Sekuel off 'Pesona Mama Mertua Muda'
Wajib baca season satu duluan ya ≧∇
"Duniaku ikut mati tanpamu."
Kehidupan Javas hancur saat wanita yang paling dicintainya meninggal. Ia mencoba melarikan diri, menyingkir dari tempat yang menenggelamkan banyak jejak kenangan tentang wanita itu.
Namun, ia tak bertahan lama, Isvara selalu tinggal di kepalanya, sehingga pria itu memutuskan kembali.
Hanya saja, apa jadinya jika Isvara yang mereka pikir telah meninggal—justru masih hidup? Bisakah Javas menggapai dan melanjutkan hidupnya bersama wanita itu lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Donacute, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30 | Bicara Dengan Chilla
Sheva kembali ke ruang tamu bersama Isvara, ternyata gadis kecil itu mencari gunting di kamarnya. Gunting yang akan dia gunakan untuk membuka kadonya, tetapi sudah mencari di kamarnya Sheva malah tidak menemukan apapun. Sampai sang Bunda membantunya mencari gunting itu, barulah gunting itu ketemu dan bisa dibawa ke ruang tamu untuk membuka kadonya.
Gadis kecil itu membawa guntingnya saat menghampiri Javas, Javas yang tidak tahu maksud Sheva yang sebenarnya bingung dengan alasan anak itu mengapa sampai membawa gunting segala.
"Sheva sayang, kenapa kamu bawa gunting? Itu bahaya loh, gimana kalau guntingnya kena tubuh kamu, sayang? Jadi guntingnya Papa bawain aja," katanya dengan lembut, tanpa penolakan Sheva memberikan guntingnya pada Javas.
"Guntingnya mau dipake buka kado, Pa. Papa bantuin Sheva buka kado," jelas gadis kecil itu saat guntingnya sudah berpindah ke tangan Javas. Javas menatap Isvara seolah bertanya bolehkah kadonya dibuka sekarang? Tidak lama kemudian, Isvara mengangguk. Gadis cantik itu ternyata mengerti apa yang Javas tanyakan walaupun bertanya-nya lewat tatapan mata saja.
"Yaudah, ayo Papa bantuin buka kadonya." Javas benar-benar membantu Sheva membuka semua kadonya, mereka berdua terlihat serasi seperti pasangan Ayah dan Anak.
Chilla semakin cemburu dibuatnya, ia memilih untuk keluar dari rumah Isvara. Dari pada dirinya harus melihat pemandangan yang bisa membuatnya iri, soal iri sebenarnya sangat wajar Chilla merasakannya. Jika berada diposisi Chilla pun, mungkin mereka juga bisa merasa iri juga.
Isvara melihat hal itu langsung menyusulnya, gadis itu tahu alasan Chilla memilih untuk menjauh. Isvara memutuskan bicara dari hati ke hati dengan Chilla, agar tidak menjadi masalah dikemudian hari.
"Chilla," panggil Isvara lembut. Chilla menoleh ke samping, sebelumnya ia sudah mengelap air matanya dulu agar tidak ketahuan habis menangis lagi.
"Iya, Kak. Ada apa? Kakak kok malah ke sini, enggak gabung sama yang lain?" tanyanya seolah tidak ada yang terjadi.
"Aku mau bicara berdua sama kamu, boleh?" Chilla mengangguk, ia juga memang tidak keberatan untuk bicara berdua. Isvara mengajak Chilla berbicara di depan warungnya saja, toh warungnya masih ditutup.
"Aku tau apa yang kamu rasakan, sangat wajar kok kalau kamu nggak suka Papa kamu kasih perhatian ke anak lain. Apalagi sampai anak itu panggil Papa kamu dengan sebutan Papa sama seperti kamu, aku mengerti sangat tidak mudah untuk kamu menerimanya."
"Kak, aku nggak gitu kok," elaknya.
Isvara malah tersenyum saat mendengar Chilla berusaha mengelak, padahal apa ia yakin apa yang dikatakannya pada Chilla adalah kebenarannya. "Akui aja nggak papa kok, aku udah bilang itu wajar. Aku nggak minta kamu memakluminya, nanti biar aku bilangin Sheva biar nggak terlalu dekat sama Papa kamu. Juga panggilan Papa itu, aku pastikan nggak akan lama. Aku tau membuat Sheva menurut soal itu tidak mudah, tapi aku akan melakukannya agar semuanya jadi enak."
Chilla menggenggam tangan Isvara. "Kak kenapa Kakak baik banget? Kenapa kakak harus mikirin perasaan aku juga, padahal Sheva itu anak Kakak sendiri. Harusnya Kakak hanya mikirin Sheva aja."
"Bukan cuma Sheva yang punya perasaan, kamu juga punya perasaan Chilla. Kakak menghargainya, Kakak tahu sekali rasanya. Karena sejak kecil Kakak sudah dipaksa mengalah pada Ineisha, untuk persoalan kasih sayang. Hingga orang tua Kakak hanya memberikan sedikit kasih sayang pada Kakak, sedangkan untuk Ineisha lebih banyak. Padahal Ineisha dan Kakak hanya berbeda satu tahun saja," ceritanya sambil mengingat masa lalu.
"Aku akui, aku iri sama Sheva, Kak. Sejak kecil aku memang punya Papa, tapi sosoknya nggak pernah ada. Papa nggak pernah perhatian sama aku dan Chio, yang sayang sama aku cuma Mama dan Oma doang. Papa selalu sibuk entah urusan kantor atau urusannya sendiri yang aku nggak tau apa, sedangkan sekarang Sheva bisa merasakan kasih sayang yang tulus dari Papaku. Digendong sama Papa, sedangkan aku belum pernah merasakannya sekalipun," cerita Chilla panjang lebar sambil menangis, jika dibandingkan ya memang lebih enak Chilla karena tetap mendapatkan kasih sayang dari Mamanya. Sedangkan Isvara, baik Papa dan Mamanya hanya fokus pada Ineisha saja. Jika tidak ada ketiga sahabatnya, mana mungkin Isvara sanggup menjalani hidupnya.
Namun, Isvara sama sekali tidak ingin membandingkannya. Karena baik dirinya maupun Chilla sama-sama pernah merasakan hal yang tidak enak sewaktu kecil.
Jujur Isvara sedikit tidak percaya dengan cerita Chilla, karena ia bisa melihat ketulusan dari Javas pada Sheva. Jika cerita Chilla benar adanya, kenapa Javas bisa memberikan kasih sayangnya ke anak orang lain. Sedangkan ke anaknya sendiri pria itu tidak melakukannya, sungguh ironi bukan?
"Maafin Sheva ya, maafin anak Kakak karena udah buat kamu merasa sedih. Nanti pelan-pelan Kakak akan kasih tau Sheva biar nggak terlalu dekat sama Papa kamu," ujar Isvara tulus. Chilla menatap Isvara dengan perasaan yang tidak dapat ia deskripsikan, gadis itu tahu apa yang Isvara katakan pasti akan dilakukannya. Karena Isvara sendiri bukan type yang cuma ngomong doang tapi malah tidak melakukan apa-apa.
Chilla menggeleng pelan, ia tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Isvara. "Enggak usah, Kak. Mungkin akunya aja yang harus membiasakan diri, kalau Kakak nikah sama Papaku. Otomatis Sheva jadi anak Papaku, jadi ya Sheva wajar mendapatkan perhatian dari Papa."
"Memang siapa yang mau nikah sama Papa kamu, Chilla? Aku belum siap nikah sama siapapun, apalagi Papa kamu yang udah punya istri. Aku nggak mau jadi istri kedua juga, cukup waktu itu aja. Itupun cuma pura-pura, tapi aku udah ngerasa nggak enak banget sama Mama kamu, Chill. Jadi hal itu nggak akan mungkin, aku yakin bisa kok urus Sheva sendiri."
"Kak Isvara, nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini. Semua bisa terjadi, sekarang aja Kakak bilang nggak mau sama Papa. Tapi nggak tau nanti 'kan? Lagi pula Mama udah setuju kalau madunya itu Kakak, kalau perempuan lain baru deh Mama nggak setuju. Memang awal-awal berat bagi Mamaku, tapi Mamaku udah mulai terbiasa dan ikhlas kok, Kak. Jadi Kakak nggak perlu khawatir sama Mamaku. Bahkan Mamaku sendiri yang dulu nasehati aku buat nggak benci sama kamu, Kak."
Mendengar cerita Chilla tentang mamanya, bukan membuat Isvara yakin pada Javas. Ia malah merasa kasihan pada istri Javas itu, tetapi Isvara juga sadar bahwa Kalila itu orang yang baik tidak seharusnya wanita merasakan kesedihan terus menerus.
"Pernikahan Papa dan Mama itu sejak dulu nggak pernah bahagia, Kak. Hubungan mereka sangatlah buruk dan tidak bisa diperbaiki lagi, jadi Mama hanya bisa pasrah dengan pernikahannya. Dan aku, jika Papa memang bisa bahagia dengan Kakak aku nggak akan menghalanginya. Mungkin setelah Papa bahagia, Mama bisa menyusul mendapatkan kebahagiaannya walau aku belum tau caranya gimana."
Isvara yang pernah tinggal serumah dengan Javas dan Kalila memang tahu pernikahan keduanya tidak seperti pernikahan pada umumnya, tetapi ia tidak tahu alasan mereka tetap bertahan pada pernikahan yang rusak bahkan katanya tidak bisa diperbaiki lagi. Padahal mereka bisa cerai.
"Bagaimana pun pernikahan Papa dan Mama kamu, aku benar-benar nggak ada niatan untuk menjadi orang ketiga di pernikahan mereka. Jadi kalau kamu mau Papa kamu bahagia, cari kebahagian lain saja yang nggak ada hubungannya dengan aku, Chil," tegasnya sebelum masuk kembali ke rumah karena sudah dipanggil oleh Amara. Chilla memilih mengikuti Isvara dari belakang, ia akan berusaha bersikap biasa saja.