasana riuh yang penuh dengan tawa, suara gelas beradu, dan obrolan orang-orang kaya yang menikmati malam.
Clara duduk di sebelah Bryan di area VIP, berusaha menyesuaikan diri dengan lingkaran pertemanan Bryan yang asing baginya. Mereka semua tampak begitu bebas, tertawa keras, berbicara tentang bisnis, mobil sport, atau perjalanan mewah mereka.
Namun entah mengapa, Clara merasa tidak nyaman.
Bukan karena lingkungan ini benar-benar asing, tetapi karena ada sesuatu yang membuatnya resah, cara beberapa orang memandangnya, bagaimana Bryan seolah ingin menunjukkan dirinya sebagai pria yang beruntung karena memiliki Clara di sisinya.
“Kau belum minum apa pun,” kata Bryan, menyadari kegelisahannya. Ia tersenyum, lalu melirik seorang pelayan. “Bawakan minuman terbaik untuk pacarku.”
Clara tersenyum tipis. “Aku belum terbiasa minum alkohol.”
“Tidak masalah. Ini hanya minuman ringan,” ujar Bryan meyakinkan.
Selama ini, orang tuanya dan juga Ziyo selalu menjauhkannya dari hal-hal negatif, termasuk tempat hiburan malam dan alkohol. Bukan berarti lingkungan ini benar-benar asing baginya, ia pernah menghadiri beberapa acara formal dengan minuman beralkohol, tapi ada sesuatu yang membuatnya resah malam ini. Cara beberapa orang memandangnya dengan sorot mata yang sulit ia artikan, bagaimana Bryan seolah ingin memamerkannya sebagai trofi di hadapan teman-temannya, semua itu terasa janggal.
Berbeda saat ia bersama Ziyo. Saat mendampingi pria itu, ia selalu mendapatkan tatapan hormat, seolah kehadirannya memiliki nilai lebih dari sekadar wajah cantik atau tubuh yang menarik. Bersama Ziyo, ia merasa dihargai sebagai pribadi, bukan sekadar pendamping seorang pria sukses. Namun malam ini, di sisi Bryan, ia merasa seperti seseorang yang dinilai hanya dari luarnya saja, dan itu membuatnya tidak nyaman.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Hania pergi ziyo ada yg hilang walaupun tidak bs melihat wajah hania ziyo bs merasakan ketulusan hania walaupun ada yg disembunyikan hania....
Dalang utama adalah diva ingin mencelakai ziyo dan pura2 baik didepan ziyo bermuka dua diva ingin menguasai perusahaan.....
Dasar ibu diva hanya mementingkan diri dan tidak mementingkan kebahagiaan Zian..
Diva tidak akan tinggal diam pasti akan mencelakai ziyo lagi....
bagus hania bantu ziyo sembuh dan pulih lagi musuh msh mengincar ziyo....