Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Pagi itu, suasana di meja makan keluarga Rita masih terasa sedikit canggung. Dina, yang sudah berdandan rapi dengan pakaian barunya, duduk bersama Ferdi dan ibunya. Hari ini adalah hari pertama Dina akan memulai pekerjaannya di perusahaan keluarga mereka. Meski gugup, Dina mencoba terlihat tenang.
Rita, dengan senyum hangat seperti biasanya, menyuguhkan secangkir teh kepada Dina. “Dina, karena ini hari pertama kau bekerja, bagaimana kalau kau berangkat ke kantor bersama Ferdi?” tanya Rita penuh perhatian.
Dina, yang merasa tidak ingin merepotkan dan enggan membuat situasi lebih canggung, segera menggeleng halus. “Terima kasih, Nyonya. Tapi saya lebih nyaman naik kendaraan umum saja. Lagipula, saya ingin menikmati perjalanan sendiri. Saya tidak apa - apa”
Di seberang meja, Ferdi yang sedang meminum kopinya, mendongak dan dengan cepat menanggapi, “Mi, jangan mengada - ada.” Nada suaranya terdengar sedikit tegas. “Mami mau jika ada gosip di kantor kalau aku tiba-tiba datang bersama dengannya. Aku tidak mau menimbulkan gosip murahan di kantor” ujarnya, jelas menekankan bahwa ia sama sekali tidak setuju dengan gagasan tersebut.
Dina melirik Ferdi dengan canggung, merasa tak enak meskipun sebenarnya ia sependapat. “Saya juga tidak ingin merepotkan. Naik kendaraan umum saja sudah cukup buat saya,” tambahnya lagi, mencoba meredakan ketegangan kecil yang terasa.
Rita tertawa kecil, lalu mengangguk. “Maaf, aku tidak memikirkan sampai sejauh itu"
"Kau benar Ferdi, hal ini akan membuat kalian tidak nyaman satu sama lain"
Ferdi hanya mengangguk sekilas.Dia menyelesaikan sarapannya dengan cepat, lalu beranjak dari meja. “Aku akan berangkat duluan,” katanya dingin, meraih tas kerjanya dan segera pergi.
Dina tersenyum kecil kepada Rita, merasa sedikit lega karena situasi tak lagi canggung setelah kepergian Ferdi, tak lama dia pun juga berpamitan dan pergi menuju ke tempat kerjanya yang baru.
***
Dina berdiri mematung di depan gedung menjulang tinggi dengan logo besar bertuliskan "Mentari Grup." Gedung itu berdiri megah, menandakan kejayaan perusahaan keluarga milik Rita. Dina menelan ludah, merasa begitu kecil di hadapan kemegahan itu. Perasaan gugup mulai merayap, tangannya sedikit berkeringat saat ia melangkah mendekati pintu masuk.
Begitu masuk ke lobi, interior gedung yang modern dan elegan semakin membuat Dina terpesona. Namun, dia berusaha menenangkan diri. Fokusnya sekarang adalah memulai hari pertama kerjanya dengan baik. Ia melangkah menuju meja resepsionis, sejenak dia menarik napas panjang untuk mengurai rasa gugup di benaknya.
"Selamat pagi," sapanya lembut pada petugas resepsionis. "Saya Dina Rahmawati, ingin bertemu dengan Pak Aldo, Direktur HRD." Dina juga menjelaskan siapa dirinya dan apa keperluannya kepada resepsionis.
Petugas resepsionis tersenyum ramah sambil mengetik sesuatu di komputernya. “Tunggu sebentar, Bu Dina,” katanya. Setelah beberapa detik, dia melanjutkan, “Asisten Pak Aldo akan segera menemui Anda.”
Dina mengangguk dan menunggu dengan perasaan tak menentu. Matanya sesekali melirik sekeliling, memperhatikan karyawan-karyawan yang lalu lalang dengan seragam formal dan tampak begitu profesional. Ia merasa dadanya semakin berdebar, tapi ia berusaha tetap tenang.
Tak lama kemudian, seorang wanita muda datang menghampiri Dina. "Bu Dina, saya Yuli, asisten Pak Aldo. Silakan ikut saya, Pak Aldo sudah menunggu."
Dina mengangguk cepat dan mengikuti Yuli melewati lorong menuju lift. Mereka naik ke lantai yang lebih tinggi, dan hal itu membuat Dina semakin gugup. Setibanya di lantai yang dituju, mereka melangkah keluar menuju ruangan Direktur HRD. Di sana, Aldo, seorang pria berpenampilan rapi, menunggu di balik meja kerjanya.
“Selamat datang, Dina,” sapa Aldo sambil tersenyum. “Saya sudah dengar banyak tentang kamu dari Ibu Rita. Kita akan mulai dengan briefing pekerjaanmu hari ini. Siap?”
Dina tersenyum gugup, tapi mengangguk mantap. “Siap, Pak.”
***
Dina berusaha terlihat tenang di hadapan Aldo, meskipun hatinya berdegup kencang. Dia berusaha menyerap setiap informasi yang diberikan oleh Aldo, Direktur HRD di Mentari Grup, tempatnya akan memulai pekerjaannya yang baru. Aldo menjelaskan tentang posisi yang akan Dina jalani—sebagai staf di tim Business Development dan Analisis Bisnis.
"Jadi, pekerjaan utamamu nanti akan berfokus pada riset pasar, mengembangkan strategi bisnis, dan membantu tim dalam pengambilan keputusan berdasarkan analisis data," Aldo menjelaskan sambil membuka dokumen di depannya. "Kami butuh seseorang yang tidak hanya memahami teori, tetapi juga bisa menerapkan itu dalam dunia bisnis nyata."
Dina mengangguk, Setelah beberapa saat, Aldo berhenti sejenak dan menatapnya.
"Tapi, ada satu hal yang harus kau tahu, Dina," lanjut Aldo dengan nada lebih serius. "Awalnya, saya tidak setuju dengan keputusan Ibu Rita untuk langsung menerima kamu bekerja di sini tanpa melalui proses seleksi yang seharusnya. Bagi saya, proses seleksi itu sangat penting. Namun, karena Ibu Rita sendiri yang memberimu kesempatan, saya memutuskan untuk memberimu masa percobaan selama tiga bulan. Kalau dalam waktu itu kau bisa menunjukkan kemampuan dan kualitas yang kami harapkan, saya akan menganggap kamu sebagai rekrutmen resmi di perusahaan ini. Tapi jika tidak, maka kau harus mundur dari posisimu nanti"
Dina merasa sedikit tertekan, namun ia juga tahu ini adalah kesempatan yang sangat berharga baginya. Dia menatap Aldo dengan serius, berusaha menenangkan dirinya.
"Saya akan berusaha sebaik mungkin, Pak," jawab Dina tegas. "Saya tahu saya harus membuktikan kemampuan saya. Saya akan bekerja keras untuk itu."
"Jadi saya akan bekerja dibawah anda dan bukan pak Ferdi?" tanya Dina gugup
Aldo melirik, lalu menatap Dina heran, "Apa kau mau bekerja dibawah pak Ferdi, aku bisa mengaturnya" tanya Aldo.
"Tidak.... tentu saja tidak.... Tolong jangan anggap serius ucapan saya" jawab Dina cepat.
Aldo tersenyum tipis, seolah puas dengan jawabannya. "Baik, saya berharap kau bisa membuktikan itu. Selama tiga bulan percobaan ini, Aku akan mengawasi kinerjamu. Jika kau berhasil, kita akan lanjutkan, dan saya tak akan mempermasalahkan bagaimana kau diterima di sini."
Dina mengangguk lagi, Dia bertekad untuk tidak mengecewakan Rita dan dirinya sendiri. Ini adalah kesempatan yang tidak akan dia lewatkan begitu saja.
***
Setelah pertemuan dengan Dina selesai, Aldo menuju ruang kerja Ferdi. Ketika Aldo memasuki ruangan, Ferdi yang sedang duduk di belakang meja kerjanya, memandangnya dengan tatapan yang hampir tidak berubah—seperti biasa. Mereka berdua adalah sepupu yang dibesarkan bersama sejak kecil. Sehingga hubungan keduanya bisa dikatakan cukup dekat.
"Jadi, bagaimana dengan wanita itu?" tanya Ferdi tanpa berpaling dari layar komputernya. "Di posisi apa dia ditempatkan? Jangan bilang kau memberinya posisi bagus hanya karena mami yang membawanya ke sini."
Aldo, yang sudah terbiasa dengan sikap Ferdi yang sinis, hanya mengangkat bahu. "Dia ditempatkan di tim Business Development, bagian analisis bisnis. Posisi standar seperti karyawan lainnya. Aku juga memberinya masa percobaan selama tiga bulan," jawab Aldo, tetap terlihat profesional meskipun dia bisa merasakan Ferdi sedang menilai situasi ini.
Ferdi mengangkat alis, ekspresinya mulai berubah sedikit skeptis. "Hah, masa percobaan? Tentu saja dia harus menerimanya. Tapi ingat, jangan kasih dia perlakuan khusus, Aldo. Ini perusahaan besar, bukan tempat untuk bermain-main."
Aldo tersenyum tipis, tidak terkejut dengan sikap Ferdi yang cenderung acuh tak acuh. "Ferdi, kau ini selalu berpikiran yang rumit. Lagipula, ini bukan masalahku, aku hanya menuruti keinginan tante Rita. Tapi, kalau kau khawatir, kau saja yang memberinya tugas dan tempatkan dia sebagai sekretarismu. Sudah lama kan kau tidak memiliki sekretaris, sejak Reyna mengundurkan diri karena menikah."
Ferdi mendengus, matanya sedikit menyipit. "Intinya Jangan terlalu baik sama dia. Kalau kau benar-benar ingin dia belajar, beri dia pekerjaan yang berat. Biarkan dia merasa tertekan. Kalau dia tidak tahan, biar dia yang mundur sendiri."
Aldo tertawa geli mendengar permintaan Ferdi yang kekanak-kanakan itu. "Tenang saja. Tidak akan ada perlakuan khusus. Aku akan memberikan beban kerja yang sesuai kapasitasnya."
Namun, Aldo tak berhenti di situ. "Tapi, Ferdi, aku ingatkan saja, jangan terlalu keras padanya. Jangan sampai kau justru memperlakukan Dina dengan cara yang membuat dia nyaman, bisa - bisa nanti malah kau jatuh cinta dengannya."
Ferdi langsung mendelik kesal, tatapannya tajam seperti bisa membakar. "Sialan kau Aldo! Aku tidak tertarik pada dia. Hubungan asmara itu cuma buang-buang waktu. Aku lebih suka fokus pada pekerjaan."
Aldo menatap Ferdi dengan senyum nakal. "Ya...ya.... terserah kau saja. Aku hanya mengingatkanmu."
Ferdi mendengus, seolah tak peduli dengan peringatan Aldo, dan kembali fokus pada pekerjaannya. "Kalau sudah tidak ada lagi yang ingin kau katakan, pergi kau dari ruanganku."
Aldo tertawa kecil, tahu betul bahwa meskipun Ferdi bersikap dingin, tak ada yang lebih menghibur baginya selain mengolok-olok sepupunya.
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina