Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25-Ikhtiar
Aku terbangun saat azan subuh berkumandang. Mengikat rambut asal lantas bergegas untuk membersihkan diri, sebelum menunaikan kewajiban. Aku mendapati secarik kertas di atas nakas, tepat setelah aku selesai melaksanakan salat.
Abang ke masjid sebentar.
Hanya ada empat kata itu yang tertulis. Aku pun kembali menyimpannya ke tempat semula. Seingatku semalaman aku tidur ditemani Mama, tapi kenapa pula ada secarik kertas mampir di sana?
Apa mungkin Bang Fariz dan Mama bertukar posisi, di saat aku sudah dalam keadaan terlelap di alam mimpi.
Tak ingin bergelut dengan segala asumsi, aku pun bergegas ke dapur. Pasti saat ini Mama sedang repot mempersiapkan sarapan, karena Bi Sri masih izin tidak masuk.
Di dapur sudah ada Mama dan juga Tante Nadia yang begitu kompak memasak. Mereka bisa seakur itu. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang buruk sebelumnya.
Aku benar-benar tidak habis pikir.
"Ada yang bisa aku bantu?" tawarku berhasil memecah fokus mereka.
"Lebih baik kamu duduk manis aja, tunggu masakannya matang," sahut Mama.
"Aku maksa lho ini, gak bisa ditolak," ucapku yang disambut kekehan oleh keduanya.
"Ya udah sini, bantu kupas udang." Tante Nadia menyambut hangat kehadiranku.
Aku pun segera mengikuti instruksi Tante Nadia. Urusan mengupas udang merupakan hal yang mudah, aku sudah terbiasa.
Kegiatan kami benar-benar terasa menyenangkan, karena diisi dengan canda dan juga tawa. Mungkin ini yang dinamakan ikhlas dalam menyikapi takdir. Ketenangan dan kerukunan akhirnya menghampiri.
"Oh, ya Mbak Rumi ke mana? Kok aku belum lihat," kataku setelah meletakkan nasi serta beragam lauk pauknya di atas meja.
"Ke masjid sama Fariz. Memangnya kamu gak tahu?" ungkap Tante Nadia sedikit heran.
Aku cukup terkejut, tapi sebisa mungkin aku menetralkan mimik wajah agar terlihat biasa saja. "Astagfirullahaladzim, lupa, Tan, padahal tadi Bang Fariz izin dulu sama aku."
Mama menggeleng kecil saat aku memilih untuk berbohong.
"Arum memang terbiasa salat jamaah subuh di masjid. Karena itu juga dia ketemu Rezza, satu-satunya pemuda yang ada di antara bapak-bapak," terang Tante Nadia.
Mas Rezza memang pejuang subuh, sebisa mungkin dia menunaikan kewajibannya di masjid. Sisi baik yang tidak semua laki-laki miliki. Namun, sayang imannya tidak cukup kuat untuk menghindari 17:32. Sangat disayangkan.
"Kapan Rezza dan Arum menikah?" tanya Mama seperti berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
Tante Nadia tersenyum tipis. "Belum ada kelanjutan lagi, salah saya karena terlalu ikut campur ihwal mahar. Sepertinya Rezza mundur, karena Arum gak pernah cerita lagi."
Mendengar penjelasan Tante Nadia, aku jadi teringat dengan cincin yang Mbak Rumi titipkan. Benda itu masih berada di tanganku, bahkan aku belum sempat meluruskan kesalahpahaman di antara mereka, karena terlalu pusing dengan masalah Bang Fariz.
"Mas kamu memilih mundur, Nia?" tanya Mama kini beralih padaku.
Aku menggeleng lemah. "Aku gak tahu, Ma, belum ketemu Mas Rezza lagi."
"Lho, Rezza kakak kamu? Tante kok baru tahu."
Aku mengangguk dan tersenyum kikuk.
Hubungan Mas Rezza dan Mbak Rumi memang sedikit aneh. Mereka pacaran lama, tapi tidak pernah melibatkan keluarga. Sesekali Mbak Rumi main ke rumah, begitupun sebaliknya. Tapi, para orang tua belum pernah berjumpa. Padahal, pembahasan mahar sudah sangat menghebohkan.
"Tante titip pesan yah sama Rezza dan orang tua kalian. Tentang mahar yang Tante pinta, akan Tante tarik lagi. Secepatnya Tante akan menemui orang tua kalian untuk mengatakan permohonan maaf secara langsung," tutur Tante Nadia terdengar sangat menyesal.
"In syaa allah nanti aku sampaikan."
Suara salam dengan dibarengi kedatangan Bang Fariz dan juga Mbak Rumi menghentikan perbincangan kami.
Kuambil alih sajadah yang tersampir di bahu Bang Fariz seraya berkata, "Aku simpan dulu ke kamar."
Bang Fariz menahan tanganku, lantas menggenggamnya. "Fariz ke kamar dulu sebentar," pamitnya sebelum melangkah pergi.
Aku tak memprotes, takut mengundang kecurigaan. Meskipun Mama sudah tahu, tapi Tante Nadia dan juga Mbak Rumi jangan sampai mengetahuinya.
"Pertama, Abang mau menjelaskan, kalau Abang gak sengaja papasan sama Arum saat mau berangkat ke masjid. Kedua, Abang juga gak pulang barengan, ketemu di depan pintu karena Arum sungkan untuk masuk. Ketiga, Abang minta maaf karena gak bangunin kamu. Abang gak tega lihat kamu nangis semalaman, dan baru tidur beberapa jam. Keempat, Abang minta maaf tentang semalam, Abang akan berusaha untuk memperbaiki semuanya. Abang akan lebih memahami dan mengerti kamu."
Aku memilih untuk tetap bungkam dan duduk di tepi ranjang. Emosiku kembali naik pitam, saat mengingat kejadian semalam.
Meskipun sebenarnya aku penasaran, dari mana Bang Fariz tahu kalau semalam aku menangis sampai akhirnya ketiduran, dan hanya terpejam sebentar?
Bang Fariz memilih duduk di lantai dan memegang tanganku. "Abang tahu kata maaf gak akan bisa mengubah semua kesakitan dan rasa malu kamu. Abang juga sadar, kalau tindakan Abang sudah sangat keterlaluan. Tapi, Abang mohon, kasih Abang kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Mataku kembali memanas dan mengeluarkan cairan bening. Dengan cepat aku pun mengalihkan pandangan, tak ingin terlihat lemah di depannya.
Bang Fariz merogoh sesuatu yang ada di dalam sakunya, lantas memberikan benda tersebut padaku. "Berapa pun yang kamu butuhkan ambil, kamu bisa pakai ATM Abang sesuka hati kamu, Abang juga akan kasih tahu jumlah tabungan, serta aset yang Abang miliki. Apa pun yang kamu mau akan Abang turuti. Abang gak mau kehilangan kamu, Kirania."
Aku kembali meletakkan dompet itu ke tangannya. "Bukan ini yang aku butuhkan. Aku hanya ingin Abang terbuka sama aku. Nggak ada sedikit pun keinginan untuk memonopoli harta yang Abang miliki."
Kutarik tangannya dan meminta Bang Fariz untuk duduk di sisiku. Pandangan kami terkunci beberapa saat. "Pernikahan kita akan menginjak tahun pertama, tapi Abang tidak terbuka masalah gaji yang Abang terima setiap bulannya. Aku hanya ingin tahu, dari mana sumber uang yang Abang dapatkan, berapa banyak uang yang Abang hasilkan, ini bukan soal nominal tapi tentang kehalalan dan keberkahannya."
"Aku bisa menahan lapar di dunia, tapi aku gak akan pernah bisa menahan panasnya siksa api neraka. Aku berhak tahu, apakah nafkah yang Abang kasih merupakan uang yang halal atau bukan. Apakah nafkah yang Abang berikan sesuai dengan kemampuan Abang atau nggak. Aku gak mau memberatkan Abang jika nafkah yang selama ini Abang kasih jumlahnya terlalu besar. Hanya itu. Nggak lebih."
Bang Fariz menatapku sangat lekat. "Kalau kamu mengkhawatirkan soal itu, in syaa allah uang yang Abang dapat halal dan juga berkah. Abang nggak akan mungkin tega memberikan nafkah yang haram untuk istri Abang."
"Aku gak mau tahu tentang harta dan aset yang Abang miliki. Itu milik Abang. Nggak ada sedikit pun hak aku di sana. Kecuali nafkah yang wajib untuk Abang penuhi. Selebihnya aku gak mau tahu."
"Kamu mau maafin kesalahan Abang, kan? Abang nggak mau masalah ini semakin membesar dan berkepanjangan."
Aku mengangguk singkat.
"Kamu masih marah sama Abang, kan? Pasti itu," sahutnya.
Aku menggeleng. "Marah nggak, kesel iya."
Tanpa tahu malu Bang Fariz malah merengkuh tubuhku. Aku tak merespons, hanya terdiam dan menajamkan indra pendengar karena Bang Fariz yang tiada henti menggaungkan permohonan maaf.