Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gilda Phoenix
"Gege, kemana saja kau? Betapa susahnya aku mencarimu."
"Kamu? Mencariku? Padahal aku ingin sembunyi darimu."
Hari ini dia mengenakan potongan pakaian seperti anak laki-laki lagi sama seperti kemarin. Meski begitu kini rambut panjangnya di cepol dua dan terlihat lebih rapi dan memungkinkan orang-orang bisa membedakannya sebagai anak perempuan.
"Kenapa kau tidak datang ke gilda Phoenix? Apa kau tersesat?"
"Aku memang tidak pergi kesana dan bagaimana kau menemukanku?"
"Mungkin kau punya ikatan benang merah denganku, makanya aku bisa menemukanmu."
Kami tiba di depan sebuah gerbang. Disamping gerbang utama terdapat papan nama gilda Phoenix yang ditulis dengan kaligrafi huruf-huruf cantik.
Dia masuk lewat gerbang itu tanpa ragu dan aku mengekor di belakangnya.
Dia berjalan penuh percaya diri, sosoknya yang tengah berjalan sama sekali tidak menunjukan langkah gemulai seorang gadis. Jika waktu itu dia tidak menyebutkannya aku juga berpikir bahwa anak yang tergantung terbalik di pohon adalah anak laki-laki.
"Gege kita sudah ada di rumah, kenapa kau diam saja?"
"Ini rumahmu?"
"Ya dan tidak. Aku hanya anggota dan pemilik gilda nanti juga bakal muncul."
"Bolehkah aku masuk? Begitu saja?"
"Kau berhasil melewati gerbang itu artinya kau boleh masuk."
"Tidak adakah orang?"
"Biasanya ada. Tapi gilda Phoenix bukan gilda yang rame, mungkin nanti ada beberapa orang. Kau boleh lihat-lihat."
"Sebaiknya aku temui dulu pemilik rumah, bukankah ini tidak sopan?"
"Aku tidak tahu apakah ketua ada di kediamannya atau ada di gilda lain atau kemana saja pada waktu waktu seperti ini."
Gilda Phoenix adalah sisi lain dari kota yang ramai, disini benar-benar damai, setelah melepaskanku begitu saja anak perempuan liar itu malah pergi lagi, aku heran betapa sibuknya anak itu datang dan pergi sesuka hati. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan disini, tidak pula terlihat seorangpun untuk kuajak bicara, tapi aku merasa ada seseorang yang mengawasiku dari suatu tempat. Ketika tak kunjung menampakkan diri kehadapanku, aku pura-pura tidak peduli lagi dan mulai menyusuri taman.
Sesuatu menimpa kepalaku dengan tidak sopan. Aku berbalik untuk menasehatinya, tapi tidak ada siapa-siapa. Sesaat kemudia hal itu terulang lagi.
Aku berbalik ke arah lain. "Nah, kau..." tapi memang tidak ada siapapun. Rupanya bukan seseorang tapi pohon itu yang menjatuhkan apelnya karena sudah kematangan.
Ketika ada satu lagi yang jatuh, kali ini dengan agak sedikit dramatis kutangkap sebelum jatuh ke tanah. Aku berkata pada apel. "Dapat kau."
Aku mendongak, begitu lebat apel yang sudah merah-merah. Aku meloncat dan seketika kujatuhkan kembali tubuhku sebelum tanganku menyentuh apel-apel itu.
Kukatakan pada pohon apel, "Jangan coba-coba merayuku agar aku memetik kalian, heh. Aku tahu kisah sepasang manusia yang di usir dari surga karena memetik buah terlarang. Aku tidak mau di usir oleh pemilik rumah karena ketahuan mencuri kalian tanpa izin."
Sebuah apel jatuh lagi. "Yang sudah jatuh tidak apa-apa."
Kubawa sepelukan apel.
"Kediaman sebagus ini kenapa tidak di urus dengan benar, ah, sayang sekali."
Selepas tengah hari hal pertama yang kulihat adalah wajah si anak perempuan liar. "Sudah berapa lama kau memandangiku?" tanyaku.
"Cukup lama."
"Lalu kenapa kau tidak membangunkan aku?"
"Untuk apa? Aku terhibur melihat wajahmu yang damai. Apa yang kau lakukan seharian ini gege?"
"Hanya mengunyah apel dan tidur." kataku.
"Wah, benar-benar sibuk," katanya.
"Apa yang kau baca?" Aku mengintip judulnya. Aku menutup buku dan menjatuhkannya di sampingku, menunggu reaksinya. Kupikir dia akan protes tapi dia malah terkesan santai dan menopang dagu.
"Kamu tidak boleh membacanya," kataku. "Kau terlalu muda untuk tahu hal-hal begini." Aku menahan buku itu dengan ujung jari-jariku.
"Memangnya berapa usiamu gege?" Dia malah balik bertanya dengan nada yang riang.
"Seminggu?" jawabku.
"Mana ada orang yang percaya kau berusia seminggu."
Aku membuka mulut hendak menjawab tapi aku kalah cepat olehnya.
"Ya, hanya kau yang percaya pada dirimu sendiri, iya kan?"
"Darimana kau dapatkan benda jorok seperti ini?" Kuacungkan buku itu yang terjepit diantara telunjuk dan jari tengah.
"Oh ada kenalanku, kau mau aku kenalkan?"
"Tidak, terimakasih."
Dia hendak meraih bukunya tapi aku menghindar.
"Kau boleh menyimpannya kalau mau," katanya dengan teramat ceria.
"Tidak, aku gak membacanya."
"Tidak apa apa, bilang saja kalau kau mau menyimpannya untuk dirimu sendiri."
"Nah," aku mengulurkan sekantong uang.
"Apa? kau membayarku untuk itu?"
"Tidak, itu uangmu, aku lupa mengembalikannya."
"Uangku? Ah, kau memang jujur."
Setelah menyimpan kantong uangnya dengan baik, dia berkata. "Aku serius kau boleh menyimpannya, cowok-cowok biasanya suka bacaan yang bergairah."
"Apa?"
"Selamat membaca." Dia terburu-buru pergi sambil mengedipkan sebelah mata.
"Kau... kau harus kudisiplinkan, aku akan mengawasimu."
"Aku benar-benar merasa terhormat. Terus awasi aku yak."
"Kau sungguh akan mengawasi biang onar itu?"
Aku terkejut oleh suaranya yang teramat lembut. Seorang gadis lain tiba-tiba sudah ada di belakangku. Dia terlihat sangat anggun dalam pakaiannya, rambutnya ditata sedemikian rupa, dihias dengan jepit berornamen berwarna perak dan berkilau ketika tertimpa cahaya. Sebuah tanda pengenal khusus menggantung diikat pinggang gadis itu dan aku langsung mengenali siapa gadis ini. Dia pemilik gilda Phoenix.
"Dia... " Aku menunjuk si gadis nakal yang sudah menghilang lagi.
"Apa yang kau baca?" tanya gadis itu dengan lembut.
"Tidak, saya tidak membaca apa apa."
Aku meremas buku yang kusembunyikan di balik punggungku. Phoenix sedikit mengintip kebelakang tapi aku bergeser.
"Ini bukan milik saya. Biar saja saya simpankan untuknya." Aku berbalik untuk melesakkan buku itu ke balik bajuku. Setelahnya aku sedikit mengelus merapikan pakainku lalu membungkuk sopan.
"Seharusnya saya menemui anda sebelum berkeliaran seenaknya di rumah anda nona, Phoenix."
"Kau tidak perlu terlalu formal," katanya. "Dan sepertinya aku lebih muda darimu, kakak?"
"Baiklah."
"Dan kau boleh memetik apel sebanyak yang kau mau."
"Eh, nona melihat saya? Ah, tentu saja, lalu kenapa nona tidak menegur?"
Dia sengaja berlama-lama. "Jarang-jarang aku melihat seseorang yang begitu serius berbicara dengan pohon, hanya kau yang melakukannya."
"Sebenarnya saya berbicara pada apa saja," sahutku.
"Aku percaya," katanya.
"Niken dikenal pembuat rusuh di gilda-gilda lain, tapi disini aku menyadari dialah yang menghidupkan gilda Phoenix. Karena keberadaan nya lah aku masih membuka gilda Phoenix dan dia biasanya membawa orang-orang unik masuk ke sini." dia melirikku dengan geli.
"Bagaimana dia menemukanmu?"
"Ya, aku tidak bisa sembunyi darinya, beberapa kali aku dipaksa jadi kaki tangannya."
Aku memandang Phoenix yang sedang menahan tawa.
"Ah, maap," katanya.
"Ini adalah dinding, keanggotaan," Phoenix menjelaskan begitu kami tiba disuatu ruangan. Ada nama nama tertulis dalam huruf emas di dinding.
"Sheira? Itu namamu?" Aku membaca nama tunggal di bagian paling atas.
Phoenix mengangguk.
"Nama yang cantik sama seperti orangnya."
"Mari kita tuliskan juga namamu disana, gege?"
"Tidak, itu bukan namaku."
"Iya kah? Niken memanggilmu begitu."
Aku mengangkat bahu. "Anak itu bisa memanggilku apa saja sesuai keinginannya. Namaku Dewandaru, kaupun kalau mau bisa memanggilku apa saja."
"Apa saja?" tanyanya bingung.
"Ya, apa saja, pria tampan barangkali?"
Phoenix tertawa. "Astaga aku gak mau memanggilmu begitu."
"Ya, sebaiknya jangan." aku ikut tertawa bersamanya.
Phoenix mengguratkan sesuatu di panel, dari sana tercetak tulisan emas dalam sepotong akrilik persegi. Dia mengulurkannya padaku.
"Punyamu."
Aku mengulurkan tangan untuk menerima tanda pengenal yang bertuliskan namaku, Dewandaru.
"Bolehkah aku bertanya?"
Phoenix menghadapku. "Katakan saja," katanya.
Aku mengangguk, sebelum kuajukan pertanyaan, kuambil napas. Aku tahu pertanyaanku menimbulkan trauma tidak menyenangkan dalam diriku, tapi kuharap Phoenix akan merespon dengan caranya.
"Sebenarnya gilda ini apa?"
Dia tidak terlalu lama menatapku dia hanya perlu menjawab pertanyaanku. Aku tampaknya bukan satu-satunya orang yang tidak tahu apa itu gilda, aku bersyukur rupanya ini bukanlah pertanyaan yang aneh.
"Tidak semua orang yang datang ke daratan merah mendapatkan gilda, bukan?"
Aku mendengarkan dengan seksama.
"Bagaimana akhirnya kami memiliki sedikit wilayah di daratan merah? Itu hanya jika kau datang sebagai penjual kisah. Dulu, penguasa memberi sedikit wilayah pada kami, mungkin maksudnya untuk membangun sebuah komunitas penggemar atau semacamnya. Tapi beberapa tahun terakhir, penguasa membuat bermacam aturan yang menyulitkan sehingga tidak mudah lagi untuk membuat gilda dan memberikan wilayahnya secara cuma-cuma."
"Tapi gilda gilda rupanya tidak tampak seperti komunitas penggemar, gilda justru berkembang jadi tempat berkumpulnya para perantau dari daratan utama untuk membentuk kelompok dan saling bersaing dengan gilda lainnya. Dalam hal jumlah anggota dan kekayaan."
Ibu penutur kisah, tapi ibu tidak menjual kisah di daratan merah, ibu justru mengutus anak-anaknya untuk menjelajah tiga daratan.
"Gilda Phoenix hanyalah gilda kecil-kecilan, tidak terkenal, dan aku bukanlah penjual kisah yang masuk dalam rangking. Aku membebaskan siapa saja yang masuk kesini dan mereka bisa mengurus diri mereka sendiri, lihat itu?"
"Ada banyak nama anggota kan? Itu hanya sekedar nama, orang-orangnya entah pada kemana."
***
Aku mendapat kamar dari Phoenix, dan kini aku tengah mondar-mandir di dalam sana dengan satu eksemplar buku bergairah milik si anak perempuan nakal. Jangan salah paham, aku tidak membacanya, aku hanya lihat-lihat.
"Gairah..."
Aku tidak sampai habis membaca judul buku milik anak liar itu. Kenapa anak-anak jaman sekarang lebih memilih bacaan yang tidak pantas begini?
Ada yang menggaruk pintuku dari luar, begitu kugeser ternyata yang bertamu malam-malam begini seekor iguana kuning yang kulihat di kota.
"Ah, Hyura, bagaimana kau sampai ke pintuku?"
"Kau mengingat nama iguanaku?" Seorang pemuda muncul dari kegelapan.
"Apa ia betina?" tanyaku.
"Yak, dan kurasa dia menyukaimu."
"Kalau begitu kau merestui hubungan kami?" Kuelus Hyura yang melekat di pundakku.
"Aku Ka-lam siapakah gerangan tetangga baruku ini?"
Kuraih dan kuacungkan kartu pengenalku. "Dewandaru."
"Boleh kuambil Hyura?"
"Tentu saja, ia milikmu."
Tapi tampaknya Hyura enggan pulang, iguana itu merayap ke punggungku dan mulai berkeliaran di ruanganku, mengolok Ka-lam.
"Belakangan ini dia begitu merepotkan, aku tidak mengerti kenapa."
"Biarkan saja dia menginap, siapa tahu aku bisa membujuknya."
"Tetangga, kau sungguh menganggap dia seorang gadis? Baiklah, aku titipkan dia disini aku janji besok akan membawanya, dan maap sudah merepotkanmu."
masih nyimak