Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Debat Pagi dan Bubur Mewah
Bab 25
Setelah kegiatan menelepon dengan Leni, Elara sudah malas meladeni keisengan Zayden. Dia milih memejamkan mata saja, meski tidak mengantuk. Tubuhnya bersandar di punggung kursi, sedangkan kedua kakinya dinaikkan ke kursi, dilipat bersila, kedua tangannya bersidekap.
"Ya iya l, aku nggak bakal ganggu," ucap Zayden, dengan lirikan pada istrinya, sambil tersenyum puas.
Mobil melaju perlahan di tengah jalanan kota yang mulai dipadati kendaraan. Suasana pagi yang cerah terasa berbanding terbalik dengan wajah Elara yang sudah terlipat kusut. Di sisi lain, Zayden terlihat santai sambil mengetuk-ngetuk setir dengan ujung jarinya, mengikuti irama lagu dari audio mobil.
Ketika lampu lalu lintas berubah merah, Zayden menoleh pada Elara. Ia memperhatikan ekspresi gadis itu yang tampak seperti menahan sesuatu, padahal matanya masih terpejam dan sangat tenang kelihatannya.
“Kamu lapar, kan?” tanya Zayden tiba-tiba.
Elara melek, lalu memutar bola matanya. Sinis, “Nggak.”
Zayden menyeringai tipis. “Jangan bohong. Aku dengar suara perutmu tadi. Kamu kelaparan tuh "
Elara menoleh cepat, memelototi Zayden. “Enak aja! Suara apaan? Aku kelaparan? Kayak orang di pengungsian aja.”
“Memangnya nggak lapar, beneran?” goda Zayden, menaikkan satu alis.
"Aku gak lapar, apalagi kelaparan." Elara ketus, tapi sepersekian detik kemudian, wajahnya memelas. "Tapi ... kalau kamu mau ajak aku makan, boleh. Hehe."
"Yau udah, kita makan apa ya. Aku juga lapar, sih."
"Wajar sih kamu lapar lagi, tadi kan sarapan nggak abis. Sok-sokan mau ada urusan penting nyatanya nggak jelas."
Elara sepertinya masih dendam pada Zayden, karena suka sekali isengin dia. Jadi saat ini ada kesempatan untuk Elara meluapkan kesalnya dengan puas ngatain Zayden 'Sok'.
"Ayo beri aku saran. Kita makan di mana?" ucap Zayden.
Elara mendengus kesal. “ Bebas aja, sih. Tapi jangan sesuatu yang dipilih asal-asalan, oke? Aku masih punya standar.”
“Bagus. Aku juga. Makanya kita cari tempat makan yang layak.” Zayden menyalakan lampu sein dan mengubah jalur, seperti biasa mengambil keputusan tanpa diskusi.
“Kamu itu selalu semena-mena, ya?” gerutu Elara, melipat tangan di depan dada.
“Bukan semena-mena, tapi efisien.” Zayden melirik Elara sambil menyunggingkan senyum tipis yang membuat gadis itu makin kesal.
###
Mereka berhenti di sebuah restoran yang tampak mewah dengan dinding kaca dan lampu gantung kristal. Elara menatap tempat itu dengan alis bertaut.
“Kita cuma mau sarapan, Zayden. Kenapa harus ke tempat kayak gini?” tanyanya.
Zayden keluar dari mobil tanpa menjawab, kemudian membuka pintu untuk Elara. “Kita mau makan sesuatu yang berkualitas. Ayo.”
Elara mendengus, tetapi tetap mengikuti langkah Zayden. Begitu duduk di meja, Elara membuka menu dan hampir menjatuhkannya ketika melihat daftar harga.
“Bubur ayam 150 ribu?!” desisnya pelan.
Zayden yang duduk di seberangnya hanya mengangkat bahu. “Apa masalahnya? Bubur itu makanan yang universal. Cocok buat siapa saja.”
“Tapi bukan bubur yang kayak gini,” jawab Elara ketus.
Zayden menatapnya dengan bingung. “Bubur tetap bubur. Apa bedanya dengan yang biasa?”
Elara menghela napas panjang, mencoba menjelaskan. “Bedanya itu di rasa. Bubur mewah kayak gini nggak punya ‘jiwa’. Rasanya terlalu halus, terlalu kaya, terlalu... berlebihan. Bubur yang aku suka itu yang sederhana, yang bikin lidah merasa nyaman. Bubur yang biasa beli dari abang-abang pinggir jalan. Lan ini? Ini bubur untuk orang yang bahkan nggak tahu apa itu bubur sebenarnya.”
Elara menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk si bubur, saking gak sukanya dapat bubur aneh gitu.
Zayden menatap Elara seperti melihat makhluk asing. “Jadi, kamu lebih suka bubur yang mungkin dibuat dengan air seadanya dan bahan murahan?”
“Jangan merendahkan bubur abang-abang!” Elara melotot. “Mereka tahu cara bikin makanan yang sebenarnya.”
Zayden menahan tawa. “Kamu ini benar-benar... unik.”
Elara mendengkus, menatap mangkuk bubur di hadapannya dengan dahi berkerut. Jika ini disebut bubur, maka ia mungkin hidup di semesta yang salah. Bubur ini bukan hanya sekadar makanan, melainkan karya seni kuliner yang tampaknya terlalu rumit untuk dinikmati.
Lapisan atasnya dihiasi irisan tipis daging sapi wagyu yang dimasak medium rare, mengilap karena tetesan minyak truffle. Tepat di tengah mangkuk, sebuah telur puyuh rebus berlapis emas 24 karat bersinar seperti mahkota. Bukan telur sembarangan, tentu saja. Pelayan tadi sempat menjelaskan panjang lebar bahwa telur itu berasal dari puyuh yang diberi makan rempah-rempah organik impor dari Asia Selatan.
Elara mengernyit, memperhatikan lebih dekat. Bubur yang biasanya berwarna putih polos, di sini memiliki warna krem keemasan dengan aroma yang aneh tapi menggoda. Setelah diselidiki, ternyata bubur ini dimasak dengan kaldu foie gras, lalu diberi sentuhan saffron agar warnanya lebih mewah.
Di sisi mangkuk, ada garnish berupa kelopak mawar merah yang bisa dimakan—bukan sebagai hiasan biasa, tetapi sebagai simbol "romansa dalam setiap sendok," begitu kata pelayan.
Dan jangan lupa sausnya. Di samping mangkuk, terdapat botol kecil kaca kristal yang berisi cairan merah kental.
"Ini adalah saus berry liar yang dipetik langsung dari pegunungan Swiss," jelas pelayan saat tadi menjelaskan dengan bangga. Elara mengernyit lebih dalam. Bubur dan saus berry? Apa-apaan ini?
Kemudian Elara mengambil sendok perak kecil yang juga terlihat seperti hiasan. Saat mencicipi sedikit, rasa gurih dari kaldu bercampur dengan manisnya saus berry, menciptakan kombinasi rasa yang... sulit dijelaskan.
Apakah ini enak? Elara tidak yakin. Yang jelas, ini bukan bubur yang ia kenal.
###
Setelah sarapan yang penuh perdebatan, mereka melanjutkan perjalanan ke rumah kakek Zayden. Rumah itu megah, dengan halaman luas dan taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni.
Begitu Zayden membuka pintu, seorang pria tua berwajah ceria muncul dari ruang tamu. Kakek Abraham langsung tersenyum lebar ketika melihat mereka.
“Cucu kesayanganku!” serunya sambil berjalan mendekat. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya tertuju pada Elara.
Tanpa ragu, Kakek Abraham merentangkan tangannya dan memeluk Elara dengan erat.
“Lho, lho, tunggu!” Elara terkaget, tubuhnya kaku dalam pelukan.
“Ini luar biasa. Kamu benar-benar membawa gadis cantik ini untuk bertemu denganku!” seru Kakek Abraham penuh antusias.
Elara menatap Zayden dengan ekspresi minta tolong. Namun, Zayden hanya berdiri di sana, menahan tawa sambil menyilangkan tangan di dada.
“Ehm, Kakek... bisa dijelaskan?” tanya Elara sambil mencoba melepaskan diri.
“Oh, kamu mengingatkanku pada seseorang,” jawab Kakek Abraham, akhirnya melepaskan pelukannya. “Aku merasa seperti sudah mengenalmu sejak lama.”
'Oke... ini mulai aneh,' pikir Elara.
Ketika Zayden dan Kakek Abraham mulai berbincang, Elara hanya bisa duduk di sofa sambil merenung.
'Apa ini yang disebut cinta pandangan pertama? Jangan-jangan Kakeknya Zayden ini terlalu bersemangat karena kesepian. Atau mungkin dia benar-benar jatuh cinta padaku? Oh, Tuhan. Jangan sampai aku harus menjelaskan bahwa ini cuma salah paham.' Pikiran gila Elara jauh kemana-mana.
Namun, senyum hangat Kakek Abraham sedikit membuat Elara merasa lebih nyaman, meski pikirannya masih penuh dengan dugaan aneh.
Bersambung...