Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema di balik pintu rumah
Hari-hari di rumah Dimas terasa semakin berat bagi Nanda. Setiap kali ia mencoba berbicara atau mempertanyakan perlakuan suaminya, Dimas hanya menanggapi dengan amarah yang tak terkendali. Keheningan di rumah mereka seolah menjadi benteng kokoh yang menghalangi setiap kemungkinan perubahan. Nanda merasa dirinya semakin kehilangan arah.
Suatu sore, Nanda duduk termenung di balkon rumah, menatap langit yang perlahan berubah menjadi merah keemasan. Hatinya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Kenapa aku harus menjalani semua ini? pikirnya. Ia ingin sekali melarikan diri, tetapi ia tahu itu tidak mudah. Setiap kali ia berpikir untuk kabur, bayangan Dimas yang marah dan kekuatan keluarganya yang penuh kontrol membuatnya mundur kembali. Ia terperangkap dalam jebakan yang tak terlihat.
Ibu Turi, satu-satunya orang yang sedikit memperhatikannya, semakin sering mengunjunginya di kamar. Namun, meskipun perhatian Bu Turi tulus, Nanda merasa tak bisa berbicara lebih banyak. Keadaan ini membuatnya merasa lebih kesepian dari sebelumnya.
Tapi ada sesuatu yang membuat Nanda masih terus bertahan. Ia tahu bahwa meskipun hidupnya penuh dengan penderitaan, ia harus mencari jalan keluar, sekecil apa pun peluang itu. Nanda mulai merasakan dorongan dalam dirinya untuk melawan takdir yang telah ditentukan orang lain. Ia tidak ingin hidup dalam penjara batin selamanya.
Setiap malam, setelah Dimas pulang dalam keadaan mabuk dan kembali melakukan tindakan kekerasan, Nanda semakin merasa hancur. Namun, di dalam hatinya, ada sebuah tekad yang mulai tumbuh, untuk menemukan kekuatan yang selama ini terpendam. Sebuah keberanian untuk berjuang, meskipun itu berarti harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit.
***
Pada suatu malam yang kelam, saat Dimas tertidur dalam mabuknya, Nanda memandang tubuh suaminya yang tergeletak di ranjang. Ia tahu, ini adalah saat yang paling tepat. Meskipun ketakutan menyelimutinya, Nanda memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang yang sudah lama ia percayai. Sanjana. Ia tahu ini adalah langkah yang berbahaya, tapi rasanya, tidak ada lagi yang bisa ia harapkan dari pernikahan ini selain kebebasan. Tapi, panggilan telepon itu tidak di jawab Sanjana.
Malam itu, suasana rumah terasa semakin tegang saat Nanda mendengar suara mobil Dimas memasuki pekarangan. Dengan langkah gontai, Dimas memasuki rumah, dan di belakangnya, seorang wanita yang Nanda kenal dengan baik, Shelma Anderia, berjalan dengan langkah angkuh. Wanita itu adalah model internasional yang beberapa waktu lalu sempat muncul dalam berita yang mengusik hati Nanda. Kini, ia ada di sini, di depan matanya, seolah-olah tak ada yang salah dengan semuanya.
Nanda hanya bisa berdiri terpaku di tempatnya, matanya menatap Dimas dan Shelma yang memasuki rumah tanpa memberi perhatian sedikit pun padanya. Dimas, dengan aroma alkohol yang menyengat, melangkah tanpa ragu, seolah-olah kedatangannya dengan Shelma adalah hal yang biasa. Sementara Shelma, mengenakan gaun malam yang mewah, seolah-olah tidak merasa canggung dengan keadaan rumah yang sunyi.
"Hey, Nanda... Kamu masih di sini?" Dimas berkata dengan suara berat karena mabuk, sambil menarik Shelma ke dalam ruang tamu. Nanda hanya menatap suaminya dengan tatapan kosong. Hatinya hancur, namun ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia tahu kata-kata tidak akan mengubah apa pun.
Di dalam hati Nanda, sebuah rasa sakit yang tak terkatakan muncul. Rasanya seolah-olah seluruh dunia menertawakan dirinya. Dimas, suaminya yang seharusnya mencintainya, malah mengabaikan keberadaannya dan membiarkan wanita lain masuk ke dalam kehidupan mereka. Ia merasa seperti sebuah bayangan dalam hidup Dimas, tak lebih dari sekadar pelengkap.
Nanda berjalan pelan menuju kamarnya, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh gambar Shelma yang berada di dekat Dimas, dan rasa cemburu yang menghujam jauh ke dalam hatinya. Ia memutuskan untuk pergi dari kamar dan duduk di ruang tamu, meskipun hatinya sudah terluka parah.
Beberapa saat kemudian, Dimas datang ke ruang tamu dengan Shelma di sampingnya. Ia melemparkan pandangannya kepada Nanda, lalu berkata, "Ayo, jangan terlalu banyak berpikir. Aku butuh waktu sendiri malam ini." Dimas melirik Shelma dengan penuh gairah, dan kemudian tanpa ragu ia mengajak wanita itu masuk ke kamar tidur mereka.
Nanda hanya bisa diam, tubuhnya kaku. Ada kesedihan yang begitu dalam, tapi tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Semua harapannya untuk perubahan seolah musnah dalam sekejap mata. Ia duduk di sana, terpaku, hanya bisa mendengar langkah kaki Dimas dan Shelma yang semakin menjauh. Pada saat itu, untuk pertama kalinya, Nanda merasa benar-benar sendirian.
Nanda berdiri terpaku di depan anak tangga, tubuhnya seakan membeku di tempat itu. Pandangannya terfokus pada Dimas yang tengah berlalu dengan Shelma, tertawa dan berbicara penuh kemesraan tanpa sedikit pun peduli dengan kehadirannya. Sesuatu yang seharusnya menjadi kenyataan dalam hidupnya, bahwa ia adalah istri sah Dimas, kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau. Semua yang dulu dipercaya Nanda tentang cinta dan pernikahan, semuanya mulai runtuh, tergantikan oleh kenyataan pahit yang tak terelakkan.
Ia sempat percaya bahwa Dimas benar-benar mencintainya. Semua kata-kata manis yang Dimas ucapkan dulu terasa tulus, dan setiap janjinya tentang masa depan bersama seperti dunia yang indah. Namun kini, semua itu hanyalah bayangan kosong yang kini melayang jauh dari jangkauan. Nanda merasa dirinya seperti sebuah bayangan di hidup Dimas, sesuatu yang ada hanya untuk memenuhi kewajiban, tanpa pernah benar-benar dihargai.
"Tapi aku diyakinkan... kalau dia mencintaiku," gumam Nanda pelan pada dirinya sendiri, meski kata-kata itu terasa semakin sulit untuk diyakini. Perasaan yang dahulu begitu penuh dengan harapan kini berganti dengan kekosongan. Ia berusaha mengingat masa-masa membuat Nanda berpikir, mungkin Ibu benar menikah dengan Dimas adalah hal yang tepat, yang dulu pernah mereka lalui bersama, saat mereka saling berbicara tentang mimpi dan masa depan. Namun, semuanya hanya kenangan yang kini tergerus oleh realita yang lebih keras.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya, namun Nanda menahannya, berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan. Ia sudah cukup lelah dengan segala drama dalam hidupnya. Dimas, yang kini dengan terang-terangan menunjukkan ketidakpeduliannya, membuatnya merasa semakin terasing. Dalam pernikahan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, ia malah merasa semakin terperangkap dalam kekosongan yang tak terhingga.
Tak ada yang tersisa selain sebuah keputusan yang berat untuk diambil. Meninggalkan Dimas atau bertahan, kedua pilihan itu terasa seperti dua sisi yang saling bertentangan. Namun satu hal yang pasti, hati Nanda semakin merasa hancur setiap harinya. Saat ia menatap langkah kaki Dimas yang semakin jauh, ia tahu satu hal: hidupnya takkan pernah sama lagi.
Nanda berlari tanpa arah, langkah kakinya terasa berat, seakan dunia ini terlalu menekan untuknya. Suara desahan Shelma yang terdengar dari dalam rumah begitu menusuk telinganya, membuat dadanya terasa sesak. Setiap detik yang berlalu seperti sebuah derita yang tak kunjung berakhir. Air mata terus mengalir tanpa bisa dihentikan, seperti sungai yang tak pernah kering. Dalam hatinya, ia merasa seakan dunia ini terlalu kejam, bahwa dirinya hanya menjadi bayang-bayang di kehidupan Dimas, sebuah sosok yang tak pernah benar-benar dihargai.
Di tengah keputusasaannya, Nanda terus berlari. Ia tak peduli ke mana kakinya membawanya, hanya berusaha untuk menjauh dari segala yang menyakitkan. Tangisan yang tak bisa dibendung lagi keluar begitu saja, seolah-olah semua luka yang terkumpul dalam hatinya selama ini akhirnya meledak. Kelelahan, kebingungan, dan kekecewaan bercampur menjadi satu, menambah rasa sakit yang ia rasakan. Ia merasa seperti seorang wanita yang terlupakan, yang tak lagi menjadi bagian dari kehidupan orang yang seharusnya mencintainya.
Ketika sampai di ujung jalan, pandangannya tertumbuk pada sebuah cahaya yang datang dari sebuah mobil yang melaju ke arahnya. Kilauan lampu mobil itu tampak seperti sebuah sinar di tengah kegelapan yang menyelimutinya. Nanda berhenti sejenak, matanya berusaha menyesuaikan dengan terang yang menyilaukan. Kaki Nanda terasa gemetar, namun entah mengapa ia merasa seolah cahaya itu memanggilnya, memberi sedikit harapan di tengah kerapuhan hatinya.
Dalam sekejap, mobil itu berhenti tepat di depan Nanda. Pintu mobil terbuka, dan seorang pria keluar. Nanda mengenalnya, meski tidak terlalu dekat, pria itu adalah Sanjana, lelaki yang selalu ada di pikirannya, lelaki yang selama ini diam-diam menyimpan perasaan untuknya. Mata mereka bertemu, dan dalam pandangan itu, Nanda merasakan sesuatu yang berbeda sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Harapan? Perlindungan? Atau sekadar pelarian dari dunia yang kini terasa begitu asing baginya.
"Nanda, kamu baik-baik saja?" suara Sanjana terdengar lembut, penuh kekhawatiran. Ia melangkah mendekat, tangannya terulur, mencoba meraih Nanda, menawarkan kenyamanan yang selama ini hilang dari hidupnya. Nanda, yang masih terbawa arus emosinya, hanya bisa menatap San dengan tatapan kosong, kebingungannya semakin bertambah. Ia tahu, di hadapannya ada sebuah pilihan—dan mungkin, hanya San yang bisa memberinya sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari Dimas: rasa dihargai dan dicintai.