Di sekolah, Dikta jatuh hati pada gadis pengagum rahasia yang sering mengirimkan surat cinta di bawah kolong mejanya. Gadis itu memiliki julukan Nona Ikan Guppy yang menjadi candunya Dikta setiap hari.
Akan tetapi, dunia Dikta menjadi semrawut dikarenakan pintu dimensi lain yang berada di perpustakaan rumahnya terbuka! Pintu itu membawanya kepada sosok gadis lain agar melupakan Nona Ikan Guppy.
Apakah Dikta akan bertahan dengan dunianya atau tergoda untuk memilih dimensi lain sebagai rumah barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellowchipsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siswi Populer Pindah Kelas
...٩꒰。•‿•。꒱۶...
...𝙏𝙐𝘼𝙉 𝙆𝙐𝘿𝘼 𝙇𝘼𝙐𝙏 & 𝙉𝙊𝙉𝘼 𝙄𝙆𝘼𝙉 𝙂𝙐𝙋𝙋𝙔...
...© Yellowchipsz...
...—Hadirnya menjadi candu penawar sendu.—...
...꒰●꒡ ̫ ꒡●꒱...
"Tata, jangan begitu! Terima uang ini untuk Tata!" cemas nenek atas penolakan Dikta.
Luka hati memencar ke segala badan buana hingga Semesta mendengarkan permintaan batin Dikta. Ombak menggulung ganas sebagai tanda persetujuan.
Kembalikan abangku, sekali saja.
Para pelaut itu terus membujuk agar Dikta menerima hadiah terakhir dari kerja keras Dirham dengan lapang hati.
Dikta menggeleng kuat. "Kalian semua sudah tega membiarkan abangku kesulitan sendirian! Katanya kalian temannya? Kalian cuma sibuk dengan urusan masing-masing! Lagipula, untuk apa uang segini? Nggak akan cukup dengan nyawa bang Dirham! Abangku ... masih belum pergi!"
Dikta enyah dari hadapan semuanya untuk mengungkapkan rasa tidak ikhlas menuju bentangan air asin. Langkah kakinya membubarkan pasir pantai yang berada di belakang rumah. Lajunya kian tergopoh menghampiri pesisir laut yang masih sangat sepi.
Sentuhan laut menyapa jemari kaki Dikta yang tanpa alas, sampai basah ke celana abu-abunya. Napasnya sesak merunjam saluran pernapasan dibarengi dengan bulir deras yang mengguyuri kulit di setiap sisi wajahnya.
Sejujurnya, Dikta masih belum ikhlas dengan kepergian abang satu-satunya, miliknya yang tak terhingga berharga. Selalu ia merindu berat, apalagi ketika hujan turun.
"Abang nggak pergi selamanya," lirih Dikta memucat dengan netra tak kunjung kering. Tatapannya begitu jauh sampai ke penjuru laut.
Dikta tidak peduli jika terlambat ke sekolah, hatinya tercabik lagi.
"Abang pasti masih berlayar jauh, dan nanti akan kembali ke rumah. Lalu, melemparkan bantal kuda laut ke mukaku," lantur Dikta. Dia habiskan waktu di sana, berharap para pelaut itu pergi dari rumahnya.
Nenek malah datang mengejarnya dan membuat Dikta makin terisak disaksikan lautan. Meski Stratocumulus sedang tidak menebarkan hujannya, tapi bagi Dikta ... air mata nenek saat ini menjadi hujannya.
"Tata ..., ikhlaskan abangmu, Nak," mohon nenek sembari memegangi kedua pipi Dikta yang basah.
"K-kalau aku nggak bisa ikhlas selamanya ... gimana, Nek? Kenapa bukan aku aja yang-"
Telunjuk nenek segera menghentikan perkataan Dikta yang tidak boleh dilanjutkan.
"Ditinggal bang Dirham, sangat sakit, Nek ...," isak Dikta kelewat sesak gara-gara kehadiran para nahkoda atau pelaut gagah tadi. Dikta rindu ingin melihat abangnya mengenakan seragam jangkar seperti itu lagi.
“Nenek juga sakit, apalagi melihat Susu Cokelatku terluka terus-terusan seperti ini,” tangis nenek tidak tahu lagi harus bagaimana.
“Bang Dirham udah janji sama aku, Nek. Dia udah janji saat pulang akan makan pangsit buatan nenek … bersamaku di pantai ini. Dan sampai sekarang aku masih menunggunya untuk hal itu!!!” ungkap Dikta jerih.
Makin berderai air mata nenek mendengarnya. Telapak tangan kanannya segera mengusap dada Dikta yang mengadu sakit karena lukanya terbuka lagi. Diusapnya dengan lembut dan seolah memberi kekuatan pada cucunya, "Abangmu di sini, Sayang."
Lutut Dikta yang gemetar tak kuat menahan tubuhnya lagi. Wajahnya menangis di perut nenek yang hangat. Dia puas-puaskan lengkingannya untuk menghilangkan semua sesak yang hampir membunuh, sampai Dikta siap berangkat ke sekolah.
...꒰●꒡ ̫ ꒡●꒱...
SMA Permata Laut bersama bagaskara yang menyongsong tinggi dihiasi Cirrus penanda kecerahan.
08.20 🌤
Dikta baru bisa masuk ke kelas usai mendapatkan hukuman membersihkan daun di lapangan sekolah, karena terlambat. Dia pasrah jika akan diomeli guru matematika di pelajaran pertama. Namun, saat Dikta membuka pintu kelas ...
"Nah, baru datang!" semprot pak Satria yang sudah duduk di kursi guru.
Ternyata, ibu guru matematika tidak masuk sehingga titipan tugas disampaikan oleh wali kelas mereka—pak Satria—yang sedang kosong jadwal.
Dikta ingin merespons pak Satria dengan sahutan yang menjengkelkan, tapi sayang ... suasana hati Dikta benar-benar rusak gara-gara kejadian di rumah tadi.
"Dikta, kenapa baru masuk jam segini? Apa selama itu membersihkan daun di lapangan?!" kesal pak Satria, cemas juga.
"Saya tadi mampir ke toilet dulu, Pak," jawab Dikta lesu. Sebenarnya, di toilet sekolah, Dikta muntah banyak karena beban pikirannya. Sedahsyat itu efek tentang Dirham untuknya.
Semuanya cemas melihat wajah Dikta yang pucat. Lingga yang sudah masuk sekolah juga dengan mengenakan gips di lengan kirinya, pun tidak sepucat itu.
"WOY, JUARA TIGA!" tegur Lingga kesal.
"Pulang ini lo mati, LINGGIS!!!" balas Dikta jengah.
Puri sampai tercengang melihat Dikta yang masih marah. "Dikta, udah dong berantemnya sama Lingga."
"Cowok lo yang mulai duluan, Pur-ikan! Gue nggak selera ngelihat mukanya, apalagi lobang hidung Linggis tuh!" geram Dikta melengos.
"Anjir!!! Kesambet jin wece, lo?!" protes Lingga dengan muka masam, apalagi Dikta sudah menyebabkan tangannya cedera.
"LO YANG JIN WECE!!!" amuk Dikta dua kali lipat.
Beberapa murid sampai tersentak mendengarnya, termasuk pak Satria.
Tiba-tiba kepala Dikta sakit. Pikirannya saat ini bahwa percakapan barusan dengan Lingga seperti pernah terjadi di suatu tempat. Namun, di mana dan kapan? Aura di sekitarnya mendadak gelap dan menyesakkan jantungnya. Ah iya—kejadian itu ... ada di dalam buku milik bang Dirham.
"Dikta, duduk! Lingga, diam! Puri, tenang!" tekan pak Satria lelah menghadapi tiga sahabat yang kurang damai itu.
Dikta tersadar dari kerisauannya. Dia segera duduk di bangkunya yang mana menghadap pada bangku kosong di depannya. Bangku itu sudah cukup lama tak terisi karena sang empu sudah pindah sekolah. Biasanya Dikta akan meletakkan tas besarnya pada kursi kosong itu. Namun, baru saja melempar tasnya ke kursi depan ...
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan pelan pada pintu membuat atensi para murid menuju sumber suara.
"Permisi, Pak," ucap siswi yang akan memasuki kelas 12 IPA 2.
Semua murid laki-laki begitu heboh menyaksikan primadona sekolah lagi-lagi datang ke kelas mereka.
"OH, SAILA!" sambut pak Satria antusias sembari menyebut nama gadis itu.
Kepala Dikta serasa diguyuri air hujan saat mendengar nama indah itu disebut, lalu dia menoleh untuk memastikan kehadiran sosok yang menghebohkan kelas. Benar, itu adalah Saila, gadis 12 IPA 1 yang melihatnya berkelahi dengan Lingga waktu itu.
"Ayo, masuk. Duduk di ...," kata pak Satria mencari bangku yang tepat, "sini!" Pak Satria menunjuk bangku kosong di depan Dikta.
"Haaah???" heran Puri menganga tidak paham dengan apa yang terjadi.
Semua murid tercengang menyaksikan seorang gadis populer dan pintar—si Juara Dua Umum dari 12 IPA 1—masuk dan akan bergabung di kelas mereka. Gadis itu mengenakan tas yang dipenuhi gambar ikan-ikan guppy cantik, sampai membuat mata Dikta terharu dengan sendirinya.
"Manik-manik! Tas kamu mau bapak jual?!" sebal pak Satria yang menyadarkan lamunan Dikta.
Dikta grasa-grusu mengambil tasnya yang sempat berada di kursi depan, agar gadis bernama Saila itu bisa duduk di depannya.
Saila Guppy, gadis itu terkenal dengan kecantikan dan kecerdasannya, juga sifat agak cuek kepada orang yang tidak penting baginya. Banyak yang ingin mendekatinya, tapi tidak ada yang berhasil menjadi prioritasnya. Namun, ada satu murid laki-laki yang diisukan berpacaran dengannya, yaitu Arjuna Barz si Juara Satu Umum dari kelas 12 IPA 1.
*Note: Juara umum IPA adalah penilaian paling tinggi untuk keseluruhan kelas IPA, berbeda dengan juara kelas yang hanya unggul di satu kelas saja.
Semua warga 12 IPA 2 pun penasaran mengapa sosok Saila Guppy bergabung dengan mereka. Padahal, selama ini tidak pernah terjadi pertukaran murid di kelas mana pun.
Ada satu fakta yang membuat sosok Saila Guppy itu istimewa, dia adalah keluarga dari pemilik SMA Permata Laut.
"Saila, bisa ke depan sebentar, Nak?" pinta pak Satria ramah.
Saila mengangguk paham. Dia kembali berdiri dari bangku barunya, lalu tegak di depan kelas menghadap murid-murid lainnya.
Semua mata kini memandang kecantikan Saila Guppy dari atas sampai ke bawah. Seragamnya pun sangat rapi. Namun, hari ini dia tidak berpenampilan dengan poni gordennya. Poninya diberai menjadi dua sisi, kanan dan kiri. Kesannya dia terlihat lebih anggun dan keren.
Dikta membatin gugup, Hari ini dia nggak pakai poni, jidatnya cantik.
Tanpa memperkenalkan diri, semua murid juga sudah tahu nama Saila karena dia selalu dipanggil sebagai Juara Dua Umum di setiap semester.
Lingga mengembus napas tidak tenang dengan kehadiran Saila di kelas ini. Lingga adalah juara satu kelas 12 IPA 2, sekaligus juara tiga umum untuk sekolah. Tentu saja hal ini membuat Lingga bersaing secara langsung dengan Saila.
Jumlah kelas 12 IPA di SMA Permata Laut adalah lima kelas; yang paling ujung adalah 12 IPA 5; yang paling berprestasi adalah 12 IPA 1; dan yang paling gaduh adalah 12 IPA 2.
"Aku … Saila Guppy," ujarnya dengan nada imut, menerangkan namanya di depan kelas. “Semoga teman-teman sekalian menerimaku bergabung di kelas ini.”
Jantung Dikta kembang tengkuk mendengarnya, lalu ia membatin, Guppy ... lucunya. Bibirnya juga imut.
Murid-murid sampai tercengang melihat Saila tersenyum karena mereka jarang sekali menyaksikannya langsung ketika belajar. Ada apa dengan kelas 12 IPA 2 bagi Saila? Apakah Saila berubah dalam sekejap karena masuk ke kelas yang badung ini?
"Tuhan! Saila senyum ke gue!!!" teriak Asep—siswa yang duduk di belakang Dikta—kegirangan dan hampir pingsan melihat senyuman Saila. Hal itu membuat murid-murid lainnya heboh menyorakinya dan mengutuk Asep yang kepedean. Jika saja ada sebakul tomat, mungkin Asep sudah meninggal dilempari pakai buah merah itu sampai bengep.
Atensi Puri yang tajam malah mengetahui ke arah mana Saila tersenyum. Puri berdecih saat pandangan mata Saila tertuju ke arah Dikta yang sedang kebingungan.
Kegelapan yang Dikta rasakan pun berganti menjadi pancarona hingga ia membalas senyuman Saila.
Puri panas hati melihat pemandangan yang tidak dia sukai itu. Bisa-bisanya Dikta memberikan senyuman tulus kepada sosok Saila yang bukan siapa-siapa, bahkan Puri sudah lama tidak mendapatkan senyuman Dikta yang seperti tadi.
"Pak!" panggil Puri sebal menatap wali kelasnya. "Kenapa dia masuk kelas kita? Kan, dia IPA Satu!"
Bersambung ... 👑