Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Strangers' Familiarity
Jae Hyun memarkirkan mobilnya di basement gedung apartemen tempatnya tinggal. Suara mesin mobil yang dimatikan terdengar menggema, menciptakan keheningan yang terasa asing di sudut gelap ruang bawah tanah itu.
Dengan santai, Jae Hyun keluar dari mobilnya. Ia merapikan kerah mantelnya dan menghirup napas panjang, seolah mengumpulkan energi setelah perjalanan panjang. Namun, saat ia memandang ke kursi penumpang, matanya tertuju pada Riin yang masih duduk terpaku, kedua tangannya menggenggam erat tas di pangkuannya. Wajahnya tampak tegang, matanya memancarkan kebimbangan yang jelas terlihat. Jae Hyun mengerutkan kening.
“Hei, ada apa?” tanyanya sambil berjalan memutar ke sisi mobil Riin. Ia membuka pintu untuknya. “Apa kau berubah pikiran?”
Riin mengangkat wajahnya perlahan, matanya menatap Jae Hyun dengan ragu. Suaranya terdengar pelan, ketika ia berkata, “Kau... bisa menjamin tidak akan macam-macam padaku, kan?” Pertanyaan itu meluncur dari bibirnya dengan nada cemas. Ia menyadari betapa absurdnya situasi ini — menginap di apartemen seorang pria, meski pria itu adalah calon suaminya. Namun, rasa takut akan ketidakpastian membuat pikirannya terus berputar.
Jae Hyun menatapnya dengan pandangan serius sejenak, lalu menghela napas pendek sebelum menjawab, “Tentu saja. Kalaupun terjadi sesuatu, bukankah tidak masalah karena kita akan menikah?” Nada suaranya sedikit bergurau, mencoba mencairkan ketegangan yang ia rasakan dari Riin.
Mendengar itu, wajah Riin seketika memerah. Ia memukul bahu Jae Hyun dengan kekuatan yang sebenarnya tidak terlalu keras, meski cukup untuk menyampaikan protesnya. “Ini bukan saatnya bercanda!” tegurnya dengan nada kesal.
Jae Hyun tertawa kecil, menikmati reaksi Riin yang baginya selalu menarik. “Tapi memang itulah faktanya, Nona. Sekarang, apa kau akan terus duduk di sana, atau kau lebih memilih meminjam uang untuk menginap di hotel?” Ia mengulurkan tangannya, menunggu Riin untuk mengambilnya.
Riin memandang tangan itu, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mendesah panjang. “Tak ada pilihan yang lebih baik di antara keduanya,” gumamnya pelan sambil melepas sabuk pengamannya. Ia turun dari mobil, menghindari kontak langsung dengan Jae Hyun, bahkan sempat mendorong tubuh pria itu agar tidak terlalu dekat dengannya.
“Cepat tunjukkan jalannya,” ujarnya sambil melirik ke sekeliling basement yang terasa sunyi dan dingin. “Dan ingat, kalau kau macam-macam, aku akan melapor polisi.” Nada ancaman itu terdengar serius, meski ada sedikit gemetar di suaranya.
Jae Hyun hanya tersenyum tipis, jelas tidak terpengaruh. “Silakan saja,” jawabnya santai, “tapi aku bisa dengan mudah melakukan pembelaan. Aku ini calon suamimu, ingat?”
Mata Riin menyipit, menunjukkan ketidaksukaannya atas kepercayaan diri Jae Hyun yang terlalu tinggi. Namun, ia memilih untuk tidak membalas, hanya mendengus pelan sambil mengikuti langkah pria itu menuju lift. Suara langkah kaki mereka bergema di lorong sempit, seolah mengikuti mereka dengan irama yang monoton. Aroma lembap khas ruang bawah tanah menyelinap di antara mereka, membuat suasana semakin terasa ganjil.
***
Jae Hyun pun melangkah masuk ke dalam gedung megah itu, dengan marmer mengilap memantulkan setiap langkahnya. Langit-langit yang tinggi dihiasi lampu gantung kristal, memberikan suasana yang megah namun terasa dingin dan asing bagi Riin. Di belakangnya, Riin mengikuti dengan langkah pelan, seolah menimbang setiap pijakan. Tangannya mencengkeram tas kecilnya erat, sebuah tanda kewaspadaan yang tak mampu ia sembunyikan.
Mereka masuk ke lift, sebuah kotak modern berlapis kaca yang memantulkan bayangan mereka berdua. Riin berdiri di sudut, berusaha menjaga jarak dari Jae Hyun, meskipun ruang itu terlalu sempit untuk benar-benar memberi ruang.
Riin melipat tangannya di depan dada, matanya menatap lantai lift yang terbuat dari baja mengilap. Jae Hyun, di sisi lain, tampak santai, menatap angka-angka di panel yang naik perlahan. Kesunyian di antara mereka terasa sedikit canggung, meski hanya berlangsung beberapa detik.
Riin melirik ke arah Jae Hyun, menimbang-nimbang kata-kata sebelum akhirnya bertanya, “Apa kau sering membawa wanita ke rumahmu?” Nada suaranya terdengar ringan, hampir santai, tapi ada ketegangan halus di baliknya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang peka.
Jae Hyun, yang tengah memerhatikan angka-angka digital di panel lift, menoleh perlahan. Alisnya terangkat sedikit, dan sebuah senyuman kecil namun penuh makna muncul di sudut bibirnya. “Apa aku terlihat seperti pria yang memiliki kebiasaan itu?” tanyanya balik, nadanya ringan tapi penuh dengan tantangan.
Riin mengangkat bahu, mencoba terlihat tidak peduli meski hatinya berdebar. “Sejak tadi kau terlihat begitu santai, jadi kupikir... mungkin hal ini sudah biasa kau lakukan,” jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa ingin tahunya yang sebenarnya.
Jae Hyun menghela napas pelan, seolah pertanyaan itu membuatnya lelah. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding lift dan menatap langsung ke mata Riin. “Aku bersikap tenang karena, bagaimanapun juga, aku sudah menganggapmu sebagai calon istriku. Jadi secara otomatis aku merasa hal ini sebuah hal yang wajar. Ya...” Ia berhenti sejenak, menimbang-nimbang kata-kata berikutnya. “Meskipun hanya sebatas kontrak, tapi status kita tetaplah resmi.”
Kata-kata itu bergema di kepala Riin, meninggalkan rasa campur aduk yang sulit ia uraikan. Ada sesuatu dalam nada suara Jae Hyun yang terdengar tulus, tapi pada saat yang sama, dingin dan realistis. Riin menunduk, memperhatikan ujung sepatunya yang tampak kusut dibandingkan lantai lift yang berkilauan. Haruskah ia merasa tersentuh oleh ucapannya, atau justru miris karena fakta bahwa hubungan mereka hanya sebatas kontrak?
Lift berhenti di lantai tertinggi, pintunya terbuka perlahan, memperlihatkan sebuah lorong mewah yang diterangi lampu-lampu lembut. Dindingnya dilapisi kayu cokelat gelap dengan aksen emas, memberikan kesan elegan namun tetap formal. Suasana di sana begitu sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang bergema samar.
***
Jae Hyun membuka pintu apartemennya dengan gerakan santai, lalu menoleh ke belakang, memberi isyarat kepada Riin untuk masuk. Gadis itu melangkah perlahan, seakan takut menginjak sesuatu yang tidak seharusnya. Begitu memasuki ruangan, matanya langsung disuguhi pemandangan yang membuatnya terdiam sesaat. Unit apartemen itu jauh dari kesan sederhana seperti yang sempat digambarkan oleh Ny. Hana siang tadi. Dindingnya dilapisi cat putih bersih yang berpadu dengan aksen kayu cokelat tua, memberikan kesan modern namun tetap hangat. Sebuah sofa berbahan kulit berwarna abu-abu gelap terletak di tengah ruangan, menghadap ke jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari.
Riin membiarkan pandangannya menjelajahi setiap sudut. Lampu gantung di langit-langit ruang tamu terlihat sederhana, namun jelas merupakan produk desain kelas atas. Di sudut ruangan, terdapat rak buku yang tidak terlalu besar namun tertata rapi dengan buku-buku tebal yang kebanyakan berbahasa asing. Sebuah lukisan abstrak menggantung di dinding, menambahkan sentuhan artistik pada ruang yang terasa sangat mewah ini. Meski jumlah perabotan di apartemen itu tidak banyak, setiap barang memancarkan aura eksklusivitas.
“Duduklah, aku mandi dulu. Setelah itu akan kusiapkan pakaian untukmu,” ujar Jae Hyun sambil melepas mantelnya. Suaranya tenang namun tegas, memberikan kesan bahwa ia selalu tahu apa yang harus dilakukan.
Riin masih berdiri kaku di dekat pintu, tangannya menggenggam erat tali tas kecilnya. “Ke… kenapa?” tanyanya dengan nada gugup. Matanya menatap Jae Hyun dengan penuh kewaspadaan, seperti seekor anak rusa yang terjebak di tengah hutan.
Jae Hyun berhenti sejenak, menoleh, lalu mendekati Riin. Wajahnya yang tegas namun memancarkan ketenangan membuat gadis itu tanpa sadar mundur setengah langkah. Dengan lembut namun pasti, Jae Hyun menangkup wajahnya, kedua tangannya terasa hangat di kulit dingin Riin.
“Apanya yang kenapa? Kita bepergian seharian ini. Bukankah kau harus membersihkan diri?” jawab Jae Hyun sambil menatap langsung ke mata Riin. Tatapan itu membuat Riin merasa seolah Jae Hyun bisa membaca semua pikirannya.
“Aku…” Riin tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menatap pria di depannya dengan bingung.
Jae Hyun tersenyum tipis, lalu menurunkan tangannya perlahan. “Jangan terlalu banyak berasumsi. Tenangkan dirimu sedikit dan biasakan dirimu di tempat ini. Kelak, ini juga akan menjadi tempat tinggalmu, Nona kecil,” ucapnya dengan nada yang sulit ditebak. Apakah itu perintah, candaan, atau… janji?
Riin tertegun, tidak sempat merespon saat Jae Hyun berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Langkah pria itu terdengar mantap, menghilang di balik pintu kamar yang tidak sepenuhnya tertutup.
***