Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22. Kecelakaan sang ayah
Sejak pertemuan terakhirnya dengan Kafka di bandara Asha tak pernah sekalipun ada niat untuk mengganggu Kafka dalam bentuk apapun. Saat ini Asha fokus dengan clinical clerkships (coass) di Boston Children's Hospital, ini adalah tahun terakhirnya sebagai mahasiswa kedokteran. Selanjutnya dia akan mengambil spesialis bedah jantung yang masih menjadi pertimbangannya di Harvard atau Stanford.
Sementara Kafka sedang fokus menjalani residen tahun pertamanya di Stanford Health Care, hampir setiap hari keluar masuk ruang operasi sudah menjadi makanannya. Sesekali dia merasa kehilangan Asha, dia sudah tak lagi mengganggu Kafka. Namun Kafka tetaplah seorang laki-laki dengan ego yang tinggi, sekalipun dia merindukan Asha tak mungkin akan memulai lebih dulu untuk menyapa.
"Rindu serindu rindunya, tapi gengsi" Revan menggoda Kafka yang tanpa sengaja terlihat sedang melihat foto Asha di ponselnya.
"Berisik Van. Aku gak rindu dia," Kafka berkilah dan menutup ponselnya.
"Lanjut ... lanjutin terus sampai Asha tiba-tiba ngenalin pacarnya," Revan tak habis pikir dengan cara Kafka bersikap pada Asha. Mereka kemudian Bersiap untuk masuk ke ruang operasi sebagai residen bedah umum.
Malvin mengunjungi Asha di Cambridge setelah sebelumnya melakukan perjalanan ke Prancis untuk urusan bisnis. Asha tentu senang dengan ke datangan sang ayah, meskipun dua minggu lagi sebenarnya mereka akan datang karena Asha wisuda.
"Ayah, dua minggu lagi padahal juga bakal ke sini." Asha menghampiri Malvin dan memeluk ayahnya.
"Sudah rindu sama putri sulung ayah. Ayah takut nanti gak bisa nemeni kakak wisuda," Asha terkejut mendengar perkataan ayahnya.
"Ih ayah, harus datang pokoknya. Kakak marah lho," Malvin terkekeh karena berhasil membuat putrinya sedikit panik.
"Siang om," Amoora dan Argan datang menyapa dari arah yang bersamaan.
"Siang Argan, Amoora. Terimakasih ya sudah membantu Asha, om harap kalian selalu ada bersama Asha sampai kapanpun. Titip Asha ya," Asha melihat ayahnya, seolah Malvin menitipkan Asha pada mereka. Entah kenapa perasaan Asha akhir-akhir ini sedang tidak baik, dia selalu bermimpi seolah ayahnya akan pergi jauh.
"Siap om, sampai kapanpun kami akan menjadi sahabatnya Asha" ucap Argan yang diikuti anggukan kepala dari Amoora.
Mereka berempat makan siang sebentar sebelum Malvin kembali ke Indonesia, masih ada jeda waktu istirahat sebelum Asha dan dua temannya memulai pergantian shift dengan coass yang lain. Malvin sudah berpamitan pergi pada Asha, namun saat dia hendak masu mobil tiba-tiba Asha kembali menghampiri dan memeluk ayahnya erat.
"Kenapa sayang?" Malvin bertanya saat putrinya memeluk dirinya dengan erat sambil menangis.
"Ayah harus sehat dan baik-baik saja, pokoknya harus datang wisuda kakak." Malvin mencium puncak kepala putrinya, sebenarnya dia juga masih ingin berlama-lama dengan Asha.
"Ayah pasti datang, sekarang ayah pulang dulu. Takut ibu ratu marah," Asha terkekeh dan mengurai pelukannya dari sang ayah. Membiarkan ayahnya untuk pulang.
Lusa Asha dan teman-temannya akan melakukan sumpah dokter, keluarganya baru akan datang dua hari sebelum wisuda. Malam sebelum sumpah dokternya Asha semakin larut dalam kegelisahan, dia bahkan tidak bisa tidur.
"Bunda, di sana pasti masih pagi ya? Di sini sudah jam 10 malam, Asha tidak bisa tidur, mau telepon bunda," Asha menanti balasan pesan dari bundanya tapi tak ada balasan hingga akhirnya dia mencoba menghubungi bundanya namun tak ada jawaban juga.
"Apa bunda sedang sibuk ya?" Asha bermonolog dengan dirinya sendiri, dia memutuskan untuk mencoba memejamkan mata. Mungkin nanti bundanya akan membalas atau menelpon dia balik.
Asha sudah bersama teman-temannya untuk persiapan sumpah dokternya hari ini, sampai saat ini bundanya belum membalas pesannya. Dia mengatakan ke khawatirannya pada Amoora.
"Bunda sampai pagi ini belum membalas pesanku," dia menatap Amoora dengan mata sayu.
"Mungkin mereka sedang siap-siap menuju kemari. Bukannya mereka hari ini berangkat kesini?" Amoora berusaha menenangkan Asha yang sudah terlihat khawatir.
"Bisa jadi" ucap Asha
"Sudah coba hubungi ayahmu atau yang lain?"
"Emm ... sudah tapi tidak ada jawaban juga," Amoora mengusap lembut lengan sahabatnya agar lebih tenang.
"Berarti mereka sedang siap-siap kemari. Ayo kita ke sana, acara sudah mau di mulai" ucap Amoora sambil menggandeng tangan Asha menuju tempat mereka akan melakukan sumpah. Hari itu selesai dengan lancar, mereka sudah selesai melakukan sumpah dokter dan akan melakukan wisuda dalam waktu tiga hari lagi.
"Leganya sudah selesai. Aku lapar, makan yuk?" Perut Argan sudah tidak dapat terkondisikan lagi saking laparnya.
"Kita cari makanan asia saja bagaimana? Aku lagi pengen makan itu," Amoora dengan puppy eyesnya mencoba merayu dua sahabatnya.
"Okay, let's go" ucap Argan dan Asha serempak. Namun saat mereka baru beberapa langkah tiba-tiba ponsel Asha berdering.
"Sayang, papa ada di kampus Asha. Posisi Asha ada di mana sekarang?" Alvaro yang ternyata menelepon Asha.
"Asha di dekat gedung utama fakultas pa," Alvaro adalah suami dari Ze (Ayzel) yang tak lain adalah kakak sepupu bundanya, sedangkan Alvaro adalah salah satu rekan bisnis Malvin. Asha dan adik-adiknya biasa memanggil mereka papa dan mama.
"Siapa Sha?" Amoora bertanya pada Asha.
"Papa Alvaro," Asha masih bertanya-tanya kenapa tiba-tiba papa Al datang ke Stanford.
Alvaro sudah ada di gedung tempat Asha berada, dia berjalan mendekat menuju Asha dengan ekspresi yang tidak dapat di gambarkan oleh Asha.
"Sayang, kita pulang sekarang ya?" Asha tertegun mendengar penuturan Alvaro yang meminta Asha pulang dengannya.
"Kenapa pulang pa?" Asha dapat melihat sorot mata papanya yang penuh dengan gurat ke sedihan.
"Kita pulang dulu ya, sayang? Papa Al jelaskan nanti di pesawat," Asha yang masih kebingungan namun tetap mengikuti Alvaro. Mereka berdua pergi menuju bandara setelah berpamitan dengan Amoora dan Argan, ke dua sahabat itupun saling bertukar pandang. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi dengan keluarga Asha.
Alvaro menjemput Asha langsung menggunakan jet pribadi miliknya, dia terbang dari Jakarta menuju Boston begitu istrinya memberitahu bahwa Malvin mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang dari meeting. Saat ini Malvin sedang mendapatkan penanganan di salah satu rumah sakit di Jakarta, alasan kenapa Asha tak dapat menghubungi keluarganya ternyata karena mereka saat itu sedang menunggu Malvin di rumah sakit.
Malvin masih sempat sadar setelah mendapatkan pertolongan pertama, namun kondisinya menurun akibat benturan pada kepalanya. Hari itu juga Malvin harus melakukan operasi besar dan cukup beresiko karena cidera kepalanya. Maira mencoba untuk tegar sebelum akhirnya tumbang, Rion dan Cia hanya bisa saling berpelukan dan menangis melihat kondisi ayah mereka. Terlebih Cia yang seolah harus kembali berhadapan dengan ingatannya saat Asha dulu mengalami kecelakaan.
Maira berada di ruang rawat bersama dengan Ze, sementara yang lain masih menunggu operasi Malvin selesai.
"Kak, aku mau lihat suami aku" ucap Maira dengan suara yang bergetar.
"Di sana ada Rion, Cia dan sahabat-sahabat Malvin. Kamu harus tenang dulu," Ze mencoba menenangkan adik nya.
"Kak, aku mohon." Maira turun dari ranjang pasiennya dengan tertatih.
"Ok. Kamu boleh ke sana, tapi dengan satu syarat. Kamu harus kuat, apapun yang terjadi kamu harus siap. Jangan lupa Asha saat ini belum tahu tentang kondisi ayahnya, mas Al bilang dia tidak sanggup harus mengatakan langsung padanya." Ze memapah Maira untuk duduk di kursi roda dan membawanya kembali untuk menunggu suaminya.