🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥
———
"Mendesah, Ruka!"
"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.
"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"
"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"
———
El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.
Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.
Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Ruka nikah sama El, Pa? Papa tau bukan gimana tu anak?" Ruka menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu dengan kasar, tangannya terangkat memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri.
"Papa tahu, tapi ini demi kebaikan mu sayang."
"Kebaikan?" Ruka mendengus, nyaris tertawa getir. "Kebaikan apa, Pa? Kebaikan Papa, mungkin!" Suara gadis itu mulai meninggi, penuh emosi. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan diri. Tidak, ia tidak boleh menangis di depan Papa.
Bagaimana bisa? Ruka, yang masih duduk di bangku SMA, dipaksa menikah! Dan tidak tanggung-tanggung, pria yang dipilih Papa untuk menjadi suaminya adalah El Zio—badboy terkenal, anak geng motor yang sukanya tawuran dan balap liar. Dunia Ruka seolah runtuh dalam sekejap.
Andai saja kabur ke Kutub Utara itu semudah membalikkan telapak tangan, ia pasti sudah melakukannya. Hidup bersama kawanan pinguin pun rasanya lebih masuk akal daripada tinggal satu rumah dengan El Zio, si pembawa masalah.
"Ruka..." Mama tiba-tiba muncul dari arah dapur, menghampiri putrinya dengan wajah penuh kasih. Ia duduk di sisi Ruka dan menggenggam jemarinya erat. "Mama yakin, Papa punya alasan untuk menikahkan Ruka dengan El. Mungkin ini bukan sesuatu yang Ruka inginkan sekarang, tapi—"
"Alasan apa, Mah?" potong Ruka dengan suara dingin. "Supaya jaringan bisnis Papa makin besar? Ruka tahu, Mah, keluarga El itu kaya raya. Jangan bilang ini cuma soal uang!"
Mama terdiam, terlihat gelisah. Sejujurnya, ia juga belum sepenuhnya memahami keputusan suaminya. Namun, ia tahu harus ada alasan yang lebih besar di balik perjodohan ini.
"Ruka..." Mama mencoba lagi, tapi gadis itu langsung berdiri.
"Mama gak usah bujuk Ruka, deh. Ruka gak mau dengar apa pun lagi," tukasnya tajam sebelum melangkah cepat menuju kamarnya.
Pintu kamar dibanting keras. Di dalam, Ruka menghempaskan diri ke tempat tidur. Air mata yang sejak tadi ditahannya kini tumpah begitu saja. Ia menggigit bibir, menatap langit-langit dengan dada bergemuruh. Hidupnya yang dulu terasa begitu damai kini berubah menjadi mimpi buruk.
Ruka tahu satu hal—ini bukan soal "kebaikan" seperti yang Papa bilang. Ini tentang kekuasaan, tentang ambisi yang tidak pernah ia minta untuk terlibat. Tapi bagaimana mungkin ia melawan?
Suara tawa kecil dan bising motor El tiba-tiba terngiang di kepalanya. Pikirannya langsung dipenuhi bayangan masa depan suram: hidup bersama pria itu, pria yang bahkan tidak tahu caranya bersikap sopan.
Hatinya mencelos.
***
"Married, Dad? Are you serious? Why?" El Zio, pemuda tampan dengan gaya urakan yang sudah menjadi ciri khasnya, memprotes keras. Ia menatap sang ayah dengan ekspresi tak percaya, seolah keputusan itu adalah lelucon paling buruk yang pernah ia dengar.
"Biar kamu ngerti apa itu tanggung jawab, El," jawab Daddy, sambil merapikan jas mahalnya dengan gerakan santai, lalu berjalan menuju mobil yang menunggu di depan rumah.
El mengekor, langkahnya panjang-panjang dengan tangan yang terus bergerak, mengekspresikan frustrasinya. "I understand! Gak perlu nikahin El kalau cuma buat ngajarin tanggung jawab, Dad. Lagi pula, El gak hamilin tuh cewek! Kenapa Daddy malah nyuruh El tanggung jawab?"
Daddy menghentikan langkahnya sejenak. Ia memutar tubuh, menatap El dengan tajam. "Ini bukan tentang kamu atau dia, El. Ini soal kamu belajar bertanggung jawab sama hidupmu sendiri. Apa itu balapan? Tawuran? Daddy capek harus bolak-balik ke sekolah buat ngeberesin masalahmu!"
El mendecih, melipat kedua tangannya di dada. "Oh, I get it. Daddy cuma mau buang El kan? Biar gak repot lagi? Nikahin El biar Daddy bisa bebas dari semua masalah yang Daddy bilang El yang bikin?"
"Terserah apa yang kamu pikirkan. Yang pasti, minggu depan kamu nikah. Titik! Kalau kamu menolak, semua fasilitas yang Daddy kasih akan Daddy ambil!"
Tanpa menunggu jawaban lagi, Daddy membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Sosok lelaki paruh baya yang masih terlihat tampan, meski usianya sudah mendekati kepala lima itu dengan gerakan cekatan, memberi isyarat kepada sopir untuk segera pergi.
"Dad, wait!" El mencoba menahan, tetapi suara mesinnya yang menderu memotong protesnya. Mobil itu melesat pergi, meninggalkannya berdiri di halaman, sendiri.
"Haaah..." El mendesah panjang, jemarinya mengacak rambut hitamnya yang sedikit berantakan. "Nikah?" gumamnya, setengah tak percaya. Kepalanya mendongak, menatap langit yang mendung seolah berharap jawaban turun dari atas sana.
Ia tahu ayahnya tegas, bahkan terkadang terlalu keras, tetapi ini? Memaksanya menikah? Dengan Ruka? Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Daddy-nya?
Pikirannya berputar, mencoba mencari alasan di balik keputusan konyol itu. Tapi, semakin ia mencoba, semakin ia merasa frustrasi. Ia memandang ke kejauhan, ke jalan tempat mobil Daddy menghilang. Kali ini, ia tidak bisa hanya mengabaikan atau melarikan diri seperti biasanya.
"Married?" El menggerutu lagi. Sejenak ia memejamkan mata, membayangkan hidupnya yang bebas, penuh keseruan—balapan tengah malam, nongkrong di markas, dan kehebohan tawuran yang selalu bikin adrenalinnya memuncak. Semua itu akan hancur berantakan begitu ia menikah.
Pikiran itu membuat dadanya panas. Apa yang sebenarnya Daddy coba ajarkan dengan ini? Apakah ini cuma soal tanggung jawab, atau ada rencana besar lain yang sengaja disembunyikan?
Satu hal yang pasti, El Zio bukan tipe pria yang bisa dengan mudah dijinakkan. Ia mengangkat dagunya, matanya menyala penuh determinasi. Jika Daddy mau perang, maka ia juga siap bertempur.
Sayangnya, perang yang El sebut-sebut itu tidak pernah benar-benar terjadi. Semangat perlawanan yang ia kobarkan di pikirannya padam begitu saja ketika ia mengingat sesuatu yang jauh lebih berharga dalam hidupnya—kartu kredit tanpa batas, mobil sport yang selalu menarik perhatian, dan motor besar kesayangannya yang sudah menjadi ikon dirinya di jalanan.
El mendecih pelan, menyadari bahwa semua itu adalah hasil kemurahan hati sang Daddy. Jika ia bersikeras menolak menikah, konsekuensinya akan jelas: hidupnya yang mewah dan bebas itu akan lenyap dalam sekejap.
"Brengsek," gumam El, menendang kerikil kecil di halaman rumah. Ia tahu Daddy tidak main-main dengan ancamannya.
"Apa gue benar-benar rela kehilangan semuanya cuma gara-gara nolak nikah?" pikir El keras-keras, menatap kosong ke langit yang semakin gelap.
Dengan berat hati, El akhirnya menyerah pada kenyataan. Ini bukan perang. Ini lebih mirip jebakan, dan ia tidak punya pilihan selain masuk ke dalamnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan amarah dan frustrasinya.
"Fine," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Kalau Daddy maunya gue nikah, gue nikah. Tapi jangan harap gue bakal jadi suami yang baik."
Sebuah senyum kecil yang penuh sarkasme muncul di sudut bibirnya. Jika Daddy ingin bertaruh bahwa pernikahan ini akan mengubah El Zio menjadi pria dewasa yang bertanggung jawab, maka Daddy telah memasang taruhan di tempat yang salah. Bagi El, ini hanya akan menjadi permainan baru—permainan di mana ia tetap memegang kendali, atau setidaknya mencoba.
Dan di benaknya, satu rencana mulai terbentuk: bagaimana caranya menjalani pernikahan ini dengan tetap menjaga kebebasannya. Kalau itu berarti harus berpura-pura atau menciptakan masalah baru, El tidak keberatan sama sekali. Apa pun untuk mempertahankan motornya, mobilnya, dan, tentu saja, kartu kredit kesayangannya.
***
"Sah!!!"
Suara lantang dari para tamu yang hadir memenuhi ruangan. Suasana penuh khidmat perlahan berubah menjadi sorak bahagia.
"Alhamdulillah..." Kedua orang tua mempelai saling melempar senyum lega, bahagia menjadi saksi dari sumpah sakral yang baru saja terucap. Mereka tahu, momen ini adalah awal baru, tidak hanya bagi kedua anak mereka, tetapi juga bagi keluarga besar.
Namun, di tengah suasana riuh itu, Ruka dan El duduk diam, masing-masing dengan pikirannya sendiri. Ruka, yang kini resmi menjadi istri El Zio, menunduk dalam. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena rasa bahagia, melainkan campuran dari amarah, cemas, dan ketidakrelaan. Di sudut bibirnya, senyum yang ia paksakan nyaris tak terlihat. Hatinya masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
El, di sisi lain, hanya bersandar santai di kursinya, dengan wajah yang sulit dibaca. Sesekali ia memainkan jari-jarinya, seolah pernikahan ini hanyalah formalitas yang membosankan. Matanya melirik ke arah Ruka, mencoba menebak apa yang ada di kepala gadis itu. Tapi, alih-alih merasa bersalah atau canggung, senyum tipis yang nyaris sinis muncul di wajahnya.
"Selamat ya, Nak," suara lembut Mama Ruka memecah lamunan. Wanita itu menggenggam tangan putrinya dengan erat. "Mulai sekarang, kalian harus saling mendukung, saling belajar, dan saling menerima, ya."
Ruka hanya mengangguk kecil, tanpa suara. Mendukung? Menerima? Bagaimana mungkin ia melakukannya dengan pria yang bahkan tidak ia sukai?
Di saat yang sama, Daddy El menepuk bahu putranya. "Kamu tahu apa yang harus dilakukan, El," katanya singkat.
El hanya tersenyum miring. "Tentu, Dad. Jangan khawatir." Tapi di dalam hatinya, ia berpikir lain. Apa yang harus ia lakukan? Menjalani hidup seperti suami ideal? Tidak mungkin. Baginya, pernikahan ini hanyalah formalitas yang tidak akan mengubah siapa dirinya sebenarnya.
Sesi foto dimulai, dan tamu-tamu terus berdatangan untuk memberikan ucapan selamat. Senyum dipaksakan. Kata-kata basa-basi diucapkan. Tapi di dalam hati kedua mempelai, perasaan mereka sama—penuh penolakan dan kebingungan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pernikahan ini mungkin telah dimulai, tetapi perang yang sebenarnya baru saja akan dimulai di antara mereka berdua.
"Lo istri gue sekarang! Jadi gue berhak atas lo!"
"El, lo gila? Enyah dari kamar gue!"
Bersambung...