Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28
Setelah rapat mendadak dengan tim IT dan hukum selesai, Dylan menerima informasi tambahan yang semakin memperumit situasi. Peretasan itu tidak hanya terjadi di kantor pusat di Tiongkok, tetapi juga berdampak pada cabang penting di London, salah satu pasar terbesar perusahaannya. Data pelanggan di sana juga terancam, dan beberapa mitra bisnis sudah mulai mempertanyakan keamanan produk mereka.
Clara, asistennya, mendekatinya dengan wajah tegang. "Pak Dylan, saya sudah memesan penerbangan komersial tercepat ke London, tapi... mungkin kita perlu menggunakan pesawat pribadi Anda agar bisa lebih cepat sampai."
Dylan mengangguk. "Baik, hubungi pilot saya dan siapkan pesawat. Kita berangkat dalam satu jam."
Dalam perjalanan ke bandara, Dylan terus berkomunikasi dengan timnya di London melalui konferensi video. Ia memberi arahan kepada kepala cabang untuk menahan dampak buruk dengan transparansi penuh kepada mitra dan pelanggan, sekaligus memastikan tim IT di sana bekerja sama erat dengan kantor pusat.
Setibanya di bandara, pesawat pribadinya, sebuah jet kecil yang sering ia gunakan untuk perjalanan bisnis darurat, sudah siap. Dylan naik dengan langkah tegas, membawa laptop dan berkas-berkas penting.
Di dalam pesawat, ia duduk di kursi utama dan langsung membuka laptopnya, melanjutkan diskusi dengan timnya. Sementara itu, pikirannya juga terus melayang ke berbagai arah. Masalah dengan Rose masih membebani hatinya, tetapi ia harus memprioritaskan krisis ini untuk saat ini.
Pilot menginformasikan bahwa perjalanan dari Tiongkok ke London akan memakan waktu sekitar 13 jam. Dylan memanfaatkan waktu itu sebaik mungkin, mempelajari laporan terbaru dan menyusun strategi mitigasi.
Namun, saat ia menatap layar laptopnya, kilasan wajah Rose muncul di pikirannya. Pesannya tadi terasa seperti peringatan yang tepat di saat hidupnya begitu penuh tekanan. Ia tahu, jika ia tidak menemukan keseimbangan dalam hidupnya, semuanya bisa runtuh—baik perusahaannya maupun hubungan pribadinya.
Pesawat mendarat dengan mulus di bandara internasional di Tiongkok. Dylan segera turun, disambut oleh tim cabang yang sudah menunggunya dengan kendaraan yang siap membawanya langsung ke kantor.
"Selamat datang, Pak Dylan," kata kepala cabang, Li Wei, dengan nada penuh hormat. "Kami sudah menyiapkan semua data dan tim inti sedang menunggu di ruang rapat."
Dylan mengangguk. "Bagus. Kita tidak punya waktu untuk kesalahan. Ayo, kita selesaikan ini."
Ia tahu, perjalanan darurat ini bukan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis, tetapi juga untuk membuktikan bahwa ia adalah pemimpin yang dapat diandalkan, meskipun di tengah badai yang menghantam hidupnya dari berbagai sisi.
***
Sudah dua minggu sejak Dylan tiba di London untuk menangani kasus peretasan data perusahaan. Waktunya dihabiskan untuk rapat panjang, diskusi strategis dengan tim, dan bernegosiasi dengan mitra bisnis yang kehilangan kepercayaan. Sementara itu, Rose, yang awalnya memahami kesibukan Dylan, semakin lama mulai merasa dilupakan.
Dylan benar-benar terserap dalam pekerjaannya. Setiap kali ia ingin menghubungi Rose, ada saja sesuatu yang mendesak. Malam-malamnya dihabiskan menatap layar laptop, membahas laporan terbaru, atau menyiapkan presentasi untuk mitra penting. Dalam pikirannya, ia selalu berjanji akan menelepon Rose "nanti," tapi "nanti" itu tak pernah datang.
Rose, di sisi lain, mencoba tetap sabar, tapi pesan-pesan singkatnya yang hanya dijawab dengan satu atau dua kata semakin membuatnya bertanya-tanya. Ketidakhadiran Dylan, baik secara fisik maupun emosional, memunculkan keraguan di hatinya. Setelah merenung cukup lama, ia akhirnya menarik kesimpulan: Dylan mungkin belum siap untuk hubungan serius seperti yang ia inginkan.
Sore itu, Rose duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang mulai gelap. Ia memegang ponselnya, melihat pesan terakhir dari Dylan yang hanya bertuliskan, "Aku sibuk, nanti aku kabari." Pesan itu dikirim seminggu lalu. Dengan hati yang berat, Rose mengetik sebuah pesan terakhir:
"Dylan, aku paham kalau pekerjaanmu sangat penting. Tapi hubungan kita membutuhkan perhatian yang sama. Aku rasa, ini saatnya aku melangkah mundur. Aku berharap yang terbaik untukmu."
Ia menekan "kirim" dan meletakkan ponselnya di meja. Rose merasa lega sekaligus sedih. Ia tahu, ini bukan karena Dylan tidak peduli, tetapi karena ia tidak mampu membagi fokus di antara banyak hal yang sedang ia hadapi.
Di London, Dylan sedang berada di ruang rapat bersama timnya ketika ponselnya bergetar. Ia mengintip layar dan melihat pesan dari Rose. Hatinya langsung mencelos. Ia ingin segera membalas, tetapi rapat terus berlangsung tanpa henti.
Baru beberapa jam kemudian, setelah semuanya selesai, Dylan akhirnya membaca pesan itu dengan penuh rasa bersalah. Ia menyadari betapa jauhnya ia terjatuh dalam rutinitas yang tanpa sadar membuatnya menjauh dari Rose.
Ia mengetik balasan:
"Rose, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku benar-benar terseret dalam pekerjaan dan tidak memberikan perhatian yang pantas untukmu. Beri aku kesempatan untuk memperbaikinya."
Namun, setelah menekan "kirim," Dylan hanya mendapat balasan singkat:
"Dylan, keputusan ini sudah kupertimbangkan matang-matang. Aku harap kamu memahami."
Dylan duduk diam, merasakan kehampaan yang tiba-tiba menguasai dirinya. Ia tahu ia harus menyelesaikan krisis ini, tapi ia juga tahu, ia mungkin telah kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya.
***
Dylan duduk diam di ruang kerjanya di cabang London, menatap kosong pada dokumen-dokumen yang berserakan di mejanya. Di luar jendela, lampu kota yang berkilauan hanya menambah kesan kesendirian yang ia rasakan. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ia pernah menghadapi hal yang serupa.
Saat itu, Dylan masih seorang pengusaha muda yang sedang berjuang membangun bisnisnya dari nol. Ia memiliki seorang kekasih, yang saat itu mendukungnya, tapi hanya sampai titik tertentu. Ketika karier mantan kekasih nya sebagai aktris dan model mulai melambung, ia memutuskan untuk meninggalkan Dylan, dengan alasan bahwa hidupnya terlalu sulit untuk diimbangi.
Kata-kata itu masih terngiang di benaknya:
"Aku butuh seseorang yang sudah mapan, Dylan. Aku tidak bisa terus bersabar menunggu kesuksesanmu datang."
Dylan ingat betapa hancurnya ia saat itu, tapi ia bertekad membuktikan bahwa ia bisa berhasil tanpa bantuan siapa pun. Bertahun-tahun kemudian, ia mencapai puncak kesuksesan, tapi luka dari pengkhianatan itu tetap ada. Dan kini, meskipun alasan Rose berbeda, rasanya tetap sama—seperti ditinggalkan karena ia tak mampu memenuhi ekspektasi.
Di ruangannya yang sunyi, Dylan menghela napas panjang. Ia memegang kepalanya, mencoba memahami apa yang salah. Ia tidak bisa mengabaikan pekerjaan, karena perusahaan ini adalah hasil kerja kerasnya bertahun-tahun. Tapi di sisi lain, ia juga tidak ingin kehilangan orang yang ia sayangi lagi.
“Kenapa ini selalu terjadi?” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Pikirannya semakin kacau. Ia merasa seperti dihantam oleh dua dunia yang bertabrakan—ambisi dan cinta. Dylan tahu ia harus menemukan keseimbangan, tetapi rasanya itu seperti tugas yang mustahil.
Beberapa menit kemudian, Clara, asistennya, mengetuk pintu. "Pak Dylan, semua orang sudah pulang. Anda tidak ingin istirahat?"
Dylan menggeleng. "Aku butuh waktu sendiri. Terima kasih, Clara."
Clara ragu sejenak, tapi akhirnya meninggalkan Dylan sendirian. Setelah pintu tertutup, Dylan kembali merenung. Ia bertanya-tanya apakah mungkin ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya sulit menjaga hubungan. Atau mungkin memang ini adalah harga yang harus dibayar untuk kesuksesan.
Namun, di tengah kekacauan pikirannya, ia tahu satu hal pasti: ia tidak ingin terus-menerus hidup dalam pola yang sama. Dylan menyadari, jika ia tidak mengubah caranya menjalani hidup, ia akan kehilangan lebih banyak lagi di masa depan—bukan hanya orang yang ia cintai, tapi juga dirinya sendiri.