Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menerima perasaan
Hari itu, Bayu merasakan ada yang berbeda. Hatinya tak lagi dibebani dengan keraguan yang biasa ia rasakan setiap kali berada dekat dengan Rara. Setelah percakapan mereka di taman, semuanya terasa lebih ringan, meskipun ia belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi di dalam dirinya.
Bayu sedang duduk di kantin sendirian, seperti biasa. Memandangi layar ponselnya yang terkoneksi dengan Wi-Fi kampus, ia melamun, mencoba mengusir kebingungannya tentang perasaan yang mulai muncul, tentang Rara. Ia merasa canggung dengan dirinya sendiri, seperti halnya dengan gadis itu. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ingin lebih banyak berbicara dengan Rara, meskipun ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Tiba-tiba, suara langkah kaki menghentikan lamunannya. Ia mengangkat kepala dan melihat Rara yang datang menghampirinya. Rara mengenakan jaket hoodie merah dan celana jeans. Ia tersenyum dengan cara yang khas, meskipun senyum itu terasa lebih penuh harapan daripada biasanya.
“Gue bawa makanan buat lu,” kata Rara, meletakkan sepiring nasi goreng di depan Bayu. “Lu kan suka banget sama yang ini, kan?”
Bayu tertegun sejenak. Tidak pernah ia bayangkan akan mendapat perhatian seperti ini. Namun, ia segera menutupnya dengan senyuman kaku. “Makasih, Ra. Lu... masih inget ya?”
“Gue inget kok,” jawab Rara, dengan senyum yang lebih hangat. “Gue kan masih ingat banyak hal tentang lu, Bayu.”
Bayu merasakan sesuatu yang aneh di dada. Kata-kata Rara membuatnya merasa cemas, tapi juga sedikit tersentuh. Ia tidak tahu harus berkata apa.
“Ra...” Bayu mulai ragu, namun akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan. “Gue nggak bisa terus-terusan nyangkal perasaan gue. Kadang gue takut banget sama perasaan gue sendiri. Gue nggak ngerti soal cinta, Ra. Gue cuma...” ia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “...gue cuma takut kalau gue salah paham.”
Rara menatapnya dengan lembut. “Gue ngerti kok, Bayu. Kita kan sama-sama belajar. Gue juga nggak paham semua hal tentang perasaan ini. Tapi gue yakin, kalau lu jujur sama diri lu sendiri, semua bisa lebih gampang.”
Bayu mengerutkan keningnya. “Jujur sama diri sendiri?”
“Iya, jujur,” jawab Rara. “Kadang kita terlalu takut untuk menghadapi apa yang kita rasain, karena kita takut kalau itu salah. Tapi justru dengan menerima perasaan itu, kita jadi bisa lebih ngerti diri kita sendiri.”
Bayu terdiam sejenak, berpikir tentang kata-kata Rara. Sejak kecil, ia selalu berusaha menekan perasaan-perasaan seperti ini. Perasaan yang datang tanpa diundang, yang tidak bisa ia kontrol. Tetapi kini, setelah berbicara dengan Rara, ia merasa sedikit lebih tenang.
“Tapi... gue nggak paham juga soal cinta, Ra. Gue dari dulu nggak pernah berani deketin cewek, dan sekarang...” Bayu menelan ludahnya, “...sekarang gue malah bingung sama perasaan gue sendiri.”
Rara tersenyum dan menepuk bahu Bayu. “Nggak apa-apa, Bayu. Lu nggak perlu langsung paham. Kita nggak bisa memaksakan perasaan, tapi kita bisa belajar dari itu. Gue juga masih belajar banyak tentang diri gue sendiri.”
Bayu menghela napas, merasa sedikit lega. Ia masih merasa ragu dan bingung, tapi ada sedikit harapan yang tumbuh di dalam hatinya. Mungkin, ia mulai bisa menerima perasaannya, meskipun itu terasa asing dan menakutkan.
Sore itu, setelah makan, mereka berbincang lebih lama. Bayu merasa sedikit lebih nyaman dengan kehadiran Rara. Mereka tidak lagi berbicara tentang hal-hal berat atau rumit. Mereka hanya berbicara tentang kehidupan sehari-hari—tentang kuliah, tentang dosen yang mereka anggap aneh, tentang teman-teman sekelas, dan bahkan tentang kegiatan kampus yang akan datang.
Rara bahkan mengajaknya untuk ikut sebuah acara yang diadakan oleh jurusan psikologi, meskipun Bayu jelas tahu bahwa itu bukan acara yang berhubungan dengan jurusannya, Filsafat. Namun, Rara berhasil meyakinkannya bahwa acara itu akan menyenangkan.
“Lu nggak usah mikirin jurusan, Bayu. Yang penting lu ikut aja, kita bisa ketawa-ketawa bareng,” kata Rara dengan antusias.
Bayu hanya tersenyum ragu. Ia tahu bahwa ia tidak benar-benar tahu apa yang harus ia lakukan dalam perasaan ini, namun satu hal yang pasti—ia tidak ingin menjauhkan diri dari Rara. Setidaknya, ia bisa menikmati kebersamaan mereka tanpa tekanan yang terlalu besar.
Ketika acara diadakan, Bayu duduk di antara Rara dan teman-teman lainnya. Rara lebih sering berbicara dengan orang-orang, tetapi Bayu merasa nyaman berada di dekatnya. Ia tidak terlalu mengerti dengan percakapan yang berlangsung, tetapi ia menikmati melihat senyum Rara, melihat betapa mudahnya Rara berbicara dengan orang lain.
Setelah acara selesai, mereka berjalan berdua ke luar gedung kampus.
“Gimana, Bayu? Seru kan?” tanya Rara.
“Yah, lumayan,” jawab Bayu, meskipun sebenarnya ia merasa lebih ringan setelah acara itu. “Gue nggak ngerti banget sih sama diskusinya, tapi gue seneng bisa ikut.”
Rara tertawa kecil. “Iya, acara ini memang agak teknis. Tapi gue seneng banget lu mau ikut, Bayu.”
Bayu menatapnya, kemudian mengangguk pelan. “Ra, gue... gue belum bisa ngomong banyak soal perasaan gue. Tapi, terima kasih udah ada buat gue. Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi, tapi gue rasa gue harus mulai lebih terbuka sama lu.”
Rara tersenyum dan berhenti berjalan, memandang Bayu dengan mata penuh pengertian. “Gue nggak maksa lu, Bayu. Gue cuma pengen lu ngerti, kalau gue nggak akan pergi kemana-mana. Gue bakal nunggu, sampai lu siap.”
Bayu terdiam, merasa hatinya semakin penuh dengan berbagai perasaan yang sulit ia ungkapkan. Namun, ia tahu satu hal pasti—ia mulai membuka diri, dan mungkin, itu adalah langkah pertama yang benar.