Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 25
Denada adalah orang yang mungkin lebih kaya dariku, ayahnya adalah seorang pebisnis hebat, mobil yang ia tumpangi, mobil termahal di negara ini. Dia cantik tapi dermawan, asik dan tidak sombong, cara bicaranya tidak menye-menye, sangat tegas dan menakutkan. Ia punya jiwa sosial tinggi, penuh wawasan dan yang ada di kepalanya hanya soal pengembangan bisnis. Ia bercita-cita menjadi bisnis women yang bisa menyaingi ayahnya sendiri.
"Aku rasa, kalau kita buka usaha dari yang kecil, itu tidak masalah." ujarnya pada suatu ketika saat kami membahas banyak masa soal pemasaran dan prodak yang bisa menarik konsumen.
"Terus maksudmu kita harus jualan?" bantah Lia dengan wajah tidak setuju.
"Why not? Tujuan kita ambil jurusan bisnis itu untuk apa?" Denada menjelaskan dengan tegas.
"Menurutmu apa yang harus praktik secepat ini?" Lia masih saja tidak memberi kode persetujuan atas tugas lanjutan bersama yang diberikan dosen.
"Kalau hanya teori, itu mudah. Bisa contek di Goggle atau tanya ayah kita. Tapi akan lebih baik dan menjiwai kalau kita praktik juga, apa yang kita jalani itu yang kita catat."
"Tapi jualan tidak semudah itu Nad." timpalku berada di pihak Lia.
"Aku paham, itu sebabnya kita harus mencoba, kalau hanya berdebat, gimana kita tau?"
"Ya, oke. Lantas mau jual apa?" Raisa, kelompok baru kami ikut menyambung.
"Make up, skin care."
"Ide bagus." Lia berubah haluan. Siap skincare dan make up dia memang selalu antusias.
"Huuuu," gerutuku sambil memajukan bibir terhadapnya.
Dua hari kemudian Denada tidak main-main, entah berapa rupiah modal yang ia gunakan, karena skin.care yang dibawa cukup banyak dan branded semua.
"Niat banget," kataku sesaat setelah tercengang melihat bawaan Denada di tas seretnya.
"Mau jualan di mana kita?" Lia bicara sambil melihat-lihat dan menyentuh prodak bawaan Denada.
"Tawarin dulu ke temen-temen di kampus." dengan tekat yang besar Denada berjalan penuh percaya diri untuk memasarkan prodak kecantikan yang ia bawa.
Tidak menunggu lama, dagangan dengan langsung di kerubungi teman-teman sekampus, perempuan dan juga laki-laki. Cara bicara Denada dalam menarik pelanggan memang sangat menarik dan berbakat. Ditambah kecerdasan Lia dalam merayu, didukung pula oleh Raisa yang cantik penuh karismatik. Aku hanya bertugas memanggil sesuai yang lewat.
Meski barang yang dijual Denada cukup mahal, sangat tidak mungkin jika tidak ada yang membeli, mengingat ini adalah kampus elite yang terkenal di kawasan ibu kota. Uang saku para mahasiswa di sini tidak lah kecil, wajar jika mereka teracuni oleh kata-kata manis Denada soal barang-barangnya.
Mata hari semakin tinggi, kelas akan segera dimulai. Lia juga sudah kisruh kegerahan, dua tidak betah dan ingin buru-buru menuju aula.
"Gimana mau sukses kalau manja?!" tekan Denada jutek membuat Lia tersulut.
"Maksudnya gimana?" Lia berbalik dan menyapa wajah Denada. Wajahnya masam penuh amarah.
"Udah, udah. Pak Ridwan udah dateng tuh." Raisa segera menghalangi, sedang aku hanya menonton, siap siaga. Khawatir keduanya benar-benar saling melempar kemarahan aku akan segera melapor ke dosen yang kutemui di mana orang n nantinya. Denada dan Lia sama-sama membuang wajah tapi tetap berjalan beriringan menuju kelas.
"Udah jangan marah-marahan, cuaca panas emang sering bikin emosi tidak stabil. Gak seru kalau satu kelompok tidak baikan." aku berusaha menengahi. Lia tetap merengus begitu juga Denada.
Aku tidak suka suasana ini, kesalah pahaman mereka membuat mood-ku ikut hancur. Tapi aku tetap berusaha tenang dan menengahi agar suasana tidak semakin keruh. Usai menjalani kata kuliah, Lia dan Denada masih saling melempar wajah pahit, jika seperti ini terus, bisa membahayakan tugas kamu, aku harus mencari cara agar mereka kembali baikan.
"Gimana penjualan hari pertama, Nad?" pancingku saat kamu sedang bersantai bersama di sekitar kampus.
"Lumayan sih, stoknya hampir habis nih." jawab Denada antusias.
"Menurutmu gimana Li?" aku berbalik menanyai Lia yang masih manyun.
"Gimana apanya?" Lia terdengar menjengkelkan. Aku menarik napas menstabilkan emosi. Jika tidak ada Denada mungkin sudah kuremas dia.
"Respon mereka dengan prodak yang ditawarkan Denada tadi?" tekanku berusaha lembut.
"Oh, baik. Sangat excited."
"Jadi kesimpulannya gimana Raisa?"
"Menurutku kitab tidak salah pasar, meski pun prodak skincare mahal, tapi mayoritas mahasiswa sini memang memiliki budget yang sesuai dan mereka memang pengguna skin care yang harganya tinggi, brand yang bagus dan terkenal juga mempengaruhi, ditambah cara Denada berjualan juga, unik dan lihai dalam menarik konsumen. Semua komponen yang dibutuhkan dalam penjualan sudah lengkap di sini." panjang lebar ia menjelaskan.
"Oke, kita sudah menemukan laporannya, tinggal kita catat? Tapi mana bisa dicatat kalau kalian tidak mau bekerja sama, atau tugas batal sampai deadline berakhir. Lia dan Denada kembali saling tatap, seperti anak kecil, keduanya mulai mendekat dan meminta maaf satu sama lain. Aku tertawa geli melihat tingkah mereka yang cepat sekali didamaikan.
Lia mengembalikan keceriaan di dalam dirinya, aku tahu tadi mereka berbeda argumen hanya karena kelelahan dan kepanasan, tapi menurutku dua-duanya sama-sama salah karena tidak bisa meredam emosi, wajarlah. kita baru saja menginjak dunia kuliah semester satu yang artinya baru beberapa bulan yang lalu kami lulus dari SMA, kami masih dalam proses penyesuaian. Lia menyeruput es jeruk yang dibelinya di gerobak pinggir jalan, ia memang tidak pilih-pilih soal jajan, baginya yang penting enak dan bisa memperbaiki mood-nya. kebetulan kali ini Lia menumpang padaku karena mobilnya harus dipakai yang lain.
"Tapi jujur sih, aku kesel banget sama Denada, dia terlalu obses sama jualannya. Padahal tadi dia juga liat pak Ridwan sudah parkir." Lia menggerutu di dalam mobil.
"Aku setuju sih, tapi tidak berani melawan," tanggapku, seorang sahabat yang baik harus mengompori saat sahabatnya sedang emosi.
"Iya, kan? Lagian udah panas buanget. Mas tidak terasa di kulitnya, kulit badak apa?" Lia semakin mengumpat.
"Eh, menurutmu dia pick me tidak?"
"Sepemikiran sih, sok kuat dan sok jiwa bisnis gitu." Lia tidak melepas sedotan dari mulutnya sambil berbicara.
"Tapi ya sudah lah, kita tidak boleh bermuka dua. Biar bagaiman pun, dia punya peran penting di kelompok kita. Dia tegas dan cerdas ya kan?" aku berusaha memperbaiki ego Lia agar bisa lebih menerima Denada dan berhenti membenci.
"Heeeemh, oke lah. Mungkin kita hanya buat sedikit asupan agar bisa lebih sabar ke depannya."
"Heeeeei, berat badanmu sudah mulai membengkak, kenapa kamu selalu mengajakku makan?" aku meledek pada Lia. Ia hanya tertawa tanpa membantah.
"Pak Syarif, ke tempat makan di depan situ ya." katanya lagi penuh semangat.