Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
“Ah, Sherly… sepertinya aku tidak akan berebut slot bimbingan Pak Fajar lagi darimu. Aku pikir, dengan Bu Marta pun tidak buruk,” ujar Agnes buru-buru, memotong sebelum Sherly sempat buka suara.
Sherly mengangkat alis, lalu mengeluarkan dengusan kecil yang terdengar seperti ejekan. “Tidak apa-apa, Nes. Kalau mau berebut juga, silakan. Tapi aku cuma ingin bilang satu kebenaran saja…”
Sherly sengaja menggantungkan kalimatnya, pandangannya melirik ke arah Fajar, berharap lelaki itu akan menghentikannya. Namun, seperti biasa, Fajar tetap diam dengan wajah datarnya, seolah tidak peduli.
“Jadi, Sherly, apa hubungan Pak Fajar dengan Agnes?” Bu Nana akhirnya buka suara, rasa penasarannya tak bisa ditahan lagi.
Agnes mulai gelisah. Jantungnya berdebar kencang. Ia memang tidak yakin Sherly tahu hubungan sebenarnya antara dirinya dan Fajar sebagai suami istri. Tapi kejadian terakhir di perpustakaan—saat Fajar dengan tenang mengakuinya sebagai pacar dan berjanji menikahinya—sudah cukup untuk membuat Sherly mencurigai sesuatu.
Agnes menyenggol bahu Fajar dengan cemas dan berbisik. “Pak, ngomong dong! Jangan diam aja. Bapak nggak sariawan, kan?”
Fajar melirik sekilas, lalu mengerutkan kening. “Ngomong apa?”
“Bilang kalau Sherly itu akan tetep menjadi mahasiswa bimbingan Bapak. Kalau nggak, dia pasti bakal ngomong ke Bu Nana soal kita!” desak Agnes dengan suara nyaris berbisik.
Fajar malah tersenyum tipis. “Bagus kalau gitu.”
Agnes melotot tak percaya. “Bagus? Pak, kalau sampai itu terjadi, hidupku bakal kacau sampai aku lulus! Ayolah, Pak, bantu aku!”
Fajar mengangkat bahu santai. “Kamu sendiri yang menciptakan masalah ini, Nes. Kenapa aku harus repot? Biarkan saja berjalan seperti apa adanya.”
Agnes hampir meledak. Ini bukan skenario yang ia inginkan. Tadinya ia berharap Bu Nana dan Sherly akan saling memperebutkan perhatian Fajar, sehingga fokus pada pria itu dan melupakan dirinya. Tapi nyatanya, Bu Nana hanya terlihat menggoda tanpa maksud serius, sementara Sherly... dengan satu kalimat saja, dia berhasil menguasai suasana dan menciptakan ketegangan di ruangan ini.
“Pak…” suara Agnes berubah memelas, penuh harap. “Kalau Bapak mau bicara dan menyelamatkan situasi ini, aku janji, apa pun yang Bapak mau akan aku lakukan.”
Kali ini, Fajar menoleh dengan serius. Sorot matanya tajam, seolah menilai kejujuran Agnes. “Kamu yakin?”
Agnes mengangguk cepat. “Yakin, Pak!”
“Termasuk kalau aku minta malam pertama kita sekarang juga?” ucap Fajar dengan nada datar dan berbisik.
Agnes terkejut bukan main. “Pak Fajar!” pekiknya tanpa sadar, membuat Sherly dan Bu Nana menoleh bersamaan, penuh tanda tanya.
“Nes, ada apa? Kenapa kamu berteriak seperti itu pada Pak Fajar?” tanya Bu Nana curiga.
“Anu... anu... itu…” Agnes tergagap, wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Kata-kata tercekat di tenggorokan, sementara Fajar hanya menyilangkan tangan di dadanya, memandang pemandangan itu dengan senyum tipis penuh kemenangan.
Sherly menatap Agnes dengan pandangan penuh selidik, bibirnya melengkungkan senyum kecil yang hampir terlihat jahat. “Anu? Kok tiba-tiba gugup, Nes? Ada yang ingin disembunyikan, ya?”
Agnes menelan ludah, otaknya berputar mencari alasan yang masuk akal. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, Bu Nana mengarahkan pandangannya ke Fajar, yang tetap terlihat tenang.
“Pak Fajar, saya rasa perlu ada klarifikasi. Apa yang sebenarnya terjadi?” Suara Bu Nana terdengar lembut, tapi penuh tekanan.
Fajar menghela napas pelan, kemudian menatap Bu Nana dengan ekspresi tanpa cela. “Tidak ada apa-apa, Bu. Agnes mungkin hanya bercanda. Dia memang suka melebih-lebihkan sesuatu.”
Sherly mendengus pelan, matanya memicing. “Bercanda? Pak, sepertinya Agnes terlalu sering bercanda akhir-akhir ini. Sampai-sampai saya jadi bertanya-tanya... candaan seperti apa yang kalian lakukan di perpustakaan waktu itu?”
Agnes terdiam. Wajahnya langsung memucat. Tubuhnya terasa panas, sementara Sherly terus menekannya tanpa ampun. Dalam hati ia berkata, akan aku pastikan hubungan kalian tidak akan berjalan lama. Fajar itu milikku Nes.
“Sherly!” bentak Agnes, suaranya bergetar antara marah dan panik. “Kamu nggak bisa sembarangan bicara seperti itu!”
“Lalu kenapa kamu terlihat gugup, Nes? Kalau memang nggak ada apa-apa, seharusnya santai saja, kan?” Sherly melipat tangan di dada, ekspresi puas terpampang di wajahnya.
Bu Nana mengangkat tangan, meminta keduanya tenang. “Sudah cukup, Sherly. Saya tidak mau ada drama di sini. Kalau ada sesuatu yang perlu dijelaskan, saya harap semuanya disampaikan dengan jujur.”
Bu Nana beralih pada Fajar. “Pak Fajar, Anda pembimbing di sini, jadi saya berharap Anda bisa menjaga profesionalitas. Kalau ada hal-hal yang menyangkut mahasiswa Anda, lebih baik segera diluruskan, agar tidak terjadi fitnah.”
Fajar menatap Bu Nana dengan santai, lalu mengangguk pelan. “Tentu, Bu. Saya selalu profesional. Jika ada kesalahpahaman di sini, saya yakin itu hanya hasil dari spekulasi yang berlebihan.”
Namun, sebelum Bu Nana sempat merespons, Sherly kembali menyela. “Spekulasi? Kalau begitu, mungkin Pak Fajar bisa menjelaskan kenapa Agnes terlihat begitu gelisah saat saya menyebut perpustakaan? Bukankah itu cukup menarik untuk dibahas?”
Fajar menatap Sherly dengan sorot mata tajam, seolah membaca apa yang akan dilakukan adik sahabatnya ini. Namun, ia seperti tak terpengaruh, ia justru akan bersyukur jika memang Sherly mengatakan pada semua orang tentang hubungannya dengan Agnes.
Sementara itu, Agnes langsung memegang lengan Fajar membuat lelaki itu sedikit iba apalagi wajah istrinya begitu memelas, bisikan suara sang istri yang meminta tolong membuat hatinya mencolos, “Pak, tolong.”
“Baik, karena mereka mendesak, aku akan katakan kalau kita itu…”
“Pak, jangan bercanda,” sahut Agnes cepat.
“Kalau gitu, kamu sudah janji apa pun yang aku mau kamu akan menurutinya, kan?”
Dengan sangat terpaksa, Agnes menyetujui permintaan Fajar. Padahal ia tahu, membuat kesepakatan dengan Fajar sama saja menyerahkan dirinya. Tapi demi kedamaian hingga lulus, ia pun setuju.
“Bu Nana, jangan salah sangka. Apa yang dikatakan Sherly benar, kami memang memiliki hubungan…” Fajar melirik Agnes yang kini memejamkan mata, seolah ingin segera kabur dari tempat itu. Ia pun melanjutkan, “Ibu sendiri tahu, sebelum Sherly, Agnes adalah mahasiswa bimbingan saya. Jadi, kalau masalah di perpustakaan, apa ada masalah jika hanya sebagai murid dan guru?”
“Baiklah. Karena saya tidak ingin terjadi masalah yang lebih lanjut, sudah saya putuskan jika Sherly akan tetap jadi mahasiswa bimbingan saya, sementara Agnes biar dengan Bu Marta. Sampai di sini, apa ada masalah?”
Sherly, yang sejak tadi diam mengikuti situasi itu, mengepalkan tangannya. Entahlah, dirinya yang biasanya banyak bicara kini seperti sedang menonton film dan menikmatinya. Kini ia pun angkat bicara. “Ta-tapi kalian itu…”
“Sherly, kamu pindah ke sini karena ingin saya bimbing. Jika kamu banyak bicara, aku tidak segan berbicara dengan kakakmu.”
Sherly terpaksa menarik sudut bibirnya, membentuk senyum kecil. Ia pun meyakinkan dirinya. “Tenang, Sherly, masih banyak kesempatan lain. Anggap saja ini sebagai tekanan untuk mereka. Bukankah mundur sebentar untuk melihat strategi lawan berarti kemenangan akan berada di genggamanmu?”