Madava dipaksa menikah dengan seorang pembantu yang notabene janda anak satu karena mempelai wanitanya kabur membawa mahar yang ia berikan untuknya. Awalnya Madava menolak, tapi sang ibu berkeras memaksa. Madava akhirnya terpaksa menikahi pembantunya sendiri sebagai mempelai pengganti.
Lalu bagaimanakah pernikahan keduanya? Akankah berjalan lancar sebagaimana mestinya atau harus berakhir karena tak adanya cinta diantara mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Syaratnya adalah
Dengan perasaan gugup luar biasa, Ayu pun berjalan dengan pelan menuju ranjang. Perasaannya semakin tidak menentu apalagi saat matanya melihat tubuh Madava yang shirtless. Belum lagi, bulir-bulir bening air yang masih mengalir dari rambut basahnya ke tubuh shirtlessnya membuat jantungnya berdetak tak normal. Madava sampai berdecak karena Ayu yang berjalan begitu lambat. Sudah seperti siput saja, Madava membatin.
"Aaargh, Mas, turunin!" pekik Ayu terkejut bukan main saat Madava tiba-tiba menggendongnya dan mendudukkannya di tepi ranjang.
Madava pun ikut duduk di sampingnya. Jantung Ayu semakin jumpalitan saat Madava duduk tepat di sampingnya sambil menatap lekat dirinya.
"M-Mas, kita mesti ke rumah sakit lagi kalau Mas lupa."
"Aku nggak akan lupa. Kamu tenang aja."
"Ya, gimana mau tenang, kamu kok malah kayak gini. Kalau tau syaratnya begini, aku nggak akan minta kue itu tadi," omel Ayu.
"Memang apa syaratnya? Kamu udah tau?"
"Nggak usah pura-pura bego deh, Mas. Nanti-nanti aja kenapa sih. Kamu 'kan tau, Rafi sedang tidak baik-baik saja. Seenggaknya, kita melakukannya nunggu Rafi agak baikan dan sudah boleh pulang ke rumah. Bukan kayak gini."
"Melakukan apa? Aha, aku tau. Pasti kamu mikir yang enggak-enggak ya?" goda Madava sambil tersenyum geli. "Ternyata pikiran istriku bisa mesum juga ya?" imbuhnya lagi membuat Ayu mendelik kesal.
"Mikir yang enggak-enggak gimana? Apa lagi coba yang mau kamu lakuin, masuk ke kamar aku sambil pamer body sixpack. Terus duduk di ranjang seperti ini. Nggak usah berkelit deh, aku nggak sebodoh itu," ketus Ayu yang seketika membuat Madava tergelak kencang.
"Astaghfirullah, padahal dari awal aku nggak ada kepikiran ke situ lho. Tapi kalau kamu mau, aku sih ayo aja." Madava mengerling jahil membuat Ayu kesal bukan main dan segera menepuk pahanya.
"Aduh, ternyata kamu suka banget kdrt ya! Mau aku laporin ke polisi?"
"Laporin aja! Nggak takut," kesal Ayu.
Ayu pun segera berdiri. Ia hendak segera berpakaian. Ia takut mereka tiba-tiba saja khilaf. Khilaf yang halal tentunya.
Tapi belum sempat menjauh, Madava justru menarik tangan Ayu sehingga ia kembali terduduk di tempatnya.
"Nggak usah kemana-mana dulu. Aku mau membicarakan persyaratanku tadi."
"Syarat, syarat, syarat! Kalau bukan ehem-ehem, jadi apa? Jangan bertele-tele deh, Mas! Kamu tau 'kan, aku ... Aku sedang benar-benar mengkhawatirkan Rafi." Ayu tertunduk lesu mengingat keadaan Rafi yang sedang tidak baik-baik saja.
"Aku tau. Karena dari itu, aku ingin bicara. Ingat pesan Mama 'kan? Mama bilang, kalau ada masalah bicarakan baik-baik. Dan untuk itu aku di sini. Aku ingin tau segala tentangmu dan Rafi. Khususnya Rafi. Apa kau tau, kalau Rafi benar-benar mengidap leukemia, satu-satunya cara pengobatannya adalah dengan transplantasi sumsum tulang belakang. Dan proses transplantasi itu membutuhkan orang tua kandungnya karena yang memiliki kecocokan sumsum tulang belakang itu hanya keluarga sedarahnya terkhusus orang tua dan saudara-saudaranya. Jadi, Ayu, aku mohon dengan amat sangat, ceritakan segala tentangmu. Jangan ada yang dirahasiakan lagi. Jangan ada yang ditutupi. Itupun kalau kau memang begitu menyayangi Rafi. Terlebih, aku adalah suamimu. Aku berhak tau segala sesuatu tentangmu. Bisa kau melakukannya?"
Ini, inilah yang sejak tadi Madava rencanakan. Ia tahu, Ayu merupakan perempuan yang tertutup. Tapi bukankah ia sebagai suami berhak tahu segala sesuatu tentang Ayu maupun Rafi.
Ayu terhenyak. Ia tidak menyangka kalau syarat yang Madava ajukan adalah ingin mengetahui segala sesuatu tentangnya. Ia pikir Madava ingin melakukan hubungan suami istri lagi dengannya. Tidak salahkan ia berpikiran seperti itu. Bahkan semua pembaca pun berpikiran yang sama dengannya.
"Tapi sebelum itu, Mas, apa kau tetap akan menerima Rafi sebagai putramu? Jujur, hal inilah yang membuatku takut memberitahu dirimu dan mama tentang identitas Rafi."
Memang ketakutan terbesar Ayu adalah identitas Rafi. Bagaimanapun, identitas Rafi tidak jelas. Ia khawatir Bu Shanum dan Madava menolak Rafi karena identitasnya itu. Berbeda bila identitasnya jelas anak dirinya.
"Aku akan mempertimbangkannya setelah kau menceritakan segalanya."
"Tapi ... "
"Tidak ada tapi-tapi, Ayu. Ketidakjujuran mu akan membuatku membatalkan membiayai pengobatan Rafi, mau mau?" Ancam Madava.
Ayu menggeleng cepat. Ia justru lebih takut Madava membatalkan pembiayaan pengobatan Rafi. Bagaimana kalau penyakitnya justru semakin parah setelah ini. Ayu akhirnya memilih pasrah dan mulai menceritakan semuanya.
"Jadi, kau tidak tahu sama sekali siapa orang tua Rafi?"
Ayu mengangguk lesu. "Iya. Rafi ditinggalkan begitu saja di depan pintu dengan tubuh yang terbalut selimut," ujar Ayu perih.
Air matanya mengalir deras. Mengingat masa lalunya yang perih, membuat Ayu tak mampu menahan gejolak kesedihan yang tersembunyi di hatinya. Tidak seorang pun yang tahu masa lalunya. Hanya dirinya. Semua ia pendam sendiri selama ini.
"Kau bilang sebelumnya kau tinggal di kota sebelah, kenapa kau bisa berada di kota ini? Bukankah kau tadi juga bilang pemilik toko roti itu begitu baik. Bahkan mengizinkan membawa Rafi bekerja?" cecar Madava penasaran.
Bukan ia tidak iba melihat Ayu menangis, tapi ia ingin mengetahui segalanya sesegera mungkin. Ia tak ingin ada satupun yang mengganjal di hatinya.
Mata Ayu kembali menerawang.
"Saat itu, aku pikir setelah aku mengatakan hal yang menyakitkan bagi Rafa, maka semua akan benar-benar berakhir. Tapi ternyata tidak. Karena Rafa yang tidak mau menikahi Tika, ibunya jadi sering datang untuk memaki-maki ku. Tak cukup sampai di situ, ibu Rafa pun menemuiku dan mencaci maki ku. Ia menghinaku dan menyebarkan berita bohong tentangku di sana. Alhasil, semua orang mencibirku. Tak jarang aku diteror dari tumpukan sampah yang berada di pintu kosan ku, bangkai tikus, bangkai ayam, dan masih banyak teror lainnya. Tetangga pun mulai tidak nyaman karena keberadaanku. Aku yang tidak ingin tumbuh kembang Rafi terganggu karena segala macam gangguan itupun memilih pindah ke kota ini," paparnya dengan air mata berlinang.
"Aku pikir, di sini tidak begitu susah mencari pekerjaan. Tapi ternyata kota ini lebih sulit." Ayu terkekeh. "Bila di sana aku masih bisa menjaga toko sambil membawa Rafi, tapi di sini, tidak ada yang mau mempekerjakan ku. Kata mereka, kerjaan ku pasti nggak akan beres kalau sambil bawa anak. Aku pun terpaksa jadi tukang pungut barang bekas. Pasti Mas ilfil mendengarnya 'kan?" Ayu melirik Madava yang tampak mendengarkan ceritanya dengan seksama.
Tuk ...
Madava menyentil dahi Ayu membuat perempuan itu mengerucutkan bibirnya.
"Nggak usah mikir aneh. Kembali ke laptop!"
"Maksudnya?" Ayu tidak mengerti.
"Lanjutkan ceritanya, Ayuning Tyas!" Madava. "Oh, ya, terus gimana kamu bisa bekerja di rumah mama?"
"Oh, itu." Ayu menggaruk kepalanya sendiri. "Emmm ... kebetulan saat itu aku sedang mungutin sampah-sampah yang kiranya bisa ku jual dari tempat sampah di depan rumah Mama. Satpam komplek ngira aku mau nyuri. Jadi aku hampir aja diamuk massa. Tapi untung aja ada Mama. Apalagi saat itu dia lihat, aku tidak sendiri. Di dekat pohon, aku meminta Rafi duduk. Rafi yang melihat aku mau diamuk massa menangis. Mama sadar, aku di sana sama Rafi. Mama pun meminta mereka berhenti mengamuk dan menanyaiku kenapa ada di situ. Setelah aku cerita, Mama jadi iba. Dari situlah Mama akhirnya memintaku bekerja di rumahnya."
Madava yang mendengar cerita Ayu tersenyum pilu. Ia sama sekali tidak menyangka perjalanan hidup Ayu begitu terjal dan berliku. Bahkan keluarga yang seharusnya bisa dijadikan tempat untuk bersandar dan berlindung justru membuangnya dengan cara yang keji. Sungguh tega sekali.
Madava mengusap kepala Ayu lembut membuat perempuan itu terpana.
"Maaf kalau sikapku sebelumnya membuatmu sakit hati. Mungkin pernikahan ini dilandasi rasa keterpaksaan, tapi ... Aku akan berusaha menerima semuanya. Kau masih mau 'kan menjadi istriku?"
"Kamu nggak masalah dengan masa laluku?"
"Nggak. Justru aku kagum padamu. Kamu hebat bisa bertahan sampai sekarang. Bahkan kamu mau menerima dan membesarkan Rafi yang notabene bukan darah dagingmu. Ya sudah, ayo kita bersiap ke rumah sakit lagi. Atau kamu mau melakukan yang ada di pikiran mu dan para pembaca tadi lebih dulu?" goda Madava.
"Eh, nggak, nggak, nggak! Keluar sana. Aku mau ganti baju."
"Ngapain mesti keluar? Oh, maksudnya keluarkan di dalam, begitu?"
"Madava, dasar omes! Keluar!" Ayu mendorong tubuh Madava agar keluar dari kamarnya.
"Kenapa mesti keluar sih? Kan aku sudah melihat semuanya?"
"Nggak mau! Dasar, mesum!"
Brakkk ...
Tawa Madava meledak setelah Ayu menutup kencang pintu kamarnya. Mulut Ayu komat-kamit kesal. Tapi tidak ia pungkiri, ada kelegaan tersendiri setelah menceritakan masa lalunya pada suaminya itu.
Diam-diam, Ayu pun tersenyum.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...