Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Bayangan dan Kehampaan
Langkah Ardan berat, seakan-akan tanah di bawah kakinya mencoba menahan setiap gerakannya. Setelah meninggalkan dunia aneh yang tampak seperti kenangan, ia kembali berdiri di tengah tempat asing yang sama membingungkannya. Dunia ini seperti teka-teki tanpa petunjuk. Kabut hitam pekat menyelimuti sekelilingnya, membuat pandangannya terbatas hingga beberapa meter saja.
Angin dingin berembus membawa aroma busuk, seperti kayu basah yang membusuk bercampur bau tanah segar. Ia mencoba meraba-raba jalan di depannya, berharap menemukan tanda yang dapat memberinya petunjuk.
“Apakah aku sudah mati?” gumamnya pelan.
Suaranya menggema, seperti dunia ini tidak memiliki batas. Sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara gemerisik terdengar dari arah kanan. Tubuhnya menegang. Tangannya spontan menggenggam ranting tajam yang ditemukannya di tanah, satu-satunya senjata yang ia miliki.
“Siapa di sana?” teriaknya.
Tidak ada jawaban. Gemerisik itu berhenti, digantikan oleh suara napas berat. Napas itu terdengar dekat, tetapi kabut yang terlalu tebal menyembunyikan sosok pemiliknya.
Tiba-tiba, kabut di depannya bergerak, seperti ada sesuatu yang mendekat. Ardan menahan napasnya, matanya memerhatikan dengan saksama.
Dari balik kabut, muncul sesosok makhluk yang menyerupai manusia, tetapi tubuhnya cacat dan bengkok. Kulitnya terlihat seperti dilapisi luka bakar, sebagian dagingnya mencair seperti lilin yang meleleh. Matanya kosong, hanya dua lubang gelap yang menatap Ardan dengan kebencian mendalam.
“Ardaaan...” Suara makhluk itu terdengar seperti paduan desisan ular dan suara manusia yang sedang tercekik.
Makhluk itu merangkak mendekat, tubuhnya menyeret di atas tanah. Setiap gerakannya meninggalkan jejak cairan hitam yang mengeluarkan uap beracun.
Ardan mundur beberapa langkah. Jantungnya berdegup kencang. “Apa ini? Apa kau yang memanggilku?”
Makhluk itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia membuka mulutnya yang tidak proporsional, memperlihatkan deretan gigi tajam yang tidak rata. Dari dalam mulutnya keluar suara tawa melengking yang membuat telinga Ardan berdenging.
---
Ujian Pertama: Bayangan Kegelapan
Ardan tahu ia tidak bisa lari. Setiap langkah mundur hanya akan membuatnya terpojok. Ia meraih ranting di tangannya lebih erat. Meski kecil, ia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan diri.
Makhluk itu melompat ke arahnya dengan kecepatan luar biasa. Ardan berteriak, mengayunkan ranting ke arah kepala makhluk tersebut. Ranting itu menghantam dengan bunyi keras, tetapi seolah-olah tidak ada dampak berarti. Makhluk itu bahkan tidak berhenti.
Ardan tersungkur ke tanah, tetapi sebelum makhluk itu sempat mencapainya, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Dari balik kabut, muncul sosok lain. Seorang pria dengan jubah hitam panjang dan wajah yang tersembunyi di balik tudungnya. Ia melambaikan tangan, dan kabut di sekeliling mereka bergerak seperti hidup, melilit tubuh makhluk itu.
Makhluk itu menjerit, tubuhnya mencair seperti lilin yang terkena api. Dalam beberapa detik, ia menghilang sepenuhnya, meninggalkan jejak cairan hitam di tanah.
Pria berjubah itu mendekati Ardan, tetapi ia tetap menjaga jarak. “Kau belum siap untuk ujian berikutnya, tetapi waktu kita sudah hampir habis.”
Ardan bangkit perlahan, meski tubuhnya masih gemetar. “Siapa kau? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Pria itu tidak menjawab langsung. Sebagai gantinya, ia mengangkat tangan kanannya, dan kabut di sekitar mereka perlahan-lahan memudar. Pemandangan baru terbentang di hadapan Ardan.
---
Dunia Baru: Refleksi yang Menyesatkan
Ardan kini berdiri di tengah sebuah desa kecil yang terlihat damai. Rumah-rumah kayu berjajar rapi, dengan ladang hijau di sekitarnya. Namun, ada sesuatu yang aneh. Tidak ada suara kehidupan.
Tidak ada anak-anak bermain, tidak ada petani yang bekerja. Semuanya sunyi. Bahkan angin yang berembus tidak membawa suara dedaunan yang bergesekan.
“Ini... tempat apa lagi?” Ardan bertanya, suaranya penuh kebingungan.
Pria berjubah itu berdiri di sampingnya. “Ini adalah dunia refleksi. Di sini, kau akan diuji bukan oleh makhluk seperti sebelumnya, tetapi oleh dirimu sendiri.”
Sebelum Ardan sempat bertanya lebih lanjut, pria itu menghilang, meninggalkan Ardan sendirian di desa tersebut.
Langkah pertamanya terasa berat. Meski tempat ini terlihat damai, ia tidak bisa menghilangkan rasa takut yang menjalar di tubuhnya. Ia mulai berjalan menyusuri jalan desa, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan.
Di tengah jalan, ia melihat sebuah cermin besar berdiri tegak di tengah-tengah lapangan terbuka. Cermin itu memantulkan bayangan dirinya, tetapi sesuatu terasa salah.
Bayangan itu tidak mengikuti gerakannya.
Ardan mengangkat tangannya, tetapi bayangannya tetap diam. Ia mendekati cermin tersebut dengan hati-hati, mencoba memahami apa yang terjadi.
“Siapa kau?” tanyanya kepada bayangan itu.
Bayangan itu perlahan tersenyum, tetapi bukan senyuman yang ramah. Itu senyuman yang dingin, penuh kebencian.
“Kau bertanya siapa aku?” jawab bayangan itu, suaranya sama persis seperti suara Ardan. “Aku adalah dirimu. Sisi yang selalu kau sembunyikan.”
Bayangan itu melangkah keluar dari cermin, berdiri di hadapan Ardan. Mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, Ardan merasa seperti melihat ke dalam kegelapan hatinya sendiri.
“Kau akan gagal di dunia ini, seperti kau selalu gagal di dunia nyata,” kata bayangan itu dengan nada mengejek.
Ardan mengepalkan tangannya. “Aku tidak akan gagal. Aku akan keluar dari tempat ini dan kembali ke duniaku.”
Bayangan itu tertawa. “Dunia yang mana? Dunia ini, dunia yang kau tinggalkan, atau dunia yang bahkan kau sendiri tidak yakin apakah itu nyata?”
---
Akhir Bab: Pertarungan dengan Refleksi
Bayangan itu menyerang Ardan dengan kecepatan yang tidak terduga. Pertarungan mereka bukan hanya pertarungan fisik, tetapi juga pertarungan batin. Setiap serangan bayangan itu seperti membawa kenangan buruk dari masa lalu Ardan, memaksa dirinya untuk menghadapi rasa bersalah dan ketakutannya.
Namun, Ardan tahu bahwa satu-satunya cara untuk menang adalah dengan menerima semua itu sebagai bagian dari dirinya.
“Aku mungkin memiliki kegelapan dalam diriku,” katanya dengan suara tegas, “tapi aku juga memiliki kekuatan untuk menghadapinya.”
Dengan kata-kata itu, ia melawan bayangannya, tidak lagi dengan kebencian, tetapi dengan penerimaan.
Bayangan itu perlahan-lahan memudar, meninggalkan Ardan sendirian di tengah desa yang kini mulai berubah. Langit menjadi lebih cerah, dan suara kehidupan mulai terdengar.
Tetapi Ardan tahu, ini belum berakhir. Dunia ini masih menyimpan banyak rahasia, dan ia harus terus maju untuk menemukan jalan keluar.
---