Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jarak yang Tersembunyi
Pagi itu, Veltika duduk di meja makan bersama Denis. Sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela, memberikan suasana hangat di ruang makan. Bu Sri dengan cekatan menyajikan menu sarapan seperti biasa. Sesekali, mata Bu Sri melirik ke arah mereka berdua, menyadari keakraban yang mulai terlihat jelas.
“Bu Sri, tolong buatkan kopi lagi, ya,” pinta Veltika dengan suara tenang, berusaha mengalihkan perhatian pembantunya itu.
“Baik, Mbak,” jawab Bu Sri sambil berlalu ke dapur.
Begitu Bu Sri hilang dari pandangan, Veltika menatap Denis. “Kita harus lebih hati-hati,” bisiknya.
Denis tersenyum kecil. “Tenang saja, aku bisa menjaga rahasia.”
“Aku serius, Denis. Bu Sri sangat peka. Aku tidak mau ada gosip,” tegas Veltika dengan nada lebih rendah.
***
Di kantor, suasana formalitas mendominasi ruang rapat. Veltika duduk di ujung meja panjang dengan wajah serius, menyiapkan presentasi untuk kerjasama dengan perusahaan Jatmiko. Denis duduk di sisi lain meja, mengenakan setelan jas rapi, tampak tenang namun penuh perhatian setiap kali Veltika berbicara.
“Kami harap kerjasama ini akan memperkuat portofolio desain interior untuk proyek baru Anda,” ujar Veltika dengan nada profesional, matanya hanya terfokus pada layar presentasi.
Denis mengangguk pelan. “Saya setuju. Saya yakin dengan pengalaman tim Anda, hasilnya akan sangat memuaskan,” balasnya tanpa menunjukkan emosi pribadi.
Tidak ada senyum, tidak ada lirikan penuh makna. Keduanya bermain peran dengan sempurna di depan kolega mereka. Bahkan saat jeda rapat, ketika salah satu rekan kerja bertanya apakah mereka saling mengenal di luar pekerjaan, Veltika dengan cepat menjawab, “Kami hanya mitra bisnis.”
Namun, saat rapat berakhir dan semua orang mulai meninggalkan ruangan, Denis mendekat sejenak, memastikan tidak ada yang mendengar. “Kamu benar-benar profesional. Aku hampir tidak mengenalmu tadi.”
Veltika tersenyum tipis. “Itu karena kita harus menjaga jarak yang tersembunyi, Denis.”
Denis menatapnya dengan penuh arti. “Tapi sampai kapan kita bisa terus begini?”
Veltika tidak menjawab. Hanya sebuah tatapan singkat yang penuh dengan emosi terpendam sebelum ia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan rapat, kembali menjadi wanita yang dingin dan tak tergoyahkan.
Denis tidak tahan lagi. Begitu semua orang meninggalkan ruang rapat, ia mengikuti langkah Veltika dengan cepat. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik tangannya dan membawanya menuju sebuah ruangan kecil di ujung koridor. Ruangan itu jarang digunakan hanya dipenuhi kursi-kursi usang dan meja yang berdebu.
“Denis, apa yang kamu lakukan?” Veltika berbisik, mencoba terdengar tegas, meski debaran jantungnya mulai tak beraturan.
Denis menutup pintu perlahan, mengunci mereka berdua di dalam ruangan. Matanya menatap dalam ke arah Veltika, penuh gairah dan rasa yang tak bisa lagi ia sembunyikan. “Aku sudah cukup bersikap profesional untuk hari ini,” bisiknya pelan, suaranya serak dan dalam.
Veltika hendak menjawab, tetapi kata-katanya terhenti ketika Denis mendekat. Jarak di antara mereka semakin memudar. Ia bisa merasakan kehangatan napas Denis di wajahnya.
“Denis, kita tidak bisa—” ucap Veltika terbata-bata.
“Tapi aku tidak peduli,” potong Denis lembut, sebelum bibirnya menyentuh bibir Veltika dengan perlahan, penuh perasaan.
Veltika membeku sejenak, tapi perlawanan yang ia rencanakan sirna. Sentuhan Denis begitu hangat, begitu dalam, dan ia mendapati dirinya perlahan tenggelam dalam ciuman itu. Tangan Denis dengan lembut menyentuh pinggangnya, menariknya lebih dekat, seolah dunia di luar ruangan itu tidak lagi ada.
Beberapa detik berlalu, namun rasanya seperti keabadian. Saat akhirnya mereka berpisah untuk menarik napas, Denis tetap menatapnya dengan mata penuh rasa. “Katakan padaku, Veltika... sampai kapan kita harus berpura-pura?”
Veltika menggigit bibirnya, mencoba mencari jawaban, tetapi hanya keheningan yang tersisa di antara mereka keheningan yang diisi dengan denyut jantung mereka yang berpacu kencang.
"Sampai orang tua kita merestui." Kalimat itu berputar di kepala Veltika, sebuah jawaban yang tidak mungkin ia ucapkan langsung pada Denis. Hubungan mereka terlalu rumit keduanya adalah anak dari orang tua yang menikah. Menjadi saudara tiri, meski tanpa ikatan darah, tetap saja dianggap tabu di mata banyak orang.
Veltika menunduk, menghindari tatapan intens Denis. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan gejolak yang berkecamuk di dadanya. "Denis, kita harus berhenti… ini bisa berakhir buruk untuk kita berdua," katanya dengan suara bergetar.
Denis menghela napas, masih enggan melepaskan genggamannya di pinggang Veltika. "Berakhir buruk? Apa menurutmu aku peduli? Aku tahu apa yang aku inginkan, Veltika, dan itu kamu. Semua hal lain tidak penting."
Veltika mendongak, menatap Denis dengan mata yang dipenuhi emosi. "Tapi aku peduli, Denis. Aku tidak bisa mengabaikan apa yang mungkin terjadi jika mereka tahu." Ia melangkah mundur, menciptakan jarak kecil di antara mereka, meski hatinya berteriak ingin tetap dekat.
Denis menatapnya dengan tatapan yang terluka. "Kita sudah cukup jauh berjalan, Veltika. Apa kamu benar-benar ingin menyerah?" suaranya rendah, hampir seperti bisikan.
Veltika terdiam sejenak, mencoba menguatkan dirinya. "Aku hanya... butuh waktu. Kita harus lebih berhati-hati." Ia berbalik, membuka pintu perlahan. "Tolong, Denis. Jangan buat ini lebih sulit."
Denis tidak menjawab, hanya menatap punggung Veltika yang semakin menjauh. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski hati Denis penuh dengan rasa cinta dan tekad, ia tahu perjalanan mereka tidak akan mudah.
Veltika tahu dengan jelas apa yang Denis rasakan. Gairah mudanya begitu kuat, mendominasi setiap pergerakan, setiap tatapan, dan setiap sentuhan. Denis adalah sosok yang selalu ingin melawan dunia untuknya, tanpa memikirkan konsekuensi. Ia mendekat dengan keberanian yang terkadang membuat Veltika terperangkap dalam dilema yang rumit.
Namun, Veltika berbeda. Usianya yang lebih matang membuatnya lebih berhati-hati dalam mengambil langkah. Ia bukan lagi gadis yang mengikuti arus emosi tanpa memikirkan akibatnya. Ada reputasi yang harus dijaga, tanggung jawab yang tak bisa diabaikan, dan, yang terpenting, keluarga yang menjadi penghalang terbesar.
"Denis... aku tahu kamu ingin kita melawan semuanya. Tapi, aku tidak bisa mengambil risiko sebesar itu," ucap Veltika dengan suara yang bergetar halus saat mereka berada di sudut ruangan kantor yang sepi.
Denis menatapnya tajam, seolah mencari jawaban lain di balik kata-kata itu. "Risiko apa yang kamu takutkan, Veltika? Kehilangan reputasi? Kehilangan kontrol? Atau... kehilangan aku?" suaranya terdengar rendah, namun penuh tekanan.
Veltika menundukkan kepala, tak mampu menjawab dengan pasti. Ia tahu apa yang Denis katakan benar. Ada bagian dalam dirinya yang takut kehilangan pria muda ini. Tapi ia juga tahu bahwa melangkah terlalu jauh bersama Denis akan menjadi perjudian yang bisa merusak segalanya.
"Kita bisa menunggu, Denis. Sampai waktu berpihak pada kita. Sampai semuanya jelas." Kata-kata itu keluar dengan penuh keyakinan, meskipun jauh di lubuk hatinya, ada rasa ragu apakah waktu benar-benar akan berpihak pada mereka.