Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua lima
Tanpa sadar Firda menggigit bibir bawahnya pelan, mencoba menelaah ucapan ibu tiri Tuan Abraham. Cinta ya? .... Dalam diam Firda hanya bisa meringis menyadari betapa malangnya nasib dirinya kini. Karena pada kenyataannya, bukan cinta yang membuat Tuan Abraham menikahinya.
Begitulah sepanjang Firda mengetahuinya.
Tuan Abraham tak lebih dari seorang pria yang membeli harga dirinya dengan uang satu miliar. Bagaimana mungkin pria yang telah merendahkannya itu memiliki setitik cinta kepadanya? Firda rasa... Cinta tidak memaksakan kehendak seperti ini.
Sementara itu, Ramon menatap Firda dengan senyum kecil yang seolah simpatik, namun ada ketertarikan halus dalam tatapannya. “Tapi, kalau boleh tahu, apa pekerjaanmu sekarang, Mbak Firda?”
Firda mengangkat wajah perlahan, bingung dengan perhatian Ramon yang tiba-tiba terasa lebih lembut dibandingkan yang lain. “Aku... aku saat ini tidak bekerja.”
“Oh...” Ramon menarik napas panjang. “Tapi nggak apa-apa kok. Orang kan nggak harus bekerja untuk punya nilai. Cantik juga nilai, kan?” katanya sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana.
Namun, di telinga Firda ucapan itu tak lebih dari bermakna sindiran, alih-alih pujian. Bagaimana mungkin seorang wanita hanya mengandalkan kecantikannya untuk bisa menjadi bagian dari keluarga Handoko? Setidaknya itulah yang Firda tangkap dari ucapan adik tiri Tuan Abraham barusan.
Ditambah lagi, wujud Firda yang asli tidaklah secantik itu. Firda merasa... Ia hanyalah gadis kurus dan penyakitan yang tidak punya kepercayaan diri. Semua fakta itu seolah menekan Firda untuk semakin rendah diri. Dirinya jauh dari standar kecantikan, tidak juga pintar, dan bukan dari keluarga kaya raya.
Firda... Merasa semakin tak pantas bersanding dengan Tuan Abraham Handoko.
Firda hanya tersenyum tipis seraya meringis pelan berusaha menutupi perasaan tak nyaman yang membebani hatinya saat ini. Namun, lain halnya dengan Abraham yang langsung melemparkan tatapan tajam ke arah adik tirinya itu. “Ramon, jangan coba-coba,” peringatnya begitu dingin.
“Apa?” Ramon pura-pura tak mengerti, mengangkat kedua tangannya. “Aku cuma bercanda dengan memujinya cantik, tidak lebih.”
“Aku tidak suka candaanmu,” balas Abraham tegas.
Sintia tersenyum tipis, memandang Abraham dengan ekspresi puas karena suasana mulai memanas. Ia menambahkan minyak ke api dengan berkata kepada suaminya, “Papa, aku rasa kamu harus pikirkan ini baik-baik. Kalau Abraham menikah dengan gadis seperti ini, apa jadinya reputasi keluarga kita? Harta keluarga ini bisa saja jatuh ke tangan yang salah.”
“Aku tidak datang ke sini untuk meminta restu,” potong Abraham tajam, suaranya meninggi. “Aku hanya ingin memberitahu kalian bahwa aku akan segera menikahi Firda, dengan atau tanpa persetujuan kalian.”
“Tidak sopan!” Tono berdiri dari sofanya, menatap Abraham dengan kemarahan yang tak bisa ditutupi. “Kamu pikir keluarga ini tidak penting? Kamu pikir kamu bisa mengambil keputusan seenaknya?”
“Keluarga ini?” Abraham tertawa sinis. “Sejak kapan keluarga ini pernah menganggapku sebagai bagian dari keluarga hm?”
“Abraham!” suara Tono membentak, namun Sintia cepat-cepat berdiri di sisinya, memegang lengannya dengan lembut. “Sayang, jangan terlalu keras pada Abraham. Dia hanya sedang terbawa emosi.”
“Dia selalu terbawa emosi,” sahut Tono dingin. “Sama seperti ibunya dulu.”
“Cukup!” Abraham menggebrak meja, membuat semua orang terdiam. Firda menggigil di tempatnya, sementara Ramon hanya duduk diam, menyaksikan dengan ekspresi tenang.
“Kalian bisa bilang apa saja tentangku,” lanjut Abraham, suaranya lebih rendah tapi penuh ancaman. “Tapi jangan pernah membawa-bawa ibuku.”
“Kenapa? Karena itu menyakitkan?” Sintia menyeringai. “Tapi bukankah itu kenyataan? Ibumu memang mati karena melahirkanmu, tapi dia meninggalkan keluarganya dengan masalah, dan kamu mewarisi semuanya.”
Firda menatap Abraham, melihat rahangnya mengeras dan tangannya mengepal. Dia ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkan, tapi takut memperburuk situasi.
“Firda, kita pergi,” ucap Abraham tiba-tiba, memegang lengan Firda dan menariknya untuk berdiri.
“Tapi, Tuan—” Firda mencoba protes, namun tatapan dingin Abraham membuatnya bungkam.
“Kita pergi,” ulangnya, kali ini dengan nada lebih lembut tapi tetap tegas. Firda menurut, melangkah mengikuti Abraham yang sudah menuju pintu tanpa menoleh lagi.
“Abraham! Jangan pikir kamu bisa terus melawan keluarga ini dan tetap menang!” suara Tono terdengar di belakang mereka.
Abraham berhenti di ambang pintu, menoleh sekilas dengan tatapan penuh kebencian. “Aku tidak peduli menang atau kalah. Aku hanya peduli pada Firda.”
Ketika Abraham merasa sendirian, hidup dengan jiwa yang kosong tanpa setitik pun kasih sayang yang dia dapati dari orang tuanya, tetapi malam itu... Tepatnya lima tahun lalu, Firda yang notabennya hanyalah orang asing dalam hidupnya... Memberinya perhatian dengan begitu tulus, padahal sementara kondisinya sendiri pun di saat itu tidak baik-baik saja.
Kamu terluka....
Aku akan membelikanmu obat....
Terima kasih sudah menyelamatkanku tadi....
Kata-kata Firda di malam itu begitu membekas dalam relung hati Abraham. Hatinya yang gersang seolah mendapatkan siraman air dingin yang membuatnya ingin terus merasakan itu. Sayangnya, tak lama setelah itu ayahnya mengirimnya ke London untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Bagi Abraham, itu hanyalah alasan ayahnya untuk membuangnya dan membuat dirinya jauh dari keluarga. Kemudian lima tahun berlalu dengan sangat berat bagi Abraham karena tak bisa lagi melihat gadis di malam itu. Abraham benar-benar merasa kehilangan perhatian yang begitu mendamba dan kehausan untuk dirinya bisa rasakan.
Dan di sinilah Abraham berada sekarang. Sama sekali tak peduli akan disebut apakah dirinya ini? Egois? Kejam? Tenggelam dalam rasa obsesi kepada seorang gadis bernama Firda Humaira? Terserah! Apapun sebutannya Abraham tak peduli.
Dirinya hanya ingin Firda, membuat gadis itu tetap berada di sisinya apa pun yang terjadi dan bagaimanapun caranya, meskipun harus menempuh jarak kotor... Abraham benar-benar tak peduli!
"Kamu... Benar-benar!" Tono terlampau murka. Ia bahkan memegang dadanya sendiri yang tiba-tiba berdenyut sakit karena merasa tak tahan dengan kedurhakaan yang dilakukan putra kandungnya sendiri kepadanya.
Bahkan ketika ia kesakitan seperti ini, yang mendekatinya justru adalah Ramon—anak tirinya. Bagaimana mungkin justru anak tirinya lah yang lebih berbakti kepadanya? Sementara pelaku yang membuat dadanya berdenyut sakit dan sesak justru tidak peduli sama sekali, bahkan tak mau repot-repot untuk sekedar menoleh menatap ke arah ayahnya sendiri.
"Memangnya apa yang diberikan oleh gadis rendahan itu kepadamu, Abraham? Papa lah yang selama ini memberi banyak kepadamu. Semua fasilitas papa sediakan, pendidikan terbaik papa berikan. Tapi beginilah balasanmu? Hanya karena satu orang wanita, kamu telah dibutakan! Camkan baik-baik, Abraham! Sampai mati pun papa tidak akan merestui hubunganmu dengan gadis ini!"
Abraham mengepalkan tangannya menahan emosinya yang bergejolak dalam dirinya. Tak sadarkah pria tua itu dosa apa yang ia lakukan pada putra kandungnya sendiri selama ini?
Dengan tegas tanpa setitik pun rasa belas kasihan Abraham berujar, "Firda memberikan kepadaku sesuatu yang tidak aku dapatkan dari kalian."