Ellara, gadis 17 tahun yang ceria dan penuh impian, hidup dalam keluarga yang retak. Perselingkuhan ayahnya seperti bom yang meledakkan kehidupan mereka. Ibunya, yang selama ini menjadi pendamping setia, terkena gangguan mental karena pengkhianatan sang suami bertahun tahun dan memerlukan perawatan.
Ellara merasa kesepian, sakit, dan kehilangan arah. Dia berubah menjadi gadis nakal, mencari perhatian dengan cara-cara tidak konvensional: membolos sekolah, berdebat dengan guru, dan melakukan aksi protes juga suka keluyuran balap liar. Namun, di balik kesan bebasnya, dia menyembunyikan luka yang terus membara.
Dia kuat, dia tegar, dia tidak punya beban sama sekali. itu yang orang pikirkan tentangnya. Namun tidak ada yang tahu luka Ellara sedalam apa, karena gadis cantik itu sangat pandai menyembunyikan luka.
Akankah Ellara menemukan kekuatan untuk menghadapi kenyataan? Akankah dia menemukan jalan keluar dari kesakitan dan kehilangan?
follow ig: h_berkarya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa yang tidak aku ketahui?" ~ Gavin
Mobil yang di tumpangi Ellara kini sudah sampai di parkiran rumah sakit.
“Kamu tunggu di sana saja!” perintah Ellara pada Arkana. Gadis itu menyuruh Arkana untuk menunggunya di kafe yang ada di sekitar sana.
“Tapi aku mau ik__” kalimat Arkana terpotong saat mata tajam Ellara memandangnya. Dia tidak bersuara, melainkan hanya melihat begitu saja berhasil membuat Arkana diam.
“Baiklah, aku menunggu di sana” putus pria itu dengan berat hati pada akhirnya.
Ellara berjalan masuk, langkahnya terlihat sangat cepat, hingga sampai di depan ruang Dokter Nadia, dia mengetuk pintu pelan.
“Masuk” suara dokter Nadia dari dalam terdengar.
“Ellara” Dokter Nadia langsung berdiri dari kursinya kala melihat Ellara yang berdiri seperti patung di depannya. Wanita paruh baya itu menghampiri, memperhatikan wajah Ellara yang terlihat berbeda.
“Kamu, kambuh lagi?” tanya dokter Nadia, dia menuntun Ellara untuk duduk di sofa. Ellara tidak menjawab, tapi kaki serta tangannya terlihat bergetar.
“Mama....” lirih Ellara dengan suara tertahan. Gadis itu terguncang, fakta tentang mamanya gila itu beber di sekolah, dan itu membuatnya tak bisa mengendalikan diri.
Tatapannya kosong, air matanya menggenang.
“Ella, kamu kenapa sayang?” tanya dokter Nadia menatap cemas. Untuk kesekian kalinya dia menyaksikan Ellara menangis pilu seperti ini. Sakit yang gadis itu rasakan seolah di bagi bagi padanya, wanita paruh baya itu ikut meneteskan air mata melihat Ellara seperti ini.
Dia merengkuh tubuh gemetar itu, memeluknya penuh kasih sayang. Ellara tidak bercerita, tapi dia bisa merasakan apa yang Ellara rasakan.
.
.
Mobil Gavin berhenti di seberang jalan, sekitar kedai pak Toni. Dia berjalan mendekat, melihat banyak sekali para ibu ibu yang datang mengantri disana.
“Pak, pesan rujak asin, di bungkus ya!” Gavin memesan sesuai keinginan maminya.
“di tunggu ya, ngantri soalnya” jawab pak Toni, pria tua itu masih sibuk membuat pesanan orang orang sebelumnya.
Gavin mengangguk, perlahan dia duduk di sebuah bangku yang memang di sediakan disana.
“Serius anak itu pesan rujak? Mana pesannya banyak lagi, rujak buah asin pula, apa dia tengah hamil?”
“hahahhah, jangan ngada ngada, emang tunggu orang hamil gitu makan rujak? Semua orang juga boleh kali” suara ibu ibu yang julid terdengar. Mereka menatap heran pada Gavin, pasalnya di sana hanya ada dia seorang prianya, yang lain adalah ibu ibu kompleks.
“Istrinya kali yang hamil..”
“Masa iya anak sekolah sudah beristri, kalian terlalu banyak nonton drama deh, mungkin emaknya kan!”
“jangan salah, banyak anak anak jaman sekarang yang nikah muda, di jodohkan orang tuanya, menikah diam diam, kan banyak kejadian begitu sekarang. Mungkin bocah itu salah satunya”
“omong omong, anak itu ganteng banget, dia telat lahir apa aku yang kecepatan sih..” dari berbagai kalangan, baik ibu ibu genit, julid, dan lainnya terkumpul disana semua. Dan lebih parah lagi, mereka bicaranya sangat keras hingga telinga Gavin mendengar semuanya.
Hendak marah, tapi Gavin tidak bisa melakukan itu. Entar dia benaran di anggap gila oleh mereka. Toh apa yang mereka bicarakan tidak sesuai fakta.
“ini dek, pesanannya..” Gavin mengelus dadanya pelan kala mendengar Pak Toni yang memanggilnya.
Dia berdiri, membayar pesanannya lalu segera berlalu kembali ke dalam mobil.
.
.
RS Sriwijaya.
Gavin berjalan pelan, menyusuri lorong rumah sakit. Di tangannya, dia menentang sebuah kantong berisi rujak yang di pesan oleh maminya tadi.
Hingga tepat di depan ruangan pribadi maminya, Gavin berhenti sejenak. Kepalanya tertarik mendekat ke dalam, mendengar isak tangis seseorang. Pintu ruangan yang tidak sempat di kunci sepenuhnya membuat suara tangisan itu terdengar di depan ruangan.
“Sudah puas nangisnya, Ellara? Sekarang, kamu bisa ceritakan apa yang terjadi?” Gavin semakin mempertajam pendengarannya saat mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Ellara, ya gadis itu yang ada di ruangan maminya. Perlahan, Gavin mendorong sedikit pintu ruangan, melihat dua sosok yang selalu ada di hatinya itu.
Bisa dia lihat, mata sembab Ellara.
“Aku hanya butuh obat itu dok, persediaan obat ku sudah habis..”
“Tapi, kamu tidak bisa terus terusan bergantung pada obat Ellara, kamu harus cerita. Ceritakan semua beban yang ada, ceritakan hal yang membuat kamu seperti ini, percayalah, kamu akan merasa lebih baik setelahnya.. kamu hanya sebut mama, sebenarnya apa yang terjadi? Kamu bisa cerita pada aku, anggap aku sebagai mama kamu, sayang..” Pinta dokter Nadia terdengar lembut.
“Setidaknya aku perlu tahu pemicunya Ellara, ini tidak akan sembuh jika kamu tidak berani buka suara, kontrol emosi kamu akan terus seperti ini, kamu butuh tempat dan orang untuk mendengarkan semua cerita kamu, jika bukan aku, mungkin teman kamu Ella..” sambung dokter Nadia menatap sendu pada Ellara.
Ellara menggeleng pelan, kemudian tersenyum,
“Aku merasa lega sudah menangis di pelukan dokter, itu sangat membantu, terima kasih banyak dok..” pada akhirnya, dokter Nadia hanya membalas senyuman itu dengan usapan lembut di kepala Ellara. Dia juga memberikan resep obat yang Ellara butuhkan. Setelahnya, gadis itu pamit keluar dari ruangan dokter tersebut.
Gavin dengan cepat membalikkan badannya, dia berharap Ellara tidak akan melihat dirinya ada di sana dan mencuri dengar percakapan mereka dengan maminya. Setelah dia pastikan Ellara sudah pergi, cepat cepat Gavin masuk ke dalam ruangan maminya.
“Gavin, kenapa lama sekali?” tanya mami Nadia, dia mendekat menjewer telinga Gavin.
“shttttt ampun Mi, tadi antri di sana, jadi agak lama Gavin sampainya. Btw, aku pamit dulu ya mam, ini rujaknya, byeee” pria tampan itu mencium pipi maminya lalu berlari keluar ruangan dalam sekejap. Hal itu membuat sang mami hanya menggeleng pelan melihat tingkahnya.
Gavin kembali mengejar Ellara yang kali ini masih dalam pantauannya. Mengikuti gadis itu, hingga sampai di parkiran, Gavin kembali melihat Ellara bersama Arkana yang entah sejak kapan ada di sana.
Mengikuti mereka berdua, hingga Gavin di buat melongo saat melihat mobil yang di tumpangi Ellara berhenti tepat di depan gedung rumah sakit jiwa.
“Apa yang tidak aku ketahui?” gumannya menatap lurus ke depan dengan wajah datar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kenapa diam? Anda sudah menyadarinya? Ya sudah, aku ke kam—"
Koreksi sedikit ya.